Inside Out 2

22 3 0
                                    

"Waaahhh! Adrian lagi duduk sendirian disana! Ahhh...pengen nemenin, tapi takut..." Shafa pun berseru heboh kepada Aline sambil melirik ke arah laki-laki yang sedang duduk santai di tepi lapangan.

"Ya udah, samperin aja!" Aline menyemangati.

"Gila, lo! Kalo gue nekat gitu, bisa-bisa gue kena tembakan laser pembeku dari sorot matanya itu lagi!" Shafa malah menolak usulan Aline.

"Alah, lebay lo! Gimana mau jadian sama dia, ngeliat sorot matanya aja udah enggak berani." Aline menanggapi penolakan temannya itu sambil tertawa.

"Kan gue belum deket sama dia, Alineee! Makanya, cepetan bikin gue deket sama dia, dong! Sekarang mendingan lo aja yang kesana, ngomong sama dia. Pokoknya, bikin rencana apapun biar gue bisa deket sama dia Line, please..." Pinta Shafa—yang malah terkesan memerintah. Karena temannya itu memperlihatkan wajah memelas, Aline pun menjadi tidak tega untuk menolak. Akhirnya, Aline pun menghampiri Adrian.

"Hei, Dri..." Sapa Aline canggung, kemudian ikut duduk di sebelah Adrian.

"Enggak pake konnichiwa-konnichiwa-an lagi, nih?"

"Ngapain? Kan masih pagi." Jawab Aline sekenanya.

Aline merasa lega karena saat ini sikap Adrian sudah lebih baik dibandingkan ketika awal kedatangannya ke sekolah ini. Aline merasakan perubahan pada diri Adrian itu saat perkemahan yang lalu. Sejak perkemahan itu, Adrian mulai merespon ucapan Aline dengan tidak jutek lagi. Entah apa yang membuat laki-laki itu berubah secepat itu, yang penting saat ini bisa dibilang laki-laki itu sudah tidak terlihat terlalu mengerikan lagi.

Beberapa siswi terlihat sedang berjalan di hadapan Aline dan Adrian. Mereka semua menatap Aline dan Adrian dengan ekspresi yang berbeda-beda. Setiap siswi yang lewat melempar tatapan iri ke arah Aline dan menatap Adrian dengan penuh goda. Ada apa sih dengan mereka?!

"Oh ya Dri, kenapa lo itu pendiam banget? Sikap lo dingin, pula! Enggak heran, enggak ada cewek yang mau deket sama lo! Paling, cuma gue doang kayaknya yang berani, hoho." Ujar Aline bangga, berusaha tidak mempedulikan orang-orang sekitar yang berseliweran di sekitarnya.

"Nah, gue justru heran kenapa cuma lo doang yang berani deket-deket gue." Jawab Adrian masih dengan sikap dinginnya seperti biasa.

"Ya iyalah, gue tuh ibarat lilin. Aline—lilin. Beda tipis, kan? Nah, kalo diumpamain, lo itu ibarat patung es yang dingiiin banget! Kalo lilin deket-deket patung es, otomatis patung es akan mencair dengan sendirinya. Nah, itulah salah satu tujuan gue—membuat si patung es enggak membeku lagi." Laki-laki itu seperti membuat pembatas sekokoh tembok Berlin untuk membatasi dirinya dengan lingkungan di sekitarnya. Namun bedanya, tembok yang Adrian buat tidaklah terlihat. Meskipun begitu Aline percaya, seperti tembok Berlin, pembatas yang dibangun Adrian akan runtuh juga nantinya, entah Aline yang meruntuhkannya, atau siapapun itu.

"Hahaha, Aline—lilin, gue... patung es? Hahaha, teori yang bagus. Bisa diterima..." Adrian tertawa meski hanya sebentar lalu digantikan oleh ekspresi dingin dan datarnya lagi. Rasanya aneh melihat orang yang terlihat mirip dengan patung es seperti Adrian dapat tertawa juga seperti manusia pada umumnya—seakan Aline lupa bahwa Adrian juga manusia biasa yang sebenarnya juga memiliki berbagai macam ekspresi. Tak dapat dipungkiri bahwa Aline merasa cukup senang karena dapat membuat si patung es tertawa.

"Omong-omong, gue baru sadar kalo rasanya sikap lo akhir-akhir ini berubah ke gue. Kalo boleh tau, kenapa sikap lo bisa berubah gitu?" tanya Aline lagi. Inilah salah satu hal yang menjadi pertanyaan mengganjal yang belum terjawab sampai sekarang. Jadi, ia berharap Adrian dapat menjelaskannya.

"Berubah gimana?" Tanya Adrian kembali.

"Ya... berubah... jadi baik gitu..." Aline pun berusaha memperjelas perubahan Adrian dalam konteks yang seperti apa.

Dear SeattleWhere stories live. Discover now