Perkamen Tiga; Adjektiva

270 33 0
                                    


Perkamen Tiga: Adjektiva

***

Ravan terbangun dari tidur kerbaunya. Kelopak matanya masih merem melek ketika tangannya dengan serampangan berusaha menggapai ponsel yang ada di atas nakas. Matanya menyipit memandangi layar ponselnya yang terlalu cerah. Ketika ia turunkan kadar cahaya layarnya, dia mengumpat. Masih terlalu terang, batinnya mencibir.

From: +628530090xxxx
Subject: -

Bangun, kebo. It's weekend. Do u still rmmbr ur prom—

BUK.

Ponselnya jatuh menimpa wajahnya, dengan keras.

Entah sudah berapa banyak nama binatang yang keluar dari bibirnya. Dalam hati, dia bertepuk tangan. Bagus, baru saja bangun dari jet lag, sekarang wajahnya sudah dihantam saja oleh benda besi sialan itu. Jika saja dia tidak mencintai ponselnya, sudah pasti benda itu sekarang tergeletak tragis dengan perangkat kerasnya yang mencuat ke mana-mana.

From: +628530090xxxx
Subject: -

Bangun, kebo. It's weekend. Do u still rmmbr ur promise? Aku sedang ingin ngemil sushi dkt kampus kita. Kalau jam 11 blm jg datang, aku gk akan prnh mau cium km lagi.

Now wake up head ass,
Mudita.

Praktis saja senyum kekanakan terbit dari bingkai rupawannya. Segera dia terduduk di ranjang dan menyisir rambutnya dengan tangan, lalu tersenyum songong. Gak apa-apa sial, yang penting punya pacar, cekikiknya. Lalu matanya bergulir menatap jam dan runtuh sudah senyum tengil dari rupanya. Jam sebelas kurang limabelas menit. Sial!

Penulis tertawa jahannam; gak apa-apa dong sial, 'kan punya pacar.

Dia buru-buru mandi bebek. Semua kegiatan mandi yang seharusnya dia lakukan secara bertahap, Ravan lakukan semuanya sekaligus dalam satu waktu. Menjijikan. Tapi persetan, dia tidak peduli. Dia harus cepat-cepat sampai, kalau tidak bisa saja bukan ciuman pacarnya yang hilang, tapi ponselnya juga, akan disita sampai wanita itu tidak lagi ngambek.

Dia lari tunggang-langgang keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melingkari pinggulnya. Dia tergopoh-gopoh memakai baju dan terbirit keluar tanpa merapikan rambutnya, bahkan sampai membanting pintu. Talitha yang terkejut di dapur menyumpah serapahi bocah lelakinya yang ngeluyur keluar tanpa izinnya.

"GAK USAH PULANG SAJA SEKALIAN!"

"I love you, Ma!" teriaknya tengil. Buru-buru dia masuk mobil hitamnya dan memanasi teman kesayangannya itu, lalu menggas dan berbelok cepat, menembus jalanan kota Jakarta untuk menjumpai kekasih.

***

Naya mengusap-usap dagunya serius di hadapan dua buku yang sekarang menjadi objek persidangannya; Hamlet, karya Shakespare atau Hujan di Bulan Juni, karya Sapardi. Rak di tempatnya dia berdiri lengang, sepi layaknya toko buku. Namun suasana hening di deret rak itu hancur ketika kemudian Naya dengan keras melenguh kesal dan mengacak rambut hitam panjangnya frustasi.

Dia menginginkan keduanya!

Sial! Uang Naya sudah sangat menipis dan dia nekat mampir ke toko buku dengan awal niatan membeli buku Sapardi, yang katanya akan masuk dalam ujiannya minggu depan. Naya sudah memantapkan hatinya untuk hanya membeli buku fenomenal milik Sapardi itu, tapi matanya menangkap Hamlet yang berdiri dengan cantiknya, menggoda Naya untuk segera memboyongnya ke rumah.

Ablasi: WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang