Halaman selanjutnya :
Faiyaz
Basel
Aidan
(Sebuah awal yang baru dimulai dari nama baru)
Sedikit perubahan dalam diaryku menggambarkan perubahan besar dalam hidupku.
Paman Ali menyarankan aku untuk mengganti namaku dengan nama Islami dan demi
kenyamanan aku tinggal di sini. Akhirnya muncul nama “Faiyaz Basel Aidan”. Nama
Faiyaz adalah nama yang diusulkan oleh Haekal yang berarti “Artistik”, itu karena aku
menyukai hal-hal yang berbau seni, namun aku sendiri tidak bisa melakukan apapun yang
berbau seni. Basel adalah nama yang diusulkan oleh Bibi Sarah, alasan Bibi memilih nama
itu tentunya karena aku terlahir di kota Basel, Swiss. Selain itu Basel mengandung arti
“Berani” itu hanya sebagai ungkapan rasa terimakasih Bibi Sarah karena aku telah berani
mengambil keputusan menjadi seorang muslim. Nama terakhir Aidan, tentunya diberikan
oleh Paman Ali. Aidan yang berarti “Cerdas” hanyalah sebuah harapan Paman Ali agar aku
menjadi cendekiawan muslim. Kadang hal itu membuatku geli, tapi apapun yang diberikan
mereka itu adalah bukti kasih sayang mereka padaku dan aku senang menerimanya.Sesekali aku menghapus air mataku. Kerinduan padanya menyeruak dalam hatiku
bagai udara di musim dingin yang menghembus dan membekukan hatiku. Beribu penyesalan
menambah rumit suasana hatiku.“Apa aku harus melanjutkan malam ini?” tanya Haekal. Aku melirik jam dinding
yang menunjukkan jam setengah sembilan malam.“Tentu, aku pikir masih terlalu sore untuk tidur.”
“Baiklah.” Haekal membuka lembaran baru.
“Tunggu!”seruku.
“Ada apa?” Haekal memandangku heran.
“Apa yang kakak lakukan pada buku itu?.” Tunjukku pada kalimat-kalimat berwarna
biru oleh Stabilo.“Aku menandai segala sesuatu yang hanya berhubungan denganmu dan
kemuallafannya. Selebihnya hanya tentang kariernya.”“Hm...Baiklah, bisa kakak lanjutkan lagi?”
Suatu ketika Haekal mengajakku pergi ke rumah sahabat baiknya, Fadli. Tak perlu
kuceritakan lagi, mereka pun ramah padaku, maksudku dia dan istrinya. Rupanya mereka
adalah pengantin baru. Kabar yang aku dengar dari Haekal mereka baru menikah dua
bulan yang lalu.Rumah mereka sangat kecil, namun sangat menyenangkan berada di dalamnya. Aku
dan dia pun dalam sekejap langsung akrab. Mudah bagiku untuk mengajaknya mengobrol,
karena Fadli sangat menyukai sepakbola.Sebenarnya aku tidak suka dengan kebiasaan lamaku ini, setiap kali datang ke
rumah orang lain yang baru aku kunjungi. Mataku selalu menyapu seluruh isi ruangan,
lebih lagi rumah Fadli sangatlah unik, menarik perhatianku. Pandanganku terhenti saat aku
melihat sebuah foto keluarga dihari pernikahannya. Kupandangi setiap orang di foto itu
dari tempat dudukku. Aku sungguh terkejut bukan main, saat kutemukan seorang gadis
dengan tunik merah jambu. Gadis itu! Dia gadis dengan gaun putih yang mendoakanku
dalam mimpi.“Siapa dia?”tunjukku langsung. Fadli menoleh.
“Dia Saila! Adik iparku. Adik kandung Wafa.” Jawab Fadli.
Aku menghapus air mataku yang sulit aku bendung lagi.
Jantungku berdegup kencang saat Fadli menyebut namanya. Dorongan apa yang
membuatku akhirnya bertanya, “Apa dia sudah punya pacar?”Fadli malah menertawakanku dan menjawab, “Bagaimana mungkin dia pacaran?
Dia tak akan melakukan itu. Jika dia melakukannya maka dia akan berurusan dengan aku
dan Wafa.” Ujar Fadli terkekeh. “Meskipun ketika duduk di bangku SMA, dia pernah
melakukannya. Tapi itu karena dia belum paham saja.” Bisik Fadli padaku.