"tapi Kak Angga melakukannya tanpa persetujuan Lina, bahkan dia memanganggap kejadian itu seolah tidak terjadi" Isyana tak mau kalah bicara
"Itu sama saja dia tidak mengakui benihnya" Isyana berbicara dengan nada lebih rendah
'benih?'
'Karlina hamil?'
'jadi Satria memang anakku?'
'Isyana sudah tau itu?'
"Ibu tak baca hasil diagnosa itu, Lina bahkan mengalami trauma karna perbuatan Kak Angga"
"ceritakan semunya Isyana, aku yakin pasti ada kesalahpahaman"
Akhirnya aku keluar dari tempat persembunyianku, karena aku tak bisa terus bertanya-tanya sendiri.
"salah paham?"
"aku memang memintanya melupakan kejadian itu"
"tapi bukan berarti aku menolak anak itu"
"kalau begitu, mengapa Kakak setuju saja saat Lina menceraikanmu?"
"aku pikir Lina sudah tak tahan hidup denganku, saat itu aku belum mencintainya. Apa aku berhak menahannya?"
"apa Kakak pernah bicara sepanjang ini pada Karlina?" ku jawab dengan gelengan
"aku tau pernikahan Kakak pasti akan berakhir seperti ini. Cobalah ubah sikapmu! Jika saja kau berbicara dengan benar, mungkin masalahnya tak akan seperti ini"
"oke, aku gak bakal ikut campur masalah ini lagi, asal Kakak bisa selesain masalah ini sendiri. Cobalah bicara padanya!"
"Ibu juga, tolong biarin Kak Angga minta maaf sama Karlina, nyatanya emang dia yang salah kok. Ibu dah jadi nenek loh"
"Kakak mencintai Karlina?"
"sepertinya"
***
Aku dan keluargaku hendak ke kediaman keluarga Megantara, Karlina sudah tidak tinggal di Bogor lagi. Aku semakin tidak bisa menahan rinduku pada Satria.
"biasa aja kali Kak! Pertama kali deh liat Kakak tegang kaya gini. Kakak tuh biasanya cool kaya es" udah tau kakaknya tegang, bukannya nenangin malah ngatain. Psikolog macam ini..
"kamu kaya Ayah waktu mau ngelamar Ibu kamu dulu tau gak" Ayahku yang duduk di kursi kemudi menimpali, Saat ini kita berada dalam perjalanan meunuju rumah Karlina. Selama di perjalanan kakiku tak henti bergetar.
"Ibu tahu, kamu gugup bukan karena takut digorok Dharma kan? Tapi kamu gugup karena bakal ketemu Karlina" aku tak mau menatap wajah Ibu, aku memalingkan wajahku ke jendela. Kuhirup napas dalam aku harus mengendalikan diriku, bukankah aku ahli dalam hal itu. Tak terasa kita telah sampai di kediaman Megantara.
Rumah ini mengusung konsep terbuka dengan dikelilingi tanaman yang cukup tinggi di luar sehingga rumah ini masih memiliki privasi meski terdapat banyak jendela, rumah ini tampak hijau dan asri. Begitu sehat, menunjukkan jika si pemilik memang berprofesi sebagai dokter.
Dulu aku tak begitu sering menginap di sini, padahal Lina sering merindukan orang tuanya. Aku memang suami yang kejam. Terlihat anak-anakku sedang bermain di lantai atas yang dikelilingi dinding kaca –anak-anakku, tunggulah kalian akan segera bisa memanggilku Ayah.
Karlina, aku dan keluarga kita sudah berkumpul di ruang tamu.
"aku minta maaf Ayah atas segala perbuatanku selama ini pada Lina"
"kau masih berani memanggilku dengan sebutan itu setelah apa yang kau perbuat pada putriku satu-satunya"
"aku mohon Dharma, maafkanlah putraku"
"jika putrimu yang diperlakukan seperti itu oleh orang lain, apa kau akan memaafkannya begitu saja Hendra?"
"Ayah tenanglah! Bukankah kita berbicara untuk menyelesaikan masalah ini baik-baik. Jika Ayah berteriak-teriak anak-anak bisa mendengarnya"
"aku mohon Ayah maafkan aku, izinkan aku menemui anakku" aku berlutut di hadapan mereka semua
"selama aku belum bisa memeluk putriku, jangan harap aku akan memberimu izin bertemu dengan cucuku"
"aku bersalah Ayah, biarkan aku bertanggung jawab atas perbuatanku"
"sudahlah Ayah aku tak pernah memilki dendam pada Kak Angga, sebaiknya Ayah maafkan saja"
"memang apa yang bisa kau lakukan untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu itu?"
"RUJUK DENGANNYA"
KAMU SEDANG MEMBACA
Skinship
General FictionKarlina dijodohkan lalu bercerai dari suaminya dan menjadi takut pada sentuhan pria, ternyata mantan suaminya menjadi bos di tempat kerjanya. Akankah Karlina mencoba membuka hati untuk mantan suaminya itu?