Di dalam mobil, Tania duduk dengan gelisah. Hujan rintik-rintik yang mulai membasahi mobil yang membawanya pergi dari Bandung sedikit menenangkannya.
“Kamu kenapa gelisah gitu, Sayang?” tanya Papa saat melihat putri sulungnya dari kaca spion.
“Kita kenapa pindah ke Jogja sih, Pa? Kan di Bandung juga masih nyaman. Aku bosen pindah rumah terus!” sungut Tania seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
“Ya mau bagaimana lagi. Kan pekerjaan Papa yang membuat kita semua pindah. Memangnya kamu mau tinggal sendirian di Bandung?” tanya Mama lembut. Tania tak menjawab. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Kakak, aku pinjem bantalnya dong!” rengek Dinda, adiknya yang berusia 7 tahun. Tania segera memberikannya.
Tania meneruskan lamunannya. Ia takut di Jogja ia tak akan mendapatkan teman karena ia merupakan pendatang seperti yang ia alami di Bandung. Ketika di Bandung hampir tak ada satu pun orang yang menjadi teman dekatnya. Hanya teman sebangku saja, itu pun jarang ngobrol dengannya. Tania takut nasibnya akan semakin buruk saat berada di Jogja. Ia takut malah tidak mempunyai teman sebangku.
Untuk menghilangkan kesuntukannya, Tania membuka ponselnya dan memainkan game yang ada di sana. Tak lama kemudian, ia segera terlarut dengan asyiknya game yang ia mainkan.
⛈⛈⛈
Mobil Honda Jazz berwarna silver memasuki halaman sebuah rumah dengan gaya minimalis. Tania yang pulas tertidur merasakan pintu ditutup dengan begitu kencang. Tania membuka matanya perlahan. Ia menoleh ke arah Dinda. Ternyata Dinda juga terlelap.
Papa dan Mamanya menurunkan barang-barang. Tania segera turun untuk ikut membantu.
“Sini Pa, aku bawain kopernya!” ujar Tania lemah karena nyawanya belum sepenuhnya kembali.
“Nggak usah, Sayang. Kamu tunggu aja di teras, biar Papa aja yang bawa.” Tolak Papa halus.
“Udah, kasian Papa nanti kalo bawa ini semuanya,” Tania mengambil dua koper berukuran sedang. “Tania juga kuat kok bawa beginian.”
Tania segera membawa kedua koper memasuki rumah barunya. Rumah yang didesain minimalis namun begitu nyaman dan tidak terlalu sempit. Tania menyukainya. Ia merapikan koper-koper itu di ruang tengah kemudian mengambil beberapa barang lagi dari bagasi mobil.
“Kamu suka rumah ini, Tania?” tanya Mama membuyarkan lamunan Tania.
“Suka, Ma. Kayaknya nyaman banget. Deket sama pusat kota lagi.”
Tania menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia menyapu pandang ke seluruh sudut kamarnya. Kamar yang sebagian temboknya dilapisi kayu dan berlantai kayu itu membuat Tania merasa seperti berada di zaman dulu.
“Semoga rumah ini jadi rumah terakhir yang aku tempatin.” Tak lama kemudian Tania terlelap.
⛈⛈⛈
“Tania, bangun sayang! Udah mau maghrib. Ayo mandi dulu!” Mama mengguncang lengan Tania pelan.
Tania mengerjap-ngerjapkan matanya. Tadi seingatnya ia sampai di rumah barunya sekitar pukul empat sore. Tania mengumpulkan energinya kemudian segera mendekati tas ranselnya. Ia mengambil handuk dan peralatan mandinya dan segera melangkah ke kamar mandi.
“Nanti selesai salat kita makan malem bareng ya!” ujar Papa yang disetujui Tania dengan anggukan.
Setelah selesai mandi, Tania segera salat maghrib. Ia masih sedikit bingung arah kiblat karena tempat ini masih asing baginya.
“Ma, arah Baratnya mana?” tanya Tania sambil melongokkan kepalanya dari balik kamar.
“Arah Baratnya tepat seperti rumah ini menghadap. Jadi Baratnya di sana.” Mama menunjuk jendela kamar Tania. Tania mengangguk kemudian segera salat.
Tania selesai salat saat Mama sudah selesai menyiapkan makan malam di meja makan.
“Besok kamu Papa antar ke sekolah barumu ya! Kan sekolah sudah dimulai satu minggu yang lalu. Biar kamu nggak terlalu ketinggalan pelajaran.” Jelas Papa seraya melahap makanannya.
“Nama sekolahku apa, Pa?”
“SMA Nusantara. Nggak jauh kok, sekitar 20 menit dari sini.”
“Papa kok udah tau sekolah aku sih?”
“Waktu liburan Papa ke sini diantar temen Papa. Papa mau survei beberapa sekolah buat kamu. Kan waktu di Bandung kamu di sekolah swasta, jadi di sini ya swasta juga. Tapi kualitasnya bagus kok, nggak kalah kalau sama sekolah kamu yang di Bandung dulu.” Jelas Papa. Tania hanya mengangkat bahu. Di mana pun sekolahnya, baginya itu tidak masalah. Yang menjadi ganjalan hatinya adalah bagaimana ia akan melewati hari-harinya nanti?
⛈⛈⛈
Tania membereskan barang-barangnya. Setelah tidur cukup tadi siang dan tadi sore, saat ini ia harus merapikan barang-barangnya dengan segera. Ia menata semua barang-barangnya ke dalam lemari dan beberapa rak yang ada di kamarnya. Tania juga merapikan buku-buku pelajarannya yang ia bawa dari Bandung.
Ini sudah ke sekian kalinya ia pindah sekolah. Akibatnya, Tania hampir tak mempunyai teman dekat seperti yang ia inginkan dulu. Tania hanya memiliki teman sebangku yang bahkan ia tak memiliki nomor teleponnya. Memang, Tania sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Akan tetapi lama-kelamaan ia bosan juga. Ia ingin memiliki seorang sahabat yang bisa diajak berbagi canda dan tawa.
“Kapan ya aku punya sahabat kalo tiap baru punya temen udah diajak pindah kayak gini?” gumam Tania.
Meskipun begitu, Tania tak pernah menyalahkan orang tuanya. Tania tau semua ini orang tuanya lakukan untuk menghidupinya dan adiknya dan menyekolahkan Tania sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Walaupun kadang Tania sedikit kesal, tapi ia tetap tak menyalahkan kedua orang tuanya.
“Kak, mau Dinda bantuin nggak?” Dinda melongokkan kepala ke kamar Tania.
“Boleh.” Ujar Tania seraya tersenyum. Dinda segera mengambil sepatu Tania dan sepatunya kemudian menatanya di rak yang tak begitu tinggi.
“Dinda nanti tidur sama Kakak, kan?” tanya Dinda sambil terus merapikan sepatu.
“Iya Dinda. Kan kasurnya ada dua,” sahut Tania sambil menunjuk kasur sorong yang ada di depannya. “Emangnya Dinda mau tidur sendirian?”
“Enggak, Dinda takut nanti ada hantu!” ujar Dinda sambil bergidik membuat Tania terkekeh.
“Oh iya, Dinda sekarang udah SD kelas satu ya? Wah, Dinda udah besar ternyata!” ujar Tania sambil mengelus rambut Dinda.
“Iya, Kak. Besok Dinda bakalan masuk sekolah baru, pake seragam baru, punya temen-temen baru. Pasti seneng deh, kayak di Bandung dulu.” Ujar Dinda riang. Tania tersenyum.
“Dinda nanti nggak boleh nakal lho ya kalo di sekolah,” peringat Tania. “Terus Dinda juga nggak boleh pacaran! Masih kecil tau!” Tania mengacak rambut Tania.
“Lagian siapa juga yang mau pacaran! Kan Dinda masih kecil! Kakak tuh yang harusnya pacaran.” Sahut Dinda sambil merapikan buku pelajarannya di meja belajar.
Tania tertegun mendengar perkataan Dinda. Bukan karena Tania tidak pernah merasakan yang namanya pacaran, tetapi lebih karena hatinya yang telah lama kosong setelah ia melewati masa pacaran di SMP. Pacaran yang masih sangat norak yang pernah Tania jalani membuatnya menyunggingkan senyum. Begitu noraknya ia dulu ketika pacaran yang malu-malu saat bertemu dengan kekasihnya.
“Kakak kok senyum-senyum sendiri sih?” pekik Dinda membuat Tania kaget.
“Enggak kok. Udah yuk beres-beres lagi.” Tania segera membereskan barang-barang pribadinya dan juga barang-barang milik Dinda kemudian segera mengajak Dinda tidur saat jarum jam sudah menunjuk pukul sembilan malam.
⛈⛈⛈
Suasana Yogyakarta pagi ini lumayan dingin. Hal ini memang sering terjadi di musim tahun ajaran baru. Walaupun udara sedikit dingin namun tak membuat Dinda dan Tania bermalas-malasan.
Tania sudah rapi dan menata rambutnya yang sudah melewati bahu. Ia mengikatnya tinggi dan mengenakan bandana. Sedangkan Dinda sedang ada di pangkuan Mamanya yang kini sedang mengepang rambut Dinda.
“Ma, nanti Dinda ke sekolah barunya juga?” Tania membuka pembicaraan sambil mengenakan sepatunya.
“Iya. Nanti Dinda sama Mama ke sekolah barunya Dinda. Kamu sama Papa nanti ke SMA.” Jelas Mama yang kemudian menyelesaikan kepangan rambut Dinda.
“Terus kita sekolahnya mulai kapan?”
“Ya mulai besok dong, Sayang. Hari ini kamu sama Dinda daftar dulu sama ngurus administrasi di sana. Untuk seragam kamu kan masih ada seragam yang dari sekolah Bandung. Tinggal ganti badge nama sekolahnya jadi SMA Nusantara kan bisa. Baru kalo Dinda harus beli seragam baru karena SD-nya yang sekarang ada seragam batiknya.” Jelas Mama. Tania hanya manggut-manggut.
Papanya masuk ke rumah setelah mengeluarkan mobilnya ke halaman. Papa segera mengganti kaosnya dengan kemeja merah bergaris.
“Anak-anak Papa sudah siap ke sekolah baru?” tanya Papa sambil mengelus rambut kedua putrinya. Tania dan Dinda mengangguk antusias.
“Ya udah, ayo kita buruan berangkat. Biar nanti pulangnya nggak terlalu siang.” Ajak Mama kemudian beranjak dari tempat duduknya.
Tania mengambil tas selempang kecilnya dan berlari memasuki mobil disusul Dinda. Mama mengunci pintu rumah dan segera masuk mobil. Perlahan Honda Jazz yang mereka tumpangi menjauhi rumah mungil mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khayalan Hujan
Teen Fiction"Ketika Kata Tak Mampu Terucap, Hujan yang Akan Menyampaikan Semuanya" ~ Cinta datang dari segala arah dengan begitu saja. Ketika hati tak mengijinkan mulut tuk mengucapkannya, mata hanya menjelaskan pada rintikan hujan yang selalu datang di setiap...