6

192 5 0
                                    

Tania dan Rara menikmati mie ayam di kantin saat jam istirahat baru saja berbunyi.
“Eh, besok kita ke Lucifer cafe lagi yuk, Ra!” ajak Tania.
“Boleh. Di situ red velvet-nya enak banget, Tan! Sekalian aku mau nginep di rumah kamu boleh nggak? Soalnya besok orang tuaku mau ke Semarang, ke rumah sodaraku yang punya hajatan.” Papar Rara.
“Wah boleh banget tuh, Ra! Entar Dinda aku suruh tidur sama Mama aja deh! Tapi emangnya kamu kenapa kok nggak ikut?”
“Enggak ah, males. Katanya tiga hari kalo nggak salah. Lha nanti sekolahku piye kalo aku ikut?”
“Ya udah deh. Kamu selama tiga hari itu nginep di rumahku nggak apa-apa.” Tania merangkul pundak Rara.
“Waduh, waduh! Kenapa nih kok kayaknya happy banget?” seru Tommy dari belakang.
“Apaan sih Kak Tommy? Kok ngangetin aja!” ujar Rara setengah membentak.
“Hehehe. Maaf kalo bikin kaget. Aku sama Dimas boleh gabung di sini nggak?”
“Boleh.” Jawab Tania singkat.
“Boleh nggak, Ra?” sahut Dimas.
“Iya, iya boleh. Lagian siapa juga yang ngelarang?” Rara memicingkan mata ke arahnya.
“Nggak usah sinis ngono lak yo iso tho? Tak kandani pisan ngkas. Ra kudu ngono!” pekik Dimas.
“Kon iku lho, lek ketemu aku kok mesthi nggolek pekoro se, heeh?” Ganti Rara yang teriak.
“Heh, udah udah! Kalian nih kenapa sih kalo ketemu mesti berantem? Awas, ntar jadi cinta lho!” goda Tommy.
“Cinta? Ambek arek irunge irit iki? Ra sudi!”
“Mbok pikir aku gelem ngono mbek awakmu? Hii, ra kate!” sungut Rara.
“Heh, jadi makan nggak?” sela Tania. Seketika Dimas dan Rara diam dan duduk dengan hati masih panas.
“Udah, jangan urusin mereka, Tan. Emang kayak gitu!” Tommy mengerlingkan mata pada Tania.
“Heh, heh! Godain cewek mulu. Inget tuh, modusan lo masih banyak!” bisik Dimas. Tania tersenyum seraya geleng-geleng. Entah kenapa, ia dipertemukan dengan orang-orang yang begitu konyol di Jogja.
Tania menyapu pandang ke sekeliling kantin mencari sosok yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya.
“Nyariin siapa, Tan?” tanya Rara ikut menyapu pandang.
“Eh, enggak kok!” Tania gelagapan.
“Oh, hohoh. Pasti nyariin itu ya?” Dimas menyipitkan matanya.
“Apaan sih?” Tania tersenyum dalam hatinya. Ia sedikit lega ketika ada seseorang yang memahami perasaannya.
⛈⛈⛈
“Tan, yang dimaksud Dimas kunyuk itu siapa sih?”
“Apaan sih? Kok kamu jadi mikirin omongannya dia? Udah deh, dia itu cuma ngaco doang!” ujar Tania setengah berbisik. Takut guru Kimianya mendengar percakapannya dengan Rara.
“Emm, kayaknya aku tau deh siapa yang dimaksud Kak Dimas! Kak Vicko, kan?” tebak Rara.
“Enggak!” pekik Tania membuat guru Kimia yang sedang serius menerangkan molekul menatapnya tajam.
“Ada apa Tania?” tanyanya gusar.
“Eng, enggak ada apa-apa kok, Bu! Maaf!” Tania menunduk takut Bu Arista mengamuk.
“Kalau begitu kerjakan soal di depan!”
Tania berdiri dengan ragu. Ia segera ke depan kelas. Ia sedikit gemetaran memegang spidol. Ia tak mengenali soal-soal ini karena sedari tadi ia tak memperhatikan.
“Kenapa? Nggak bisa ya?” tanya Bu Arista dengan mata melotot ke arah Tania. “Sekarang kamu keluar dari kelas saya! Saya nggak mau mengajar siswa yang tidak fokus saat belajar! Keluar!!” hardik Bu Arista membuat Tania mempercepat langkahnya keluar dari kelas.
“Haduh, apes banget sih disuruh keluar! Kalo aku nggak boleh ikut kelas Kimia lagi gimana nih?” gumam Tania khawatir.
“Bodoh banget sih, Tan! Bisa-bisanya dikeluarin! Malu-maluin aja!” rutuk Tania pada dirinya sendiri.
Tania melangkah gontai menuju perpustakaan. Lebih baik ia menenangkan diri di sana, daripada ke kantin kalau ketahuan malah hukumannya ditambah.
Tania masuk ke dalam perpustakaan yang begitu sepi. Maklum semua kelas sedang pelajaran. Tania mengambil sebuah majalah dan duduk menghadap ke tembok.
“Woii, sstt! Sstt!” Tania mendengar sebuah suara tapi tak ia hiraukan.
“Woii, Tania! Sstt! Tan!” suara itu memanggil namanya. Tania mencari-cari sumber suara.
“Kak Rendi? Ngapain di sini?” ujar Tania pelan.
“Itu, aku sama temen-temen dikeluarin dari kelas gara-gara si Tommy sama Dimas berisik mulu!” Rendi juga memelankan suaranya. “Nah, kamu sendiri ngapain di sini?”
“Sama! Aku juga dikeluarin sama Bu Arista gara-gara aku ngomongnya kelepasan. Jadi deh sekarang di sini!”
“Tapi kok sendirian?”
“Ya karena yang ngomong keras cuma aku. Terus disuruh ngerjain soal di papan tulis aku juga nggak bisa.” Tania menundukkan kepalanya ke meja.
“Sabar ya, Tan! Udah biasa aja kali, nggak usah sedih kayak gitu. Mending kamu belajar di sini, jadi biar kalo nanti disuruh ngerjain soal lagi kamu bisa ngerjainnya. Belajar dari kesalahan gitu!” jelas Rendi mencoba menenangkan Tania. Tania mendongak.
“Kakak bijak banget sih? Baru sekali ini nih, aku nemuin orang yang meskipun dihukum tapi masih bisa mikir logis. Kadang kan kebanyakan mereka malah udah nggak mood dan bisa jadi malah ngulangin kesalahan yang sama.”
“Ngulangin kesalahan yang sama? Apa bedanya sama keledai? Keledai yang katanya hewan paling bodoh aja nggak pernah jatuh ke lubang yang sama. Masa’ kita yang manusia mau lebih bodoh dari keledai sih?”
“Wah, wah! Aku nggak nyangka kalo kakak emang pemikirannya lebih jauh dari aku,” Tania bertepuk tangan tanpa suara. “Terus kenapa kakak bisa dihukum kayak gini? Apa karena kakak mengulangi kesalahan yang sama?”
“Aku sih kena imbasnya doang, Tan!” Rendi menghela napas. “Beberapa kali Dimas dihukum aku nggak pernah kena. Baru kali ini doang aku kena.” Rendi tersenyum.
“Berarti Kak Dimas nggak bisa belajar dari kesalahan dong?”
“Maybe. Kamu jangan sampai kayak dia ya!” peringat Rendi.
“Oke, bos!” Tania hormat pada Rendi kemudian mereka berdua tertawa. Sesaat Tania mampu melupakan kesedihannya dengan mengobrol bersama Rendi.
Namun, hatinya masih gundah. Ia bertemu dengan Tommy, Dimas dan Rendi tapi tidak dengan Vicko.
⛈⛈⛈
“Tan, kamu dari mana?” tanya Rara saat Tania masuk ke kelas untuk mengambil tasnya.
“Ke perpus. Kan tadi disuruh keluar. Emangnya aku dicariin?”
“Enggak sih. Cuma aku mau minta maaf. Gara-gara aku kamu jadi dikeluarin dari kelas.” Rara menunduk sedih.
“Udah deh, Ra. Kayak sama siapa aja sih kamu ngomong kayak gitu? Aku malah mau berterima kasih sama kamu. Gara-gara aku dikeluarin, aku dikasih wejangan banyak sama Kak Rendi.”
“Kamu ketemu sama dia? Di mana?”
“Di perpus tadi lah. Dia dikeluarin juga dari kelasnya gara-gara Kak Dimas sama Kak Tommy gaduh. Kak Rendi sama Kak Vicko jadi kena imbasnya juga deh,” Tania mengangkat bahunya. “Tapi tadi aku cuma ketemu sama Kak Rendi doang.”
“Lha kok sama dia doang?”
“Nggak tau. Kak Rendi juga nggak tau ke mana temen-temennya yang lain soalnya pas keluar kelas mereka langsung lari ke arah yang berbeda. Ya udah yuk kita pulang!”
“Eh, pertanyaan aku yang tadi kan belum kamu jawab?” Rara menghentikan langkah Tania.
“Pertanyaan? Pertanyaan apa?”
“Kamu ada rasa kan sama Kak Vicko? Udah deh ngaku aja. Aku juga nggak bakalan bilang ke siapa-siapa kok.”
“Emm.” Tania menunduk menyembunyikan senyumnya. “Dikit doang kok!” bisik Tania pelan takut ada yang mendengar.
“Oh, hahaha. Ciee Tania! Udah deketin aja. Aku pasti bakalan selalu dukung kamu kok.” Rara menepuk-nepuk bahu Tania. Tania hanya nyengir. Ia masih menimbang-nimbang saran Rara. Apakah ia harus memperjuangkan perasaannya pada Vicko?
⛈⛈⛈
Tania berjalan santai menuju rumahnya setelah turun dari angkot. Langkah Tania terhenti ketika ia melihat sosok yang dikenalnya.
“Kak Vicko? Sama siapa tuh?” Tania mempertajam pandangannya. Vicko tidak sendirian, tapi Tania juga tidak tahu dengan siapa Vicko sekarang.
“Ah, sama temennya kali ya!? Kayaknya dia nggak liat aku. Udah ah, pulang aja.” Akhirnya Tania melanjutkan berjalan tanpa memikirkan siapa seseorang yang sedang bersama dengan Vicko.
⛈⛈⛈
Tania sedang mengerjakan PR saat Dinda masuk ke dalam kamar.
“Dinda dari mana?” tanya Tania tanpa menengok ke arah Dinda.
“Dari jalan-jalan sama Papa. Kakak udah dari tadi pulangnya?”
“Yah, lumayan. Emangnya jalan-jalan ke mana? Kok kakak nggak dibawain oleh-oleh sih?”
“Nih, buat Kakak!” Dinda menyodorkan es krim batangan pada Tania. Tania tersenyum kemudian mengacak rambut adiknya.
“Tadi Papa ketemu Vicko. Dia kayaknya tertarik kerja di perusahaan tempat Papa kerja. Lagian katanya dia juga jadi ketua OSIS, seenggaknya dia punya pengalaman yang cukup banyak dalam berorganisasi dan juga bekerja sama.” Jelas Papa.
“Emangnya Papa ketemu Kak Vicko di mana?”
“Tadi pas pulang sekolah dia ke kantor, terus ketemu sama Papa. Dia diijinin sama Mamanya untuk kerja tapi sambil kuliah. Ya kalau kayak begitu sih Papa nggak bisa maksa dia untuk kerjanya sekarang.”
Tania manggut-manggut dan ber-oh ria. Kemudian melanjutkan mengerjakan PRnya. Kedekatan Vicko dengan Papanya memberikan sedikit harapan pada Tania untuk memperjuangkan perasaannya pada Vicko.

Khayalan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang