4. Silent Gun

21 8 0
                                    

Edo masih tak sadarkan diri.
Padahal infus dan alat bantu pernafasan telah terpasang tiga jam lalu.
.

Selama itu pula Edo masih kritis.

Dua orang yang menunggunya bergurat risau. Sekali dua kali, Zanuar menyahut nama Edo, tapi tak ada balasan. Hanya bunyi pendeteksi detak jantung yang sedari tadi membentuk grafik normal - normal saja.
.

Sesekali suster masuk untuk mengecek tensi dan ringer laktat milik Edo. Mencatatnya pada selembar kertas catatan perkembangan kondisi pasien.
.

Karena tak ada perubahan signifikan, suster keluar ruangan dengan menggariskan senyum manis dibibir tebalnya itu kepada dua orang penjaga Edo, tapi tak berkata pun.
.
.

" Do, sampai kapan lo mau kritis ha ? " gumam Zanuar.

" iya nih gue udah cape. Belom sarapan lagi nih perut. Ahhh.. " balas Seno mengeluh kelaparan.

Tak lama setelah suster masuk beberapa menit lalu, seorang dokter yang bertanggung jawab atas perawatan Edo datang dengan suster lain disampingnya.
.

Lengkap dengan stetpskop menggantung di lehernya. Jas putih membuatnya terkesan berjiwa mulia. Seperti itulah kurang lebih yang diimpikan Seno saat ini.

.
.

Dokter paruh baya itu langsung menuju Edo yang masih tergeletak pasi. Sama seperti yang dokter itu temui seratus duapuluh menit lalu.

" bagaimana keadaan Edo, dok ?" tanya Zanuar penasaran karena sedari tadi tak ada yang memberitahunya bagaimana keadaan medis Edo.

" Sudah siuman. Kondisinya membaik. Ah.. Tidak lama lagi, pasti dia akan sadar. Adik adik tenang saja. "

" Terimakasih dok. " ucap Zanuar lega.

" sama sama. Saya permisi dulu. " dokter berpanitan disusul suster mengikutinya dari belakang menuju pintu keluar ruang melati ini.
.

"Ya.. " Seno masih terkagum kagum pada dokter itu. Dia melongo sedari tadi.

" Heh, kenape lo ? " pukul Zanuar pelan ke jitak Seno. Seketika dia meringis kesakitan.

" gaakk. Seneng aja lihat suster cantik. "

" gue bilangin Nandia baru kerasa nanti lo ! " ancam Zanuar dengan menyunggingkan bibirnya sinis.

" eitss. Jangan gitu ah. Sesama teman mana boleh main lapor - lapor segala.. "

Suasana ruang Edo menjadi hangat. Dua orang itu berdebat tentang kesalah pahaman ucapan Seno yang sebenarnya hanya dibuat - buat.
.
.

TTTK. TTKK.

Grafik detak jantung Edo semakin meningkat. Dokter bilang, Edo sudah melewati masa kritis. Jadi benerapa saat lagi pasti dia akan siuman.

.
Tapi, dua orang itu, Zanuar dan Seno masih berdebat. Masih ramai saja. Tak tahu jika Edo sebentar lagi akan membuka mata.

.
Jemari putih yang terbaring lemah itu tergerak. Nafasnya terengah berat, lebih berat dari pada saat masa kritis tadi. Alat bantu pernafasan yang terpasang di hidungnya mendadak mengembun.

.
Detak jantungnya berdetak kian cepat.
.

Tttkk. Tttkkk. Ttttkk.

" Edo. ! " sahut mereka bersamaan menyadari ada yang akan tersadar dari tidurnya.

.
Mata Edo terbuka perlahan. Matanya masih membiasakan cahaya menyilaukan lampu yang menggantung tepat di atas ranjang perawatannya.
Lalu iapun menoleh kepada dua orang disampingnya.

Landmark of 1983Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang