Menyadari benda itu ditanganku, dia menyodorkan ekspresi penuh tanda tanyanya. Tapi mulutnya terdiam seakan sebuah drama mencengangkan terjadi tepat dihadapannya sekarang.Bukan, ini juga terjadi padaku. Tepat dihadapanku.
" lo ngerokok juga ? " tanyanya memberi isyarat salah satu anak buahnya yang sedang menghisap batangan rokok baru, tak jauh di belakangnya." Oh, gak ini bukan punya gue." jelasku salah tingkah.
Sementara pandangannya terarah pada anak buahnya itu. Kini rokoknya telah beralih tuan.
Yudhanta menyedot batangan rokok itu lama, menyulut bara tembakaunya agar tetap menyala dan tak membiarkannya mati, seperti yang dilakukan Lisa tadi.
Spontan, dia merebut batangan rokok milik Lisa yang kupegang sekarang. Kemudian melemparnya begitu saja kebawah, lalu menginjak - injaknya hingga hancur lebur.
Aku melongo melihatnya.
" jangan pake yang itu, Dean. " sedotnya sekali lagi, mengepulkan asapnya kesamping menjauh dari pandanganku. Lalu memaksaku menghisap rokoknya.
.
" apaan sih lo! " tolakku.
" gue bilang, itu bukan punya gue. ! " sambungku berusaha melepaskan cengkraman tangan Yudhanta di tangan kiriku kuat yang terasa begitu sakit, sangat sakit.
" udahlah, lo kan udah biasa diginiin. Jangan nolak dan pura - pura suci deh, hahahha. " tawanya begitu menakutkan. Disusul cekikikan anak buahnya yang sama menakutkannya kalau tertawa.
.
Apa yang mereka lakukan ? Sial !! - pikirku tak tahan.
" Dean !" pekiknya menyadari gerombolan itu datang.
.
Meski sudah sangat terlambat, aku senang Lisa akhirnya sadar juga, bahwa bukan hanya kami berdua yang berada disini.
' Ah.. ' geramku kesakitan, tangan lemahku tak sekuat itu untuk melepas cengkraman Yudhanta.
Lisa berusaha melepaskan tangan Yudha dari tanganku. Dan akhirnya terlepas dengan susah payah.
" siapa lo ?!!" Lisa berkata angkuh ke Yudhanta, memajukan wajah kecilnya pada orang asing didepannya dan memelototi dua bola mata bertatap santai itu.
" Siapa lo, berani - beraninya nyentuh temen gue ha ! " songongnya sekali lagi.
.
Yudhanta diam, begitupun aku dan tujuh orang anak buahnya. Sementara Lisa masih disibukkan oleh emosinya yang meluap - luap.
Aku bergerak untuk meredamnya. Tak tahu seberapa buruk yang akan terjadi lagi jika terus seperti ini, berurusan dengan orang ini. Lebih baik aku dan Lisa meninggalkan tempat ini, Ah.. Benar ! Mungkin ini markas mereka. Benar saja, kumpulan geng pasti tak suka jika ada yang mengusik surga mereka.
.
" Lisa ayo ! " kataku memaksanya. Kurasakan jantungnya berdegub cepat saat tak sengaja tanganku merangkuh tubuhnya mundur.
Entah apa yang membuat tubuh Lisa mendadak seberat batu, ia tak ingin pindah satu senti pun dari tempatnya berpijak sekarang. Mereka masih bertatapan sengit. Seakan mereka adalah musuh bebuyutan.
.
" udahlah Lis, ayo pergi !! " bentakku menyadarkannya. Iapun menurut, tapi masih menatap tajam Yudhanta.
Keras kepala juga lo. - batinku pada Lisa dalam hati.
.
Kami berjalan menjauh, bagi Lisa mungkin, kami seperti pengecut yang pulang dari medan tempurnya. Bukan hanya Lisa, perasaanku juga merasa begitu. Merasa seperti pecundang. Ah.. Biarlah, ini adalah satu - satunya jalan selain melawan, bukan ?
KAMU SEDANG MEMBACA
Landmark of 1983
HorrorSebuah dendam masa lalu. Jiwa yang tak rela berlalu menjadi angin. Dan raga yang tak ingin meringkuk dalam debu debu-an.