Perkamen Satu
***
"Astaga, jantungku. Pergi kemana jantungku?" nenek-nenek bersyal biru itu dengan gagap mondar-mandir sembari memegang dadanya dan mengumpat, tak ayal membuat Naya tertawa ringan -meskipun adrenalinnya belum juga surut karena mobil ugal-ugalan tadi.
"Nenek tidak apa?" ia berdeham, berusaha menghilangkan suara gemetarnya.
"Tentu saja, tentu aku tidak apa. Untungnya bajingan tadi tidak mencuri jantungku," nenek itu mengumpat. Ditatapnya Naya dari rambut hingga ujung kaki, "kamu. Kamu yang tidak apa, Nak?"
Naya nyengir. "Kalau Nenek baik-baik saja, aku apalagi. Apa Nenek masih perlu bantuan? Ingin saya antar pulang?"
Bukannya menjawab, nenek itu diam dan hanya mengamati Naya dalam. Matanya menyorot tajam tepat pada dirinya dan sanggup membuat Naya bergidik merinding. Ia menjilat bibir bawahnya gugup, nenek ini kenapa mengamatiku sebegitunya? Namun semua pikiran ngeri sirna selepas dilihatnya nenek itu tertawa lebar.
"Tidak, tidak usah." Nenek itu terbatuk. "Kalau kamu mengantarku, bisa-bisa dirimu bertemu cucuku. Kemudian aku akan menghancurkan benang merahnya. Tidak," ia berhenti sebentar, "kamu bisa lanjutkan perjalananmu. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak selemah yang dirimu pikir, nona muda."
Naya tertawa, kemudian berbasa-basi sebentar lalu pamit pergi setelah meyakinkan dirinya bahwa nenek itu akan baik-baik saja jika dia tinggal. Baru beberapa langkah, nenek itu memanggilnya.
"Nona muda," teriak nenek itu, membikin Naya menoleh.
"Ya? Kenapa, Nek?" Naya berusaha mendekat. Namun lambaian tangan nenek itu mengungkapkan untuk tetap berdiri di situ saja.
"Kita akan bertemu lagi," jawabnya.
***
Naya merasa tubuhnya tersentak dan matanya terbuka. Perpustakaan universitasnya telah dipenuhi orang yang berlalu lalang ketika ia mengerjapkan matanya yang buram. Ketika ingin menegakkan tubuh, kepalanya berdenyut nyeri dan membuatnya mengerang kesakitan. Umpatan keluar dari mulutnya. Lain kali, tidak akan dia tidur dengan kepala di meja. Bukannya kembali segar malah membuatnya pusing, dia mendengus kesal.
Matanya bergerak memandang suasana perpustakaan sembari menggeliat. Tak berniat melihat jam, manik matanya mengamati jendela perpustakaan dan menopangkan dagu. Sudah sore, benaknya menyimpulkan. Meski kewarasannya masih di awang-awang, belum terkumpul sepenuhnya, Naya tetap memikirkan mimpinya tadi.
Dia mengalami mimpi itu sendiri. Namun bukan berarti peristiwa itu miliknya.
Naya membasahi bibirnya pelan. Apakah mimpi tadi adalah masa lampau? Atau yang akan datang? Kalaupun salah satu dari hal tersebut, milik siapa? Dipejamkan matanya ringan dan menarik napas panjang. Lupakan. Lupakan. Anggap saja tadi hanyalah mimpi bodoh yang sering datang dan kemudian terbang begitu saja layaknya angin. Apapun yang terjadi, bukanlah urusanmu, Naya. Benar. Bukanlah urusanmu.
Akan kuberitahu satu hal; Naya mampu melihat masa lampau dan yang akan datang.
Karena itu, dia menganggukkan kepalanya dan bangkit dari bangku yang telah dia duduki selama tiga jam lebih. Buku-buku yang berserakan di meja ia rapikan dan ia masukkan ke dalam tas cangklong putih kesayangannya. Yakin tidak ada yang tertinggal, dia memutuskan pergi meninggalkan perpustakaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ablasi: Waktu
Fiction généraleABLASI /ab·la·si/ n (1) hal terlepasnya sesuatu dari sesuatu.