11

148 2 0
                                    

Dimas sedang serius membaca buku di perpustakaan saat Rendi menghampirinya.
“Rajin amat lo baru bel istirahat udah di sini?”
“Lagi males aja ngantin.” Dimas celingukan. “Vicko sama Tommy mana?”
“Bentar lagi ke sini. Masih beli minum dulu.” Kemudian Rendi memilah-milah buku yang ada di rak dan mengambilnya beberapa.
“Tumben lo diem aja? Biasanya ngoceh mulu?” seru Rendi sambil membuka buku yang baru saja diambilnya.
“Emangnya kenapa? Aneh ya?”
“Ya cukup aneh buat gue yang udah lima tahun sahabatan sama elo dan baru sekali ini elo sediem ini.” Rendi menatap Dimas tajam. “Elo lagi ada masalah ya? Cerita kali sama gue, siapa tau gue bisa bantu.”
“Waktu elo jatuh cinta, perasaan lo kayak gimana sih ke cewek yang bikin elo jatuh cinta itu?”
“Ya pastinya seneng kalo ketemu, cuma agak gengsi sih buat nunjukkin kalo gue seneng. Terus kalo nggak ketemu kadang ya kangen juga, tapi nggak berani nyamperin meskipun gue cowok. Ya lo tau sendiri lah!” Rendi menaik-turunkan alisnya.
“Pantang buat cowok buat deketin cewek yang nggak ngasih sinyal bagus!”
“Nah, tuh lo udah pinter!” Rendi menepuk pundak Dimas. Tak lama kemudian ia mengubah raut mukanya menjadi wajah yang penuh selidik terhadap Dimas. “Elo lagi jatuh cinta ya?”
“Ya kayaknya. Tapi gue belum yakin sih sama apa yang gue rasain ini. Takutnya cuma suka sesaat doang, abis itu udah deh ilang.” Dimas mengangkat bahu.
“Serius lo jatuh cinta? Sama siapa? Eh, elo kok nggak pernah cerita sama gue sih?”
“Woi woi, ada apaan sih kok lo heboh kayak gitu, Ren?” pekik Tommy dari belakang Rendi.
“Ada sejarah baru di geng kita. Akhirnya si Dimas jatuh cinta lagi!” tegas Rendi dengan menggebu-gebu.
“Eh, serius lo jatuh cinta lagi setelah bertahun-tahun menutup hati buat cewek? Sama siapa?” Vicko pun ikut penasaran.
“Apaan sih kalian? Gue sih nggak yakin-yakin amat ini itu jatuh cinta atau cuma suka-sukaan doang. Lagian lo tuh ember banget sih, Ren?” Dimas menjitak Rendi.
“Aduh!” Rendi mengelus kepalanya. “Ya kan ini kabar bahagia jadi ya harus disampaikan dong. Emangnya lo mau rahasia-rahasiaan sama kita? Kan kita sahabat lo. Gimana sih lo?”
“Emangnya lo jatuh cinta sama siapa, Dim? Sini deh gue bantuin deketin dia!” bisik Tommy.
“Mau tau aja lo!” Dimas beranjak keluar dari perpustakaan.
“Lah? Kok malah ngambek?” seru Vicko. “Kayaknya lagi sensitif banget sih dia. Kayak cewek lagi PMS aja!” semuanya tergelak.
“Ya udah yuk, mendingan kita cari tau apa yang terjadi sama si sontoloyo itu!” Rendi menyeret kedua temannya untuk mengejar Dimas.
⛈⛈⛈
Dimas menghampiri Tania dan Rara yang sedang menikmati makan siangnya di kantin.
“Aku boleh duduk di sini?” ujar Dimas sambil menatap keduanya.
“Lha koen sopo kok katene lungguh ndek kene? Kan bangku sing kosong sik akeh!” sahut Rara cepat.
“Eh, Ra jangan gitu dong. Boleh kok Kak. Duduk aja!” Tania mempersilahkan Dimas duduk di sebelahnya.
“Ancene wong medit kuwi yo ngono, lungguh ae ra oleh! Aku sampek heran, Tania kok iso kekancan karo arek medit koyok awakmu. Wes uripe medit, irunge yo medit pisan!” cerocos Dimas.
“Lah, elo malah di sini, Dim?” pekik Rendi kemudian duduk di sebelah Rara. “Eh, aku boleh kan duduk di sini?”
Rara yang tadinya sudah hendak melontarkan celaannya pada Dimas langsung diam seketika dan berubah menjadi begitu manis di depan Rendi.
“Iya, boleh kok!” Rara mengangguk.
Vicko langsung duduk di sebelah kiri Tania sedangkan Tommy di sebelah kanan Rara.
“Woo, lek Rendi sing lungguh nang kene nggak disentak-sentak. Lek aku sing lungguh, rupane koyok kate mangan wong!” ujar Dimas ketus. Yang lainnya pun terbahak. Dimas terus berkomat-kamit karena mendapat perlakuan yang tidak adil dari Rara.
“Udah udah, kalian jangan berantem terus. Eh, gimana Tan, remidi kamu? Bagus?” tanya Vicko.
“Lumayan Kak, dapet tujuh!” pekik Tania riang.
“Ya iyalah dapet tujuh orang diajarin sama masternya!” seru Dimas sambil berpura-pura sibuk.
“Emangnya kamu diajarin sama Vicko, Tan?” ganti Tommy yang penasaran.
“Iya. Kemaren Kak Vicko ke rumah. Nggak tau tujuannya ngapain. Tiba-tiba malah ngajarin aku fisika. Ya lumayanlah!” Tania nyengir.
“Wah, emang beruntung kamu, Tan. Diajarin langsung sama masternya. Vicko emang jago banget pelajaran fisika.” Tambah Rendi. “Sayangnya kalian bukan anak IPS ya. Kalo anak IPS, kita pasti mau ngajarin kalian semua pelajaran di IPS!”
“Huuu, modus!!” seru Vicko, Dimas dan Tommy bersamaan.
“Yeee, siapa yang modus. Kan lumayan diajarin sama empat cowok paling ganteng di SMA Nusantara. Ya nggak?” Rendi berlagak cool.
“Ya elo kan pinter semua matapelajaran, Ren. Ya udah elo aja yang ngajarin. Lo kan tau sendiri gue paling bontot di antara kalian bertiga.”
“Ya tapi elo kan paling jago itung-itungan duit di akuntansi?” sahut Tommy sambil mencomot bakso Rara. Rara hanya mendengus melihat kelakukan Tommy.
“Aduh, udah deh ya. Intinya kalian berempat itu jago di bidang akademik! Gitu aja kok ya sampek berantem!” Tania menengahi.
“Kalian kan udah kelas tiga. Ya mendingan kalian fokus belajar bareng buat UNAS. Jangan mikirin kita dulu. Yang penting kalian dulu!” Rara menimpali.
“Siap bos!” Rendi melakukan sikap hormat pada Rara.
“Ehem, kayaknya ada perkembangan nih!” pekik Vicko.
“Kayaknya bentar lagi kita makan gratis nih!” tambah Dimas.
“Kayaknya juga kita lebih sering jadi obat nyamuk nih!” Tommy ikut-ikutan menyindir.
“Kayaknya aku makin sering dikacangin nih!” seru Tania membuat yang lain menoleh ke arahnya kemudian tergelak. Tania hanya bengong melihat yang lain sedang menertawakannya.
“Kok gitu sih, Tan, ngomongnya?”
“Ya kan bener. Kalo Rara sama Kak Rendi aku kan lebih sering dikacangin Kak Tom!”
“Ya udah, sama aku aja biar nggak dikacangin sama mereka.” Tommy mengerlingkan mata membuat Tania bergidik dan membuat yang lain tertawa. Akhirnya tawa mereka semakin menjadi hingga bel masuk berbunyi yang menghentikan tawa mereka.
⛈⛈⛈
“Tan, aku pulang duluan ya. Ada urusan mendadak nih!” pamit Rara terburu-buru setelah membaca sebuah SMS di ponselnya.
“Oh, oke. Ati-ati, Ra!” pekik Tania saat Rara sudah melesat keluar kelas. “Tumben banget tuh anak buru-buru kayak gitu?” Tania mengangkat bahu kemudian membereskan semua perlengkapan sekolahnya dan segera keluar dari kelas.
Tania berjalan santai saat Tommy dan Dimas menghadangnya.
“Eh, ada Kak Tommy sama Kak Dimas. Kenapa nih kok mukanya kayak mau bunuh orang gitu?” Tania menatap keduanya heran.
“Ikut kita!” seru keduanya bersamaan seraya menyeret Tania.
“Eh, ini mau kemana?” Tania meronta.
“Udah ikut aja!”
Akhirnya Tania menurut saja daripada diamuk oleh keduanya. Sepertinya memang ada hal yang serius yang ingin mereka sampaikan. Tania dibawa keduanya ke Lucifer cafe.
“Lah, kita ngapain ke sini?” tanya Tania saat sampai di depan kafe.
“Mau makan!” teriak keduanya membuat Tania melongo.
“Cuma mau makan gitu doang tadi tampangnya sangar kayak gitu?”
“Hehehe. Sorry, Tan. Kalo nggak gitu takutnya kamu nggak mau ikut kita.” Dimas nyengir.
“Ya minta baik-baik bisa kali. Toh aku juga lagi sendirian.” Jawab Tania seraya duduk di meja pojok kafe.
“Oh, iya. Kemana temenmu yang galaknya minta ampun itu?” Dimas memanggil pelayan kafe.
“Tadi katanya ada urusan mendadak. Dia tadi juga buru-buru banget perginya. Nggak tau ada urusan apaan. Lha kalian kok juga cuma berdua?”
“Iya kan kamu tau sendiri si Vicko kemana. Kalo Rendi tadi ada janji sama murid lesnya kalo harus les sekarang. Tapi padahal jadwal biasanya nggak hari ini. Tapi ya udahlah, whatever he do.” Tommy mengangkat bahu.
Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Tania segera menyeruput jus lecinya dan tiba-tiba teringat sesuatu.
“Tadi Kak Tommy bilang jadwal Kak Rendi ngasih les bukan hari ini tapi tiba-tiba diganti hari ini?” Tania mengulangi apa yang diucapkan Tommy.
“He’em. Emangnya kenapa?”
“Kok kayaknya aneh aja gitu. Sama kayak Rara yang tiba-tiba ada urusan terus perginya juga buru-buru lagi. Jangan-jangan...” Tania menggantung kalimatnya membuat Tommy dan Dimas membulatkan mata.
“Maksud kamu....” ujar Dimas menyelidik.
“Mereka sebenernya pergi bareng?” sambung Tommy. Tania mengangguk mantap.
“Eh, iya tuh bisa jadi mereka pergi bareng. Soalnya mereka sama-sama terburu-burunya, habis itu alasannya nggak logis pula buat kita.” Analisis Dimas begitu tepat untuk Tommy dan Tania.
“Kenapa mereka pake rahasia-rahasiaan segala sih sama kita? Emangnya kita mau buntutin mereka apa? Kita juga pastinya bakalan dukung kali kalo mereka emang mau jadian.” Tommy menggerutu.
“Ya bisa aja mereka masih gengsi buat ngakuin kedekatan mereka. Ya kan?” Tania menatap Dimas dan Tommy bergantian. Keduanya mengangguk setengah ragu.
“Ah, udah ah. Kenapa jadi mikirin mereka? Mendingan kita makan dulu. Wetengku wes mlintir-mlintir iki lho rasane!” erang Dimas kemudian melahap makanannya.
“Eh, Kak Tommy. Diliatin sama cewek itu tuh!” Tania menunjuk meja yang ada di seberang mereka dengan dagunya. Tommy mengikuti arah pandangan Tania.
“Wauw, ini boleh juga nih kayaknya.” Tommy perlahan beranjak dari duduknya dan mendekati perempuan yang ditunjuk oleh Tania tadi. Benar saja, pipi perempuan itu sedikit merona saat Tommy mendekat.
“Eh, Kak Dim. Kak Tommy mau ngapain tuh?” Tania mengguncang lengan Dimas yang sedang asyik makan.
“Liat aja sendiri!” ujar Dimas dengan mulut penuh dengan makanan.
Tommy duduk di depan perempuan yang kini menunduk karena malu didekati Tommy. Perempuan itu terlihat begitu anggun dengan gaun selutut berwarna maroon yang dibalut dengan blazer hitam sesiku.
“Hai, sendirian aja nih!” ujar Tommy membuka pembicaraan.
“Eh... iya. Kamu kok ke sini? Bukannya lagi makan sama temen-temen kamu ya?” ujar perempuan itu sedikit malu.
“Ya nggak apa-apa. Emangnya aku nggak boleh ke sini? Ya udah aku balik!” Tommy hendak beranjak.
“Eh, bukannya gitu.” Pekik perempuan itu menahan Tommy. Tommy pun kembali duduk dan menatapnya.
“Namaku Tommy. Nama kamu siapa?”
“Aku Linda. Salam kenal.” Linda mengulurkan tangannya dan disambut oleh Tommy.
Tania dan Dimas mengawasi mereka dari jauh.
“Kak Tommy emang kayak gitu ya kalo ketemu cewek? Gayanya selalu sok cool. Kayak waktu pertama kali aku ketemu sama dia dulu.” Ujar Tania menerawang.
“Dari dulu mah si Tommy emang kayak begitu. Tapi agak heran aja kalo dia nggak punya pacar.”
“Nah, terus cewek yang biasanya dideketin kayak gitu buat apa kalo nggak dijadiin pacar?”
“Ya si Tommy itu cuma bikin mereka kege-eran aja. Habis itu kalo Tommy udah bosen, langsung ditinggal deh!” Dimas mengangkat bahu diikuti kedua tangannya yang menadah.
“Nggak takut kena karma apa ya Kak Tommy itu?”
“Ya udah lah biarin. Siapa tau nanti ada cewek yang bisa bikin dia tobat terus nggak modusin cewek lagi. kalo kayak gini nih kasian ceweknya, bukan kasian Tommy-nya.” Dimas mencibir.
“Yuhuu, gue dapet nomernya Dim!” bisik Tommy pada Dimas setelah ngobrol cukup lama dengan Linda.
“So? Terus gue harus jungkir-balik sambil ngelap kaca nih kafe? Lagian lo tuh kan masih punya banyak modusan. Kok udah nambah lagi?”
“Ya udah sih santai aja. Nanti gue bagi ke elo satu ya!” Tommy mengerlingkan mata.
“Iyuuuhh, ogah!!” Dimas menjauhkan diri dari Tommy membuat Tommy semakin menggodanya. Tania hanya geleng-geleng melihat dua lelaki di depannya.
⛈⛈⛈
Vicko mondar-mandir di kamarnya dengan sangat gelisah. Sedari tadi teman-temannya begitu sulit untuk dihubungi.
“Haduh, nih anak-anak pada ke mana semua sih?” maki Vicko sambil coba untuk terus menghubungi Dimas. Nomor Dimas pun sangat sulit untuk dihubungi. Dia menelepon Rendi, nomornya tidak aktif. Sedangkan Tommy jaringannya selalu sibuk.
“Masa’ iya sih mereka ngambek gara-gara gue pergi nggak pamit? Kayaknya biasanya nggak kayak gini deh! Haduh!” Vicko menjambak rambutnya frustasi.
“Oh iya. Siapa tau aja mereka lagi sama Tania. Gue telepon Tania aja deh.” Vicko segera mencari kontak Tania di ponselnya dan menghubungi Tania. Dan ternyata masuk.
“Halo, Tan!” sapa Vicko.
“Iya Kak. Ada apa?” jawab Tania di seberang.
“Ini nih aku mau nanya. Kamu lagi sama temen-temen aku nggak?”
“Iya nih Kak. Ini lagi di Lucifer. Emangnya kenapa? Ada perlu sama mereka? Atau mau ngomong sama mereka?
“Oh, enggak Tan. Ya udah aku langsung ke sana aja. Tungguin bentar ya. Dah!” Vicko memutuskan panggilan lebih dulu kemudian segera menyambar jaket dan berangkat ke Lucifer.
⛈⛈⛈
“Ngomong apa tadi si Vicko?” tanya Dimas saat Tania selesai menelepon.
“Katanya dia nyariin kalian. Ya aku bilang aja kalo kita lagi di Lucifer. Katanya bentar lagi mau ke sini.” Tania memasukkan ponselnya ke dalam tas.
“Haduh, giliran udah selesai kencannya baru deh inget temennya!” gerutu Tommy.
“Alah, koyok awake dewe gak ngono wae!” Dimas meninju lengan Tommy.
“Hei, kalian ke sini kok nggak ajak-ajak sih?” seru Vicko saat memasuki Lucifer kafe. Dimas melengos sedangkan Tommy masih asyik dengan ponselnya.
“Eh, Kak Dimas sama Kak Tommy kok diem aja sih?” ganti Tania yang bingung.
“Nah tadi kan gue sama Dimas udah ngajak elo. Eh, elonya nggak dengerin kita malah langsung pergi gitu aja!” Tommy angkat bicara.
“Ya sorry, Tom. Tadi gue ada urusan mendadak!” Vicko menyeruput minuman Tommy.
“Kencan maksud loh?” sahut Dimas. Vicko hanya nyengir.
“Nah si Rendi ke mana?”
“Katanya sih ada urusan mendadak juga!” sahut Dimas ketus.
“Kok elo jutek gitu sih, Dim, jawabnya?”
“Terus kenapa? Elo nggak suka Dimas jawab kayak gitu sama elo? Elo tuh yang sekarang jadi sibuk sendiri! Mentang-mentang punya pacar elo jadi lupa sama temen lo!” Tommy mulai emosi.
“Jadi kalian marah cuma gara-gara itu? Hei, come on! Jangan kayak anak kecil gini deh. Si Rendi juga sibuk tapi kalian nggak marah tuh sama dia?”
“Tapi Rendi masih sempet pamit sama kita. Dia juga baru sekali ada urusan yang mendadak. Nah elo, sering banget ninggalin kita tiba-tiba terus nongol juga tiba-tiba tanpa ngerasa bersalah. Wajar nggak kita kesel sama elo?” ujar Tommy gusar kemudian bangkit dari duduknya. “Yuk, Dim. Kita pulang!” Dimas langsung mengikuti Tommy keluar dari kafe.
“Kakak yang sabar ya! Mungkin mereka lagi kangen sama Kakak, tapi Kakak yang jarang sama mereka jadinya mereka ngambek kayak gitu deh!” Tania mencoba menenangkan.
“Iya, Tan. Udah biasa kok. Palingan bentar lagi juga udah baikan! Eh, pulang yuk! Aku anterin ya. sekalian mau ngobrol sama Papa kamu.” Vicko membayar makanan teman-temannya dan menarik Tania keluar dari kafe untuk segera pulang. Hatinya masih kesal tiba-tiba temannya marah sebesar itu padanya hanya karena masalah sepele.

Khayalan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang