8. Maaf

2 3 0
                                    

Kutinggalkan bilah kaca rias kecilku dengan senyum hampa.

Aku segera berlari menuju telepon umum tak jauh dari tempat tinggalku. Jalanan cukup lenggang, keramaiannya telah berhenti beberapa puluh menit lalu. Aku sama sekali tak merasa letih meski kukerahkan seluruh tenagaku. Justru lariku semakin kencang. Hanya saja aku khawatir, Lisa sudah tertidur oleh masalah hari ini yang menimpanya dan juga menimpaku.

Aku merasa tak enak hati, meski barang itu jelas-jelas bukan punyaku. Dan rokok itu sudah pasti milik Lisa.
Tapi andai aku tak terlibat, tepatnya jika tak ada masalah semacam ini, tentu saja tidak akan ada penggeledahan pada tas siswa lain, yang sialnya penggeledahan itu terhenti pada tas Lisa.
Entah siapa sudah tega menaruh barang itu di tasku. Dan entah kenapa yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar berbicara dengan Lisa secepat mungkin.

Rasa tak enak dihatiku kadang terhenti sejenak mengingat cara bicara Lisa yang seolah tak terjadi apa-apa. Kadang mengingat itu, jantungku seakan melambat dan akupun sedikit leluasa bernafas.
Sesampainya disana, aku kurang beruntung. Jalanan yang sepi sama sekali tak mengindikasikan bahwa orang-orang juga tak berkepentingan di telepon umum. Entah kepada suara siapa, tiap-tiap sen uang mereka ditukarkan.

Kucari tempat kosong dari lima telepon yang disediakan. Nihil, semua penuh.
Alhasil aku harus menunggu entah sampai berapa lama mereka menggunakannya. Belum lagi antrian mengular dibelakang. Meski tak panjang, tetap saja aku harus menunggu. Ah, mereka tidak  tahu kalau topikku kali ini sangat penting.

Kulirik arlojiku,

" ohh tidak!! Ini sudah jam sebelas lewat !!! " gumamku bermonolog. Aku mondar-mandir melihat antrian lain yang lebih pendek.
Tak kuperdulikan orang lain yang asyik melihatku dengan kernyitan tegas keheranan didahi mereka. Apakah aku sudah terlihat seperti orang gila sekarang?

Aksi mondar-mandir tak jelasku berbuah hasil. Akhirnya ada juga yang kosong. Kuhampiri cepat tempat itu sebelum orang lain datang mengambil giliran. Lalu segera kumasukkan beberapa koin tambahan agar aku bisa berbincang lebih lama. Kebetulan dibelakangku tak ada antrian lagi, selain di dua urutan paling pojok sana. Jadi aku bisa lebih leluasa menyampaikan uneg-unegku.
Aku mengeluarkan secarik kertas nomor telepon rumah Lisa. Deretan nomor bertulis jelas itu kubaca dengan teliti lalu kutuliskan perlahan di angka tombol telepon. Suara menyambungkan kudengar lirih dari ganggang telepon yang sekarang kugenggam erat. Kurasakan tanganku membeku kedinginan. Tapi aku sudah mati rasa. Tak ada yang kupedulikan selain yang kutuju sekarang.

Suara menyambungkan itu masih terdengar lirih dan juga jernih. Kutekan tombol pengeras suara agar aku bisa mendengarnya lebih jelas nanti.  Juga agar aku bisa dengan agak lantang mengucapkan maaf nanti.  
Suara itu terus bergeming namun tak ada jawaban. Aku mulai khawatir. Kutekan lagi dan lagi tombol ulang panggilan. Aku menunggu Lisa mengangkat teleponnya, lagi. Tapi harapanku turun. Sekarang aku hanya berharap agar seseorang mengangkat teleponku, lalu menyampaikan salam dan permintaan maafku pada Lisa jika memang dia benar-benar tak sudi menjawab teleponku. Tapi, bagaimana dia merasa enggan menjawab dan bagaimana juga dia tahu kalau ini telepon dariku?
Sementara ini adalah telepon umum, tentu saja dia takkan tahu bukan?  Aku terus berpikir. Memegangi kepalaku yang mulai pusing.

Disana masih kudengar suara menyambungkan yang memintaku sabar menunggu. Disaat itu pula kudapati gema dari diriku sendiri bahwa seseorang takkan mengangkat teleponku.
Tak kusadari ternyata orang-orang yang tadi kusangka akan menggunakan telepon umum dengan lama, akan memulai dan mengakhiri panggilannya dengan singkat.
Atau aku saja yang telah menghabiskan banyak waktu untuk menunggu?

Kuletakkan ganggang telepon setelah nada meyambungkan terakhir terdengar melalui gendang telingaku.
Kualihkan pandanganku pasrah sambil mengacak-acak rambut pendekku. Lalu kutinggalkan tempat telepon umum itu.
Aku kembali menelusup dingin untuk kembali ke rumah. Orang tuaku pasti khawatir karena aku tak sempat berpamitan tadi.
Ya aku merasa bersalah. Tapi langkah kakiku malah berjalan santai seolah tak ada yang cemas menungguku. Aku berbohong pada diriku sendiri bahwa takkan ada yang memarahiku nanti.
Padahal aku sudah berada di kabut kemarahan mereka, akibat peristiwa drop out sialan tadi. Aku tahu itu jelas dibalik senyum ramah mereka, tentu kemarahan mereka telah diusahakan untuk diredam sendiri sekuat mungkin. Mungkin mereka pikir agar aku tak merasa lebih terkontang-kanting diujung tanduk.

Landmark of 1983Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang