Aku baru kembali dari kampusku saat teh Husna datang dan memintaku untuk segera
ke kantor Departemen Pendidikan Pesantren untuk menemui kepala asrama dan penanggung
jawab program ini.“Ayo Saila, teteh akan mengantarmu.” Ujar Teh Husna. Aku mengikutinya. Baru saja
kaki kami beberapa langkah dari serambi asrama, pandanganku mulai kabur, serta merta aku
tak dapat mengontrol tubuhku sendiri. Tubuhku berguncang, Teh Husna menahanku sebelum
tubuhku tumbang ke lantai.“Kau baik-baik saja?” Teh Husna tampak khawatir.
“Aku baik-baik saja.” Kini perutku yang seolah tak bisa di ajak kompromi. Hal yang
sama ku rasakan, perutku terasa di aduk-aduk. Aku menutup mulutku dengan tanganku,
mencoba menahan mual yang seolah sulit untuk dibendung.“Kau sakit, la?” Teh Husna tampak sangat khawatir. Aku menggelengkan kepalaku.
“Sebaiknya besok lagi saja kita ke kantor. Kau harus istirahat.”
“Nggak apa-apa teh. Sekarang aja.”
Kami berdua pun tetap pada tujuan kami semula untuk pergi ke kantor meskipun
keadaanku kurang baik.“Assalamulaikum Saila...” sambut pak ustadz Khalid, kepala asrama kami saat aku
dan Teh Husna tiba di ruang tamu kantor. Beliau menyapa dengan penuh kelembutan
layaknya seorang ayah pada putrinya.“Waalaikumsalam. Abi” jawabku. Aku dan para santri lainnya terbiasa memanggil
“Abi” karena beliau memang seperti ayah kami. Tak berapa lama ustadz Hilal penanggung
jawab program pesantren kami datang ke ruang tamu kantor.“Kau tahu kenapa kami memanggilmu kemari?” tanya Abi Khalid.
“Ya, Anda semua akan mengatakan bahwa aku tak layak lagi tinggal di asrama ini
bukan?”ucapku.“Bukan tak layak Saila...” bantah Abi.
“Tapi kami ingin meminta penjelasan kepadamu, kenapa kau selama ini selalu
melanggar peraturan asrama.” Ujar pak Hilal.Aku tak menjawab pertanyaan pak Hilal. Aku tak akan mengatakannya. Cukup Kak
Salwa yang tahu. Bicara atau pun tidak akhirnya aku akan di keluarkan dari asrama ini
meskipun waktu wisuda tinggal dua minggu lagi.“Saila, kenapa diam? Ayo ceritakanlah pada abi dan pak Hilal.” Teh Husna turut
membujukku. Aku masih diam seribu bahasa. Jantungku semakin kuat berdetak, nafasku
mengalir tak beraturan.“Kau takkan mengatakan apapun? Satu alasan yang meyakinkan kami untuk bisa
mempertahankanmu disini.” Ucap Abi.“Bukankah pak Kyai pernah mengatakan alasan itu hanya memperjelas kesalahan?”
ujarku seolah ingin menantang mereka berdua.“Ya kami mengerti. Tapi mungkin saja alasanmu itu bisa kami terima dan kami bisa
memaafkanmu.” Ujar pak Hilal. “Kami hanya berupaya untuk tabayun denganmu supaya
semuanya jelas dan tidak menimbulkan suudzan.”Entah kenapa mulutku masih enggan untuk berucap. Meskipun aku tahu
konsekuensinya sama saja, bicara atau tidak pulang ke asrama aku tetap harus bersiap-siap
mengemas barang-barangku. Hatiku malah ciut, apa mungkin jika aku jelaskan mereka akan
percaya dengan kata-kataku. Apalagi jika lelaki yang jadi suamiku adalah orang yang mereka
kenal, santri teladan mereka.“Baiklah... Jika kau mau menjelaskannya kepada kami. Kau mungkin memang tak
mengharapkan untuk tetap bertahan di pesantren ini. Lagi pula apa yang kau lakukan dapat
merusak citra Daarul Ihsan.” Ujar pak Hilal. Dia telah menyiapkan surat pernyataan aku di
keluarkan dari tempat ini. Beliau mengeluarkan pulpen dari saku bajunya dan siap untuk
menandatangani surat itu.