Prolog
Tanah puluhan hektar ini adalah properti keluargaku, lalu karena capaianku beberapa tahun ini, kakek menghadiahkannya padaku. Tanah ini dibeli atas namaku pada bulan lalu, saat usiaku genap dua puluh tujuh tahun.Tanah puluhan hektar ini berupa sawah yang terbentang luas, dibelah oleh jalanan aspal lurus mulus layaknya jalan bebas hambatan. Bahkan ban mobilku bisa bermesra dengan hitam aspalnya. Saat ini aku sedang memacu mobil sportku di atasnya. Merandai jalanan yang akan menjadi titik awal bagi kerja kerasku nanti.
Ini adalah jalan desa, cukup sepi mengingat tak banyak rumah penduduk di sekitaran tanah ini. Sejauh mata memandang hanya pesawahan berwarna hijau dan coklat berselingan. Berbaur dengan jingganya cakrawala di sebelah barat.
Kalau boleh jujur aku benci pemandangan seperti ini. Dan oh jangan ingatkan aku dengan back sound yang melengkapinya. Suara kodok dari nada tinggi sampai nada rendah saling bersahutan membuatku mengernyit jijik. Bagaimana hewan hijau berlendir itu bisa sepercaya diri itu bernyanyi.
Musik, aku butuh musik untuk menyamarkan suara berisik ini. Kuulurkan tanganku menyalakan perangkat musik di mobilku. Kupilih-pilih list lagu yang ada, musik yang menghentak sepertinya boleh juga. Play and...
BRAKKK...
BYURR...
Bunyi apa tadi? SH*T apa yang barusan kutabrak? Mudah-mudahan bukan manusia, atau lebih buruk mudah-mudahan bukan penduduk setempat, bisa panjang urusan. Dengan malas kubuka pintu mobil dan nice... mobil kesayanganku kotor oleh lumpur sawah.
And very good ... harapanku tak terkabul. Aku menabrak penduduk setempat. Seorang gadis, dia Berhijab. Posisinya ... Aku menahan senyum melihatnya. Dengan meringis dia terduduk di atas lumpur sawah. Pakaian lebarnya menggembung lucu, persis seperti ikan buntal.
"Kamu ... ga apa-apa kan?" Dengan ragu kutanya gadis itu. Aku ragu karena err... apa dia manusia? bisa saja kan kalau dia dedemit. Apa lagi hampir maghrib begini.
Dia diam. Benar dedemitkah? Kutengok ke kanan dan ke kiri, tiba-tiba aku merinding. Tak ada siapa-siapa di sini. Selangkah demi selangkah aku mundur, lebih baik aku lanjut jalan dan pura-pura tak terjadi apapun.
"Tunggu," ucap gadis itu setengah berteriak.
Thanks God she's human. Coba ngomong dari tadi. Nakut-nakutin aja ni cewek.
Aku berbalik dengan agak kesal. "Bisa ngomong juga kamu."
"Maaf, kaki saya terkilir." Setengah cemberut dia mengulurkan tangannya lalu membuang muka.
Aku naikkan alisku. Seriously? Minta tolong atau nagih utang ni cewek.
"Malah bengong. Tolongin! Saya ga bisa bangun."
Uhh galak. Beneran nagih hutang. Tapi... tubuhnya tergenang di tengah-tengah. Yaiiikks lumpur sawah?
"Ck."
Gadis itu berdecak tak sabar. Ok ok... lumpur sawah, bagaimana ini. Otak encerku ini benar-benar tak berfungsi pada situasi aku harus berurusan dengan sesuatu yang menjijikkan seperti lumpur. Baiklah akan kutolong dia tanpa harus menyentuh lumpur itu.