3. Lonceng

25 7 0
                                    

Lonceng berdentang menggema ke seluruh penjuru sekolah. Sekitar 45 - 48 siswa keluar dari masing - masing kelas mereka, menuju sumber tempat perbincangan kali ini, hari ini.

Kelas mendadak sepi, kantin tidak seramai saat jam istirahat pertama layaknya hari - hari sebelumnya.

Padahal, Bu Maesaroh, si mbok - mbok kantin sudah memasak rawon dan lontong balap, lengkap dengan es teh manis sebagai penyegarnya.

Meski begitu, mereka tidak lapar, hauspun tidak.

Mereka lebih tertarik untuk mengorek kejadian tadi pagi yang masih menjadi tanda tanya besar.

Seluruh siswa tampak mewawancarai seorang yang tak berpengaruh banyak dari kejadian beberapa jam lalu.

Dicky, meski dia tidak terlihat begitu faham. Mereka terlanjur bertemu jalan buntu sebelum menemui titik terang.

Mau bagaimana lagi, dialah saksi tunggal selain beberapa orang lain lagi yang ticak ada disini.

Dicky dan Edo berasal dari smp yang sama. Dan kini, berada di SMK dan kelas yang sama. Tapi keduanya tidak pernah dekat. Hanya sekilas tegur sapa. Dan berbicara seperlunya.

" jadi gimana Dick, kejadian tadi ? " tanya seorang temannya, yang juga mewakili pertanyaan orang - orang didepannya.

" gue gak tau begitu jelas. Yang tau tuh, Zidan sama Zanuar. Mereka kelihatannya juga gak tau secara gamblang. Ataupun kejadian awalnya. "

Seluruh kumpulan siswa saling berargumen. Menebak apa yang terjadi, tanpa dasar teori dan bukti yang benar.

Sementara, tak jauh dari bangunan bertingkat tempat kelas Edo berada, tepatnya di lantai tiga bekas markas penting belanda belanda pada tahun 1875 itu.

Kelas 12 berkumpul untuk membicarakan beberapa hal penting. Sebenarnya berkumpul di tempat itu, sebuah lapangan terbuka nonfungsi dibelakang gedung bertingkat ini, dibelakang ruang seni di lantai dasar bangunan.

Mereka kadang membicarakan hal - hal lain, atau mengadakan sebuah acara disana, khusus untuk senior. Hingga tempat itu dijuluki sebagai 'Tempat Para Penguasa'.

Penguasa ? Kenapa ?
Ya. Penguasa adalah penguasa, begitupun sebaliknya, sudra adalah sudra.

Tempat ini, tak pernah dijamah para junior culun. Hanya senior terhormat dipersilahkan kemari.
Dibawah pohon mahoni besar, pohon terbesar disekolah ini, para senior tak segan berkumpul jika ada masalah. Tak peduli tentang apa. Bahkan tentang para junior culun mereka, ' Adik kesayangan ' sebut mereka.

Hei. Itu masih tentang lingkungan sekolah bukan ? Apa aneh jika penguasa membela beberapa rakyat jelata ? Tidak. Tidak pernah ada kitab yang mengatakan bahwa itu salah.

" Gue gak nyangka bakal ada kejadian kaya gini. Gue gak habis pikir. " kata Thalita membuka pembicaraan. Untaiannya tetap tegas, matanya pun tetap semembara saat menerpa beberapa masalah kecil. Dia tetap, semenarik biasanya.

" jadi siapa. Diantara kalian yang tahu persis kejadian tadi pagi ?!! " sambung Ema, menatap serius.

Thalita tak sedikitpun terlihat sedih. Edo itu adiknya, bukankah kejam untuk tidak merasa sedih ? Tapi, dia lebih memilih untuk dendam, mungkin itu dilakukannya agar tak banyak air mata yang harus disekanya sendiri.

Tidak, sekalipun Thalita menangis, terlihat sedih sedikit saja, itu akan menimbulkan isu heboh.

Thalita, cewek tercantik disekolah. Berambut hitam panjang. Mantan ketua osis. Yang sangat dikenal berkepribadian baik, dan juga tegar.

Primadona dari junior sampai senior di SMK itu. Thalita Widya.

Seno, karena tak ingin melihat Thalita semakin dekat menemui titik jenuh, dia pun membidik arah mata Zidan yang berada tak jauh dari Thalita untuk segera angkat bicara.

Sepertinya, kedua fanboy Thalita itu memiliki telepati yang kuat.
Terbukti, Zidan langsung menoleh, tepat saat Seno mendirikan niat untuk memanggilnya lewat sebuah panggilan 'halus'.

Zidan pun mendadak seperti sebuah mobil karat yang mendapat berliter - liter oli pada mesinnya, dan seketika itu menjadi rangka mesin baru. Tak sabar untuk melaju kencang.

Lidahnya tak sabar untuk berbicara menjelaskan apa yang matanya lihat, dan perasaan aneh yang meraung raung jauh di dasar hatinya. Ia tertarik untuk menyampaikan raungan itu. Sangat.

Zidan angkat bicara,
" Sebelumnya maaf nih buat abang - abang, dan juga kakak semua. Kak Thalita.. " nama Thalita selalu disebut secara khusus.

" ngomong aja langsung dek, gak usah basa - basi!" Kata senior seagkatan Thalita dipuncak kemarahannya. Tak lama Thalita pun menenangkannya. Tangan halus miliknya meminta Ginanjar agar tenang, tak berontak, sekalipun situasinya panas.

" ya. Maaf bang. " sahut Seno juga menenangkan Ginanjar.

" bukan karena apa gue marah kaya gini. Ini menyangkut kehormatan sekolah ini ! Harga diri kita, diinjak - injak sama orang lain. Jangan sampe gue tahu kalo ternyata yang ngelakuin itu adalah anak sekolah lain. !!"

Raungan perasaan aneh dalam benak Zidan semakin kuat. Dia sudah tak mampu menahan lidahnya lagi.

" gini bang.. Sebenernya, gue pun gak tahu secara gamblang."

" jelasin aja dari awal. "

" dari awal ya ? Awalnya.. "

Mata Zidan menatap tajam kearah langit seolah, langit sedang memberitahunya seluruh kronologi yang benar - benar nyata beberapa jam lalu.

Benar, langit menyaksikan lebih detil dari kesaksian siapa saja. Dan benar juga, karena tak ada siapapun lagi sebagai pembela Edo saat hidungnya terjadi pendarahan hebat oleh pukulan orang tak bertanggung jawab.

Tapi langit pagi tadi, menghindar, tak mau menjadi saksi juga. Kabut menghalangi cahaya masuk ke gang gelap itu. Hingga pagi tadi hanyalah hari biasa, seperti sebelum - sebelumnya. Saat semua ada berada dalam keadaan normal. Langit beralasan demikian.

Zidan terus menerawang. Kearah langit terik siang.

Sementara orang - orang didepannya menerawang pula ke arah mata Zidan dalam dalam.

" Awalnya, gue mau godain cewek. Dia diem didepan gang buntu itu. Gue tanya dia, tapi dia cuman diem. Singkat cerita. Gue ikutan ngelihat apa yang ngebuat dia diem. Dan.. "

" dan ? " potong Thalita.

" disana Edo udah gak sadar. "

Penjelasan Zidan berhenti, sampai disitu. Ia masih mendengar gema dari raungan dalam hatinya. Sangat keras.

" Ah. !!"
" kenapa, lo inget sesuatu ? "
Raut Zidan berubah 180 derajat dari beberapa detik lalu.

Sepertinya raungan perasaan aneh yang meminta untuk diingat sekeras kerasnya, telah sampai di pintu gerbang otak temporal miliknya.

Zidan tak lagi menengadah kearah langit.
Dia sudah ingat. Dan mungkin inilah yang memang menjadi salah satu pengisi dari kumpulan titik titik dari tanda tanya besar itu.

" sebelum gue godain tuh cewek. Gue lihat beberapa anak smakti, lagi nunggu bis gitu. " jelas Zidan.

Dia yakin sekali, itu anak smakti.

" yakin lo itu anak smakti ? " tanya Ginanjar. Seno ikut kaget bersama orang - orang lain disampingnya.

" gue yakin banget. " katanya menegaskan.

" aneh banget kan, anak smakti disana. " tambah Zidan mengerutkan alis tebalnya.

" Bisa jadi itu mereka. Apa lo kenal salah satu dari mereka ?" Tanya Thalita.

" gak. Tapi wajah mereka familiar banget. Yang ngebuat gue penasaran, apa mereka yang ngelakuin itu ? Mereka gak jauh dari TKP. Apa kalian gak curiga ?"

" Tapi kita gak bisa ngambil spekulasi kayak gini. Kita harus nunggu kunci utama. Edo. " bantah Seno tak mau sejalan dengan alur.

" Bener. Kita harus nunggu Edo sadar dulu. " sahut Thalita menyetujui.

Tak lama setelah itu, mereka buyar. Karena lonceng telah berdentang sebanyak empat kali, dan itu tandanya jam pelajaran terakhir akan segera dimulai.
Sekejab, tak satupun siswa berada di bawah pohon mahoni besar itu. Tempat para senior berkumpul, dan beberapa tamu VIP diundang dengan alasan sangat rahasia.

Landmark of 1983Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang