8. INI DIA: MELIHAT DARI JAUH

11.2K 861 32
                                    

"Anak pembawa sial! Kalian adalah anak pembawa sial!"

Aku menangis, meringkuk di pojok kamar. Aku takut, tubuhku gemetaran, dan terasa nyeri akibat sabetan ikat pinggang Ibu.

"Ampun, Ibu ...."

Tidak ada gunanya. Ibu tidak akan berhenti sebelum dia lelah. Bercak merah yang berdenyut membuatku menjerit kesakitan. Aku yang masih berumur sepuluh tahun tidak dapat melawan. Aku terlalu takut melawan Ibu, aku takut menjadi anak durhaka. Ibu bilang, jikalau kita melawan orang tua, kita akan mendapat dosa. Aku tidak mau mendapat dosa.

"Sakit, Ibu ...."

Rintihan kakakku, Kurosuke, menjadi melodi pilu yang merasuk ke rongga telingaku. Dia juga mendapat perlakuan yang sama sepertiku. Kami disiksa sebagai pelampiasan kemarahan Ibu.

"Lebih baik kalian lenyap saja!"

Ibu menyabetkan ikat pinggangnya sangat keras, sebelum akhirnya Ibu berhenti. Kacamataku terlempar dan pecah karena diinjak Ibu. Buram, aku tidak bisa melihat apa-apa.

Anak pembawa sial. Aku bukan anak seperti itu. Aku bukan anak pembawa sial.

"ANAK PEMBAWA SIAL!!!"

"TIDAK!"

"Shirosuke?"

Aku terlonjak. Kesadaranku belum sepenuhnya kembali. Aku melihat sekitar, celingukan seperti orang bodoh. Kacamataku melorot sampai ke bawah hidung, membuat kacanya berkabut karena terkena embusan napasku.

"Shirosuke?"

Suara itu kembali menyadarkanku. Raut wajahnya yang terlihat bersahabat, memberiku senyuman hangat. Dia adalah salah satu senior dari pengurus perpustakaan yang sudah datang.

"Tidurmu nyenyak sekali sepertinya?" Dia terkekeh. Aku bangkit dari kursi yang biasa kugunakan untuk menjalankan tugas sebagai pengurus perpustakaan.

"Aku sedikit mengantuk." Aku membenahi kacamataku ke tempat semula dan merapihkan seragamku. "Maaf aku tidak membantu dengan baik pagi ini."

Aku membungkuk, meminta maaf. Keteledoranku pagi ini sangat memalukan.

"Tidak apa-apa. Lagipula, perpustakan pagi ini sepertinya belum ada yang mengunjungi."

Senior Makoto, sikapnya yang ramah, hangat, dan begitu bersahabat membuatku menghormatinya. Namun, siapa tahu saja di balik sikapnya yang seperti itu ternyata terdapat sikap yang sebaliknya? Entahlah, aku tetap belum bisa mempercayai siapapun di dunia ini.

"Sebentar lagi bel masuk, Shirosuke, sebaiknya kau kembali ke kelas."

Aku mengangguk, lalu mengambil tasku.

"Oh, ya, sebelum ke kelas, lebih baik kau mencuci mukamu dulu." Dia terkekeh lagi.

Aku hanya mengangguk bingung, mungkin wajahku terlihat seperti orang baru bangun tidur? Baiklah, akan kucuci. Namun, ada yang aneh saat aku melewati beberapa murid yang berada di kamar mandi. Mereka menertawaiku. Ada yang aneh denganku? Apa wajahku selucu itu kala baru bangun tidur?

Ah, iya, masalah kemarin, saat aku hendak merobek mulut Kurosuke, aksiku dihentikan oleh pelayan yang bekerja di rumahku. Dia ingin mengantarkan susu untukku. Sontak saja saat melihat kami, dia langsung berteriak dan berusaha memisahkanku dari Kurosuke. Padahal kalau dia tidak datang, akan kupastikan Kurosuke tidak bisa bicara sekarang! Aku tidak peduli bila nanti aku dihukum oleh Pria Tua itu!

Aku melihat ke cermin besar yang berada di toilet. Oh, jadi ini penyebab mereka menertawaiku? Sebuah mahakarya luar biasa terukir di wajahku.

Bukan pengunjung yang hobi membaca yang datang ke perpustakaan pagi ini, tetapi pengunjung yang hobi menjahili orang. Sungguh menyebalkan. Kali ini mereka aku maafkan, toh aku tidak tahu dan tidak ingin tahu siapa yang membuat mahakarya ini.

MY PSYCHOPATH BOYFRIEND [ON REMAKE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang