Perkamen Dua: Keberuntungan
***
Hujan masih turun deras dan hari sudah semakin sore ketika Naya terbangun dari tidurnya—yang entah kenapa sangat memuaskan di Trans Jakarta. Baginya, tak ada tempat yang lebih nyaman untuk tidur selain kasur, dan kursi di Trans Jakarta. Ada suatu kepuasan tersendiri kala Naya mendapat kursi belakang paling pojok, dekat jendela, dan dia berhasil mempertahankan kursi itu sampai tujuan—jika tidak keblabasan.
Mulutnya menguap lebar dengan tak sopan dan Naya merasa telinganya bindeng. Kelingkingnya mengorek telinga dan bibirnya manyun. Inilah akibatnya kalau tidur tak tahu tempat dengan posisi sembarangan. Bahkan mungkin Naya yakin di sudut bibirnya ada anakan sungai dari ilernya. Ugh.
Tiba-tiba saja Naya merasa pundaknya di colek. "Dek,"
Naya menoleh, menatap wanita paruh baya di sebelahnya bersama tangan yang mengusap sudut bibirnya—takut terdapat iler sesuai dugaannya. "Iya kenapa, Bu?"
"Adeknya kalau suka tidur di busway, bawa bantal leher saja. Itu tadi sampeyan ngamuk-ngamuk sama jendelanya sampai dipukulin. Kepala Adek gak apa?"
Batin Naya terpelatuk. Jemarinya terangkat menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan cengiran slenge yang terbit, "Gak apa kok, Bu. Cuma kecapean saja sampai ngigau kayak tadi," matanya berputar melihat keadaan busway, lalu sadar bahwa ibu ini dari tadi tak kunjung turun. "Ibu gak turun? Bukannya Ibu bareng saya ya naiknya?"
"Saya menunggu Adek bangun. Gak tega meninggalkan perempuan belia di sini. Saya takut kamu diapa-apakan. Adek turun di mana?" senyum ibu itu tulus.
Tepat. Kebaikan ibu tadi tepat menusuk jantungnya hingga kelopak mata Naya sekarang mengerjap karena terharu dan senyum tertahan. Dengan girang Naya menjawab, "Saya turun di shelter—" Naya terdiam, sadar akan sesuatu lalu menjerit. "LOH?! SUDAH KELEWAT?!"
Teriakannya jelas membuat seluruh penumpang busway menoleh dan mendengus mengejek, suruh siapa tidur sepanjang perjalanan, ya macam Tolak Angin jadinya—bablas. Naya jadi panik sendiri. Tubuhnya bangkit dengan kasar sampai lututnya terantuk kursi dan membuatnya mengaduh nyeri. Dia sudah akan menyelisipkan diri kala tangannya ditarik kembali duduk oleh Ibu-ibu di sebelahnya.
"Dek, tenang," Ibu itu menepuk pundaknya mengingatkan, "jangan grasa-grusu, kamu bisa pulang bareng saya. Suami saya biasa jemput di shelter."
"Saya bisa sendiri kok Bu—"
"Sayangnya saya memaksa, Dek." Ibu itu nyengir, terdengar seperti guyonan yang serius untuk Naya.
"Memang saya tidak merepotkan, Bu?" tanya Naya ragu.
"Tentu saja tidak!" mata ibu itu melotot. "kenapa berpikir seperti itu? Kenapa menolong orang jadi sebuah kerepotan?"
Telak senyum Naya terbit, menjadi sebuah cengiran girang. "Makasih, Bu!"
***
Naya telah sampai di halaman kostnya dengan selamat sejahtera. Dia benar-benar senang tak harus naik taksi atau ojek dan mengeluarkan koretan sisa uang di dompetnya yang telah berdebu karena sepi uang yang menjadi penghuninya—ini akhir bulan, coy. Terjamin sudah kebutuhan pangannya untuk esok.
Senyum lebar Naya tidak sirna-sirna dari wajahnya, membentuk bingkai manis seorang gadis. "Makasih ya, Tante, Om, kebaikannya. Saya tidak akan tahu gimana jadinya saya kalau tidak bertemu Tante dan Om. Mungkin saya sudah melahap uang saku saya seminggu untuk ojek." guyonnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ablasi: Waktu
Aktuelle LiteraturABLASI /ab·la·si/ n (1) hal terlepasnya sesuatu dari sesuatu.