Ketika kucing angora dilepas di tengah hutan, akankah ia sanggup bertahan? Kucing pemalas yang manja dengan kebaikan majikannya. Kini menyusuri hutan beton yang berbaris rapi disepanjang sisi kanan kiri jalan yang dia lalui.
Disinilah, kehidupan, udara, dan ketenangan atas traumatisku bisa kureda, meski sesaat. Paling tidak, aku tidak melihat sudut-sudut rumahku yang kini sepi. Paling tidak, aku tidak akan melihat wajah murka, dengki, dendam, heran, dari setiap orang yang melintas di memori kenangan pahitku. Paling tidak, aku bisa jadi diriku yang baru disini, Malang.
"Ran, aku mengantarkan makanan untukmu. Kau sedang di kos, bukan?" tanya seorang gadis dari ujung telepon.
"Iya, kemarilah..." jawabku.
Dia Sasi, seorang teman, sahabat, saudara sepupu, pelipur lara, yang selalu ada di saat kubutuh. Wanita yang lahir terpaut beberapa bulan denganku, kini ia tinggal satu kota denganku.
Saat ia tahu kedatanganku ke kota ini, dia begitu senang. Akhirnya, kami bisa bersama-sama lagi seperti beberapa waktu yang lalu. Kami saling mengenal sejak kacil, bahkan aku lupa kapan pertama kali mengenalnya, karena orangtua kami memanglah saudara. Ibunya adalah kakak dari ibuku, sedangkan ayahnya adalah sahabat ayahku.
Semenjak sekolah menengah, kami satu sekolah. Tetapi sayangnya tidak pernah berada dalam satu kelas yang sama. Namun, semua orang tau, kami selalu bersama. Hingga akhirnya, ia harus lulus terlebih dahulu, dan berpisah. Setahun telah berlalu, kini aku sudah bersamanya lagi. Meski kini ia tinggal bersama teman-temannya, tapi kami masih bisa bermain dan jalan-jalan bersama. Karena temanku adalah temannya, dan temannya adalah temanku.
"Aku kaget, kau memutuskan untuk pergi ke kota sendirian, Ran." katanya padaku.
"Iya, Sas. Aku juga tidak menyangka, pada akhirnya, aku disini." balasku.
Dalam beberapa saat kemudian, dia hanya terdiam memandangiku. Hingga tangannya melingkar di pundakku, dan memelukku seraya berkata, "Jangan sungkan jika kau butuh bantuanku. Aku akan selalu membantumu."
Perlu sekalikah aku ini untuk dikasihani? Sepedih itukah hal yang aku alami hingga semua orang seperti mengasihaniku? Nyatanya, aku tak merasakan apapun. Hidup tetaplah hidup, kau menarik napas dan mengeluatkannya. Kau menjalaninya detik demi detik, menuju kematian. Semudah itu aku mendefinisikan hidupku saat ini. Tidak ada yang spesial, tidak ada yang lebih penting dari yang lain. Semuanya sama, hidup.
"Nanti sore, ayah mengajak makan malam kita. Kau harus ikut." kata Sasi kemudian.
"Iya..."
Jika ini adalah makan malam keluarga, tentu aku tak berhak berada diantaranya. Tetapi, aku tidak akan berpikir demikian, karena tanpa paman, Sasi, Rio, dan bibi, aku hanyalah kucing tanpa tuan. Berkelana dengan kesepian dan kepedihan seorang diri.
Semenjak keluargaku sendiri retak, aku selalu berteduh dibalik keluarga Pamanku. Dia seperti oase di tengah padang pasir, begitu menyejukkan dan menyegarkan. Sasi menjelma seperti malaikat yang selalu hadir dalam kesedihan. Dan Rio, dia adalah guardian angel milikku. Selalu melindungiku dalam setiap momen yang tak ingin kulalui sendiri.
Dari mereka, aku belajar, bahwa aku mungkin bisa hidup tanpa cinta, teman, atau harta. Tapi, aku tidak akan selamat dari ancaman kesepian dari setiap bencana yang mendatangiku. Karena rasa kesepian pada manusia, bisa membunuh hatinya yang penuh cinta, membunuh pikiran yang penuh kerasionalan, dan melenyapkan jiwa yang terombang-ambing.
"Hai, cantik. Bagaimana kabarmu?" tanya Bibi padaku.
Malam itu, adalah acara makan malam keluarga pertama yang kurasakan dari sekian lama aku berada di tengah prahara keluargaku.
"Baik, Bi. Kota ini membawa ketenangan untukku." jawabku.
Iapun menghela napas, dan berkata, "Syukurlah, aku senang mendengarnya. Kau, juga terlihat lebih sumringah, Ran."
Di bangku mobil paling belakang, ada Rio yang berkata, "Hai, Ran. Sayang ya, aku tidak bisa menemanimu setiap saat seperti dulu."
"Tidak apa, selesaikan saja sekolahmu dengan baik." kataku.
"Baiklah, kalau begitu, kita langsung saja ke restoran ya.." kata paman.
"Memangnya, kita mau makan apa, Yah?" tanya Sasi.
"Makanan Jawa, kalian pasti suka." jawab Paman.
Malam itu, kesepian tak lagi membunuhku. Dari kucing angora yang manja, aku belajar, untuk tetap bertahan, karena mungkin saja, suatu hari nanti, akan ada seorang majikan yang memungutku lagi.
Tapi, dalam setiap hati yang penuh dengan ketidakputusasaan, selalu ada rongga bercelah diantaranya. Rongga yang berisi angin dan memaksaku untuk merasakan sakit hatiku sendiri. Aku, masih tidak mengerti, mengapa di tengah kebahagiaan yang menyelimutiku malam itu, hatiku tetap saja ingin menangis sembari menjerit.
Masa lalu yang penuh kebahagiaan, kepedihan, kesengsaraan, serta kebaikan kembali mencuat dari memoriku. Sekali lagi, ia mengingatkanku, bahwa kebahagiaan ini tidak akan pernah berjalan lama. Seperti yang sudah-sudah. Dan aku, harus bersiap untuk menghadapi kehilangan tersebut.
Sekali lagi, hati ini tetaplah dingin. Kehangatan dalan ruang makan bersama orang terdekat, terkadang tak mampu melukuhkan kuatnya es yang membekukan hatimu. Sekali lagi, aku masih tetap manusia ya
KAMU SEDANG MEMBACA
A WEEK WHEN I SEE THEM
Short StorySeorang mahaguru asal Yunani pernah bertanya, 'apakah yang paling dicari oleh manusia?'. Lalu, seorang murid menjawab, 'Kesenangan, manusia akan selalu mencari kesenangan, batiniah ataupun lahiriah'. Apakah benar adanya? Karena, Tuhan memberikan ka...