Waktu bergulir meninggalkan hari-hari kelam yang mencekamku. Enam bulan sudah
berlalu sejak aku bangun dari ketidaksadaranku, namun sesungguhnya aku belum bangun dari
tidur panjangku, meski aku tak pernah lagi berpikir atau berharap Rafaël adalah suamiku.
Tidak! Tidak pernah dan tidak akan!Ketika aku merasa lebih tenang dengan keputusanku untuk menerima kenyataan itu
dan tidak lagi melakukan hal bodoh untuk mengungkapnya lagi. Sebuah mimpi buruk malah
datang menyapaku. Setiap kali mengiang dalam telingaku, suara-suara yang membuat hatiku
hancur. Seolah semua itu mencegahku untuk melupakan mimpi konyol itu.“Tapi kau tak akan pernah mendengar dia memanggilmu Ayah.” Tiba-tiba sebuah
suara mengiang ditelingaku dengan keras dan penuh keangkuhan.“Ku mohon Saila. Demi bayi yang ada dalam rahimmu. Maafkanlah aku.”Suara lain
terdengar memelas di telingaku. Suara seorang pria yang begitu ku kenal.“Demi bayi yang ada dalam rahimku, tinggalkan popularitasmu atau lepaskan aku!”
suara pertama menjawab dengan kasar tanpa perasaan, seolah tak pernah peduli dengan
ratapan pria itu.Hingga aku tersadar Adzan shubuh memanggil dan aku terbangun dari tidurku. Aku
belum melupakannya, percakapan yang sering hadir di setiap malamku dalam dua bulan
terakhir itu adalah percakapan dalam mimpi ketidaksadaranku, ilusiku. Percakapan itu telah
menyayat hatiku, aku telah memakinya, aku telah melukainya, dan aku merasa menyesal
melakukannya. Kenapa semuanya terasa begitu nyata? Kenapa hatiku hancur setiap kali
mimpi itu datang? Dan kenapa aku menyesalinya? Bukankah itu tidak nyata? Aku tak pernah
mempunyai bukti bahwa mimpi yang selalu kurasa nyata itu sungguh nyata. Tak ada cincin
kawin, MP4 itu pun tak bisa kujadikan bukti bahkan untuk meyakinkan diriku sendiri pun
aku tak mampu.Tiba-tiba aku teringat satu hal. Paman Ali dan bibi Sarah! Jika Aidan hanya mimpiku,
maka mereka pun tidak akan pernah ada. Tapi mengapa aku masih mengingat alamat tempat
tinggal mereka. Tidak mungkin, jika itu mimpi maka rumah itu tak akan pernah ada juga, aku
harus membuktikannya!, pikirku.Ingatanku tentang paman Ali dan bibi Sarah menyuntikkan semangat baru untuk
mengungkap misteri itu. Entah mengapa hati kecilku masih belum dapat menerima kenyataan
yang dikatakan dokter dan diyakini keluargaku, setidaknya aku harus mengungkap mimpi
buruk yang menghiasi malamku dan meminta maaf padanya. Ini adalah bukti terakhirku, jika
paman Ali dan bibi Sarah memang tak ada aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak
memikirkannya lagi meski mimpi buruk itu menghantuiku setiap malam. Aku tak peduli!Tapi sekarang aku harus mampu membuktikan walau hanya untuk meminta maaf.
***
Sore itu sepulang kuliah aku langsung pergi ke sebuah komplek perumahan mewah di
Bandung. Dengan perasaan ragu aku melangkah mendekati rumah bercat cokelat muda itu,
aku memandangnya. Tidak ada perubahan sama sekali, rumah bernomor 66E itu masih
terlihat sama persis seperti dalam ingatanku. Aku semakin percaya diri untuk mendekatinya,
namun semakin dekat aku semakin ragu saat kulihat kondisi rumah itu yang berdebu, seolah
tak berpenghuni lagi. Aku pun tak dapat melihat mobil Audi A3 Paman Ali yang biasa di
parkir di halaman rumah. Aku menengok ke kiri dan kanan. Seorang wanita muda berjalan di
depanku.“Assalamualaikum.” Sapaku pada wanita itu.
“Waalaikumsalam.” jawabnya.
“Mbak. Boleh saya tanya?”
“Tanya apa mbak?” Wanita muda itu balik bertanya.
“Apa rumah ini tak ada penghuninya?”
“Sejak saya tinggal disini, rumah ini kosong.”
“Apa benar ini rumahnya Bapak Ali Nurhakim?”
“Maaf mbak, saya baru tinggal disini empat bulan yang lalu. Saya kurang tahu siapa
pemilik rumah ini.”