Vicko berjalan santai setelah memarkir motornya di parkiran. Ia melihat Tania berjalan sendirian menuju koridor utama. Segera ia berlari-lari kecil ke arah Tania.
“Pagi, Tan!” sapa Vicko ramah dan langsung menyejajarkan langkahnya dengan langkah Vicko.
“Pagi juga, Kak! Tumben sendirian?” Tania celingukan mencari teman-teman Vicko yang lain.
“Ya kalo berangkat gini kan emang nggak bareng, Tan. Gimana sih kamu?” Tania nyengir. “Oh iya, gimana perkembangannya Rara sama Rendi?”
“Kayaknya sih mereka udah nggak terlalu kaku, Kak. Tapi ya nggak tau lagi, Rara nggak mau cerita sama aku.” Tania berjalan sambil menatapi sepatu bututnya.
“Ya mungkin emang privasi buat mereka. Mending kamu juga jangan terlalu ikut campur, kasian kamunya kalo ntar dikira kamu maksain perasaan mereka.” Vicko menasehati Tania. Tania sempat menganga sekejap mendengar pernyataan Vicko. Ternyata perhatian juga sama aku! Batin Tania senang.
“Iya, Kak. Aku juga nggak bakalan terlalu ikut campur urusan mereka. Kalo emang mau cerita ya bakalan aku dengerin, kalo enggak ya udah!” Tania mengangkat bahu.
“Eh, kapan-kapan temenin aku nyari barang buat cewek yuk! Aku mau ngasih sesuatu ke Cinthia!” bisik Vicko saat Tania sudah hampir sampai di kelasnya.
“Cinthia?” alis Tania bertaut.
“Oh, aku belum cerita ya. Cinthia itu nama pacarku. Hehehe, maaf ya minta tolong sama kamu terus.” Vicko memasang wajah bersalah.
“Oh.” Tania tercekat sesaat. “Iya, Kak. Nggak apa-apa, aku mau kok nemenin Kakak belanja apapun!”
“Bener ya?” mata Vicko berubah menjadi berbinar.
Tania mengangguk. Vicko mengepalkan tangan ke udara seraya tertawa riang.
“Thanks ya, Tan. Ntar kapannya, aku hubungin kamu deh. Ya udah, kamu masuk kelas gih. Belajar yang rajin ya!” Vicko mengacak poni Tania. Tania hanya tersenyum kecut. Ia sangat berharap perlakuan Vicko ini tidak terus ia dapatkan. Tania takut jika Vicko terus-menerus bersikap seperti itu, ia tak bisa menahan perasaannya pada Vicko.
“Woi, ngelamun di depan pintu! Ntar kesambet lho!” jerit Rara mengagetkan Tania.
“Ih!” Tania memukul lengan Rara. “Apaan sih kamu ngagetin orang aja! Aku nggak ngelamun kok! Orang aku habis ngobrol sama Kak Vicko.” Tania menjulurkan lidah kemudian langsung masuk ke dalam kelas dan melempar tasnya ke meja.
“Emang apa sih yang diomongin Kak Vicko sampek bikin kamu ngelamun kayak gitu tadi?” Rara menopang dagunya dengan kedua tangannya.
“Enggak. Dia cuma minta anterin beli sesuatu buat pacarnya doang kok.”
“Terus kamu mau?”
“Ya kenapa enggak? Orang minta tolong itu harus ditolongin dong!”
“Ya tapi, Tan.” Rara sedikit gusar. “Kamu yakin perasaanmu nggak kenapa-napa ntar?”
“Aduh, udah deh Ra. Kamu nggak usah terlalu khawatir. Tenang aja, aku nggak kenapa-napa kok. Percaya deh!” Tania meyakinkan Rara. Rara hanya mendengus kemudian membuang muka.
⛈⛈⛈
“Hai Tan!” sapa Dimas saat Tania sedang asyik memilih-milih buku di perpustakaan.
“Hai juga Kak Dimas! Ngapain di sini?”
“Ya mau baca buku lah, Tan. Masa’ mau dugem di sini.” Dimas mendengus. Tania hanya nyengir kemudian melanjutkan aktivitasnya mencari buku.
“Eh, kamu tumben sendirian, Tan? Biasanya sama si cewek hidung irit itu?” seru Dimas seraya memilih majalah olahraga.
Tania menghentikan aktivitasnya kemudian menatap ke arah Dimas dengan heran. Merasa tidak mendapat jawaban, Dimas menoleh ke arah Tania dan mendapatkan tatapan aneh dari Tania.
“Kenapa Tan?”
“Aku heran deh sama Kakak. Kalo ketemu sama Rara selalu berantem. Giliran Raranya nggak ada malah dicariin. Maunya apa toh?” Tania berdecak.
“Ya bukannya nyariin juga.” Dimas menenteng majalah olahraga kemudian duduk di salah satu bangku yang kosong. “Cuma aneh aja kalo liat kamu nggak sama dia. Kan kalian selalu bareng. Tapi syukur juga sih kalo pas ada kamu dianya nggak ada, jadi lebih aman.” Dimas menyunggingkan senyum.
“Dasar Kak Dimas nih!” Tania mencubit lengan Dimas. “Lha Kak Dimas sendiri kenapa kok sendirian?”
“Kalo aku sih udah biasa mencar sama yang lain. Oh iya, katanya kamu diajak Vicko buat beli barang buat Cinthia ya? kok kamu mau sih Tan?”
“Kenapa?” alis Tania bertaut.
“Kok kenapa? Emangnya kamu mau gitu nganterin dia beliin barang buat orang lain sedangkan itu malah bikin kamu sakit hati?”
Tania menghela napas panjang kemudian duduk di samping Dimas.
“Aku cuma pengen deket aja sama Kak Vicko, ya walaupun bukan sebagai pacarnya. Yang penting kan aku bisa bareng-bareng sama Kak Vicko. Ketimbang aku nurutin keegoisanku sendiri dan akhirnya malah jauh sama Kak Vicko, kan malah sedih juga.”
“Iya juga sih. Kalo ada apa-apa kamu bisa cerita sama aku kok, siapa tau aku bisa bantuin kamu. Oke?” Dimas tersenyum. Tania mengangguk.
“Gimana kalo sekarang kamu aku traktir siomay di kantin?” pekik Dimas.
“Maaauuuu!!” seru Tania seraya berjingkrak-jingkrak.
“Ya udah yuk!” Dimas mendorong Tania keluar dari perpustakaan dan berjalan menuju kantin.
⛈⛈⛈
Tania sedang duduk di teras depan rumah sambil mengerjakan tugas sekolah saat motor Vicko memasuki halaman rumahnya. Saking seriusnya sampai-sampai Tania tak menyadari bahwa Vicko sudah ada di sebelahnya.
“Serius amat!” bisik Vicko di telinga Tania. Tania sedikit terhenyak.
“Ya Tuhan! Kak Vicko nih bikin kaget aja deh! Ya ini loh, ulangan kemaren nilaiku jeblok banget! Jadi ya sekarang harus belajar mati-matian biar nilainya lebih bagus.” Ujar Tania lemas.
“Emangnya pelajaran apa sih?” Vicko menarik kertas yang ada di depan Tania yang tertulis angka lima berwarna merah ditengahnya. “Oh, fisika toh.”
“Udah deh ya, Kak Vicko pasti nggak bisa. Kan Kak Vicko ini anak IPS, anak sosial. Jadi nggak bakalan ngerti sama rumus-rumus kayak beginian.” Tania merebut hasil ulangannya dari Vicko.
“Wah, kamu ngeledek ya? Meskipun aku anak sosial, tapi aku jago fisika tau!”
“Lha kalo jago fisika kenapa masuknya di IPS? Kenapa nggak masuk di IPA aja? Kan lebih match gitu!” Tania menatap Vicko heran.
“Ya karena aku nggak suka jadi orang pinter. Jadi anak sosial itu lebih gaul tau. Dan juga anak sosial itu lebih solidaritas sama temen.”
“Oh, jadi Kak Vicko ngeremehin aku?” Tania memicingkan mata.
“Ya bukannya ngeremehin kamu, Tan. Tapi emang kenyataan yang ada di lingkungan kita kayak gitu. Kamu liat kan kalo anak kelas sosial dihukum pasti nggak pernah sendirian. Mereka pasti selalu rame-rame dihukum. Karena apa? Ya karena mereka lebih mementingkan solidaritas daripada keselamatan diri sendiri.” Tania menyimak penjelasan Vicko dengan seksama. “Kalo anak sains, kamu bisa jelasin sendiri deh kayak apa mereka.”
“Yah, emang sih kadangkala kita emang beda. Tapi nggak jarang kok anak sains yang solidernya tinggi.”
“Ya kan aku nggak ngomong semua anak sains itu anti-sosial. Ya udah ah, yuk belajar aja ketimbang ngomongin yang aneh-aneh.”
“Kak Vicko beneran bisa pelajaran fisika?” Tania masih tak percaya pada Vicko. Vicko menghela napas kemudian menatap Tania yakin.
“Apa menurut kamu aku lagi bercanda? Udah deh sini aku ajarin!”
Vicko segera merebut buku fisika milik Tania dan membacanya. Vicko segera menjelaskan materi yang ada di dalamnya dan membuatkan contoh soal untuk dirinya sendiri. Ia juga menjelaskan bagaimana cara menyelesaikannya. Tania mencoba mengerjakan soal yang diberikan oleh Vicko. Dengan sungguh-sungguh Tania mengerjakannya. Tanpa mereka sadari, Papa Tania sudah berdiri di samping mereka.
“Serius amat sih belajarnya! Emangnya belajar apa?” Papa mengintip tulisan Tania. “Oh, pelajaran fisika. Lho, kan Nak Vicko ini bukan anak IPA? Kok bisa mengerjakan soal fisika?”
“Hehehe, iya Om. Saya emang suka sama fisika, tapi nggak mau masuk IPA.” Vicko nyengir. Tak lama kemudian Mama Tania keluar sambil membawa minuman dan cemilan.
“Kalo belajar ya belajar, tapi jangan lupa kalo Vicko itu butuh minum.” Sindir Mama. Tania hanya tersenyum kecut. “Maafin Tania ya Vicko.” ujar Mama.
“Oh, iya Tante. Nggak apa-apa kok. Masih untung Tante inget, kalo enggak saya udah mati kehausan nih di sini.” Kemudian semuanya tergelak. Papa dan Mama segera masuk ke dalam rumah, sedangkan Tania segera melanjutkan mengerjakan soal yang diberikan oleh Vicko dengan begitu serius.
⛈⛈⛈
Vicko pulang saat jam menunjukkan pukul sembilan lewat. Tania benar-benar sungkan pada Vicko karena gara-gara mengajarinya, Vicko jadi pulang terlalu malam.
“Maaf ya, Kak. Maaf banget!”
“Udah lah, santai aja. Lagian kan kita belajar, bukannya ngelayap. Ya udah ya, aku pamit pulang dulu. Kalo kamu ada kesulitan belajar, aku siap bantu kamu kok. Atau kalo aku emang sibuk, nanti minta ajarin Rendi, dia jago banget tuh.”
“Oke deh, Kak. Makasih ya udah dibantuin tadi.”
“Iya. Ya udah, aku pulang. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam!” jawab Tania.
Vicko segera menstarter motornya dan perlahan menjauh dari rumah Tania. Tania segera mengunci pintu rumahnya dna berlari masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Dinda sudah tertidur dengan pulas.
Tania duduk di sebelah jendela sambil menatap langit yang begitu cerah di malam ini.
“Terima kasih Tuhan untuk hari yang begitu indah ini!” Tania mengucap syukur dengan setengah berbisik. Ia tersenyum puas mengingat apa yang baru saja dilaluinya bersama Vicko. Keadaan ini bisa membuat luka di hati Tania sedikit terobati. Tania berjanji dalam hatinya akan terus bersikap sewajarnya agar Vicko tak menjauh darinya.
“Demi kamu, Kak. Aku akan menahan semua sakit ini. Semoga kamu nggak pernah menjauh dari aku!” bisik Tania lagi kemudian beranjak tidur.
⛈⛈⛈
Dimas berjalan mengendap-endap di belakang Tania yang sedang berjalan dengan santai.
“Pagi, Tania!” pekik Dimas membuat Tania terlonjak. Dimas cekikikan sedangkan Tania mengelus dadanya.
“Aduh, Kak Dimas ini kok seneng banget sih bikin kaget orang? Untung jantungku nggak copot!”
“Hihihi. Ya habisnya kamu sih, jalan terlalu santai. Lagi ngelamun ya?”
“Yee, sok tau deh. Orang aku nggak ngelamun kok. Aku cuma lagi inget-inget aja, ada tugas yang belum aku kerjain apa enggak? Takutnya ntar ada tugas yang kelupaan!” jawab Tania sedikit bersungut-sungut.
“Wah ketauan nih! Pasti kamu semalem nggak belajar ya? Buktinya nggak inget ada tugas apa enggak!”
“Aku kemaren malah belajar dari sore sampek malem sama Kak Vicko. Belajar fisika, gara-gara ulangan kemaren nilaiku jeblok!”
“Oh. Pas banget tuh. Emang si Vicko jago banget fisika. Sayangnya dia nggak mau masuk IPA. Kalo masuk IPA, wussh pasti keren tuh!” Dimas menjelaskan dengan begitu gembira.
“Padahal dia kan Ketua OSIS ya yang bisa milih cewek di sini dengan satu tiupan napas. Tapi kenapa dia malah milih cewek yang dari luar sekolah ya?” ujar Tania membuat Dimas menatapnya heran.
“Kok kamu ngomonginnya laen sih? Kan tadi kita lagi ngomongin Vicko yang pinter fisika, kok sekarang jadi berubah haluan ke Vicko yang sebagai Ketua OSIS?”
“Ya nggak pa-pa. Mumpung ada temennya sekalian aku mau nanya.”
“Oh, atau jangan-jangan kamu nanya gitu mewakili diri kamu sendiri gitu? Kenapa Vicko nggak milih kamu tapi malah milih orang lain yang nggak satu sekolah gitu?”
“Ih, nih orang kok gampang banget ngambil kesimpulan sih. Ini nggak ada sangkut pautnya sama perasaan aku. Tapi aku nanya ini dari pandangan kalo Kak Vicko itu cowok nomer satu di sekolah ini! Ya udah ah, aku ke kelas dulu. Males ngomong sama Kakak!” Tania hendak beranjak namun Dimas mencekal lengannya.
“Eitts, tunggu dulu dong! Jangan ngambek gitu toh! Ya aku sendiri sih nggak tau secara pasti kenapa Vicko nggak milih pacar yang satu sekolah. Mungkin karena trauma.”
“Trauma? Maksudnya?”
Dimas gelagapan karena merasa ia sudah keceplosan. Ia menggaruk tengkuknya bingung.
“Engg... ya trauma. Ya..... itu trauma.”
“Iya trauma kenapa? Udah deh cerita aja. Aku nggak bakalan bocorin ke siapa-siapa kok!”
“Ya dulu dia pernah pacaran satu sekolah. Romantis banget si Vicko itu. Tiap pagi dia ngapelin si cewek itu. Dan nggak kerasa pacaran mereka udah nyampek dua bulan lebih. Nah, lama-kelamaan si cewek ini menghindar dari Vicko. Awalnya Vicko biasa aja sih sama sikap ceweknya ini. Tapi lama-kelamaan si cewek jadi agak galak sama Vicko. Dia kayak bener-bener ogah gitu pacaran sama Vicko. Akhirnya setelah mereka ngomong baik-baik, si cewek ini bosen kalo punya pacar satu sekolah, karena dari dulu si cewek ini selalu pacaran sama anak sekolah lain atau pokoknya yang nggak satu lingkungan lah sama dia. Ya gara-gara itu Vicko agak takut pacaran satu sekolah.”
“Oh, sebegitu sakitnya ya Kak Vicko sampek jadi trauma? Tapi ada kan yang suka sama Kak Vicko?”
“Ya mungkin sakit banget, Tan. Ya banyak kaleee. Termasuk kamu!” Dimas mengerlingkan mata pada Tania yang dibalas dengan pelototan. Tania langsung meninggalkan Dimas yang masih menahan tawa karena berhasil membuat Tania ngambek.
⛈⛈⛈
KAMU SEDANG MEMBACA
Khayalan Hujan
Teen Fiction"Ketika Kata Tak Mampu Terucap, Hujan yang Akan Menyampaikan Semuanya" ~ Cinta datang dari segala arah dengan begitu saja. Ketika hati tak mengijinkan mulut tuk mengucapkannya, mata hanya menjelaskan pada rintikan hujan yang selalu datang di setiap...