Bukan CEO
Sayup-sayup merdu tadarus Bang Gaza mendesakku untuk membuka mata. Kulihat jam dinding, 30 menit lagi adzan shubuh. Berjalan gontai aku keluar kamar, mengambil handuk di jemuran handuk, dan masuk ke kamar mandi. Kenapa rasanya lelah sekali ya, memang kemarin aku habis ngapain?
Tiba di kamar mandi aku baru teringat, aku kan lagi dapet. Duh kenapa aku nggak lanjut tidur lagi tadi. Semalam kram di perutku mulai gencar menyerang. Aku harus siap-siap kram ini akan semakin menjadi menjelang siang nanti.
Sepertinya mandi adalah pilihan tepat. Suhu tubuh saat dapet itu lebih tinggi, jadi gampang keringetan. Eit... aku nggak bau loh cuma sedikit gerah saja. Mandi bisa menyegarkan dan membuatku lebih siap menghadapi serangan kram nanti.
Alhamdulillah, maha suci Allah dengan ajaran thoharoh-Nya. Mandi itu syarat pertama orang yang baru masuk Islam dan mau mengucap syahadat. Mandi memang menyegarkan, dan untuk hal sepele ini saja Islam punya aturannya apalagi hal-hal besar lainnya.
Segar usai mandi aku menghampiri Emak yang sudah mulai sibuk menyalakan tungku kayu bakar di dapur. Emak terlihat mesam-mesem.
"Apaan sih Mak? Gaje," protesku dengan heran. Pagi-pagi dah mesam-mesem.
Emak tak menanggapi, dia hanya mengisi air di panci dan meletakkannya di atas tungku kayu bakar yang apinya sudah menyala dan membara, lalu masuk ke kamar mandi dapur. Sepertinya Emak akan berwudlu.
Keadaan masih sepi, Baba dan Alif biasanya sedang siap-siap ke masjid. Bila paling bangun setengah jam lagi. Aku masuk kamar lagi lah, hemat tenaga sebelum kram perut super dahsyat nanti.
Menutup pintu aku agak terkejut dengan keberadaan seorang laki-laki yang terlihat nyenyak di tempat tidur milikku. Posisinya yang memunggungi pintu masuk membuatku tak bisa melihat wajahnya. Mengenakan singlet putih, selimut menutupi sampai batas pinggangnya, duh mata polosku ini sudah ternoda gara-gara pemandangan laki-laki ini. Sosoknya tinggi, kakinya bahkan memenuhi sampai ke ujung tempat tidur.
Siapa dia?
Sedetik sebelum aku teriak memanggil Emak kesadaran menyentilku. Dia laki-laki yang kemarin menjabat tangan Baba dan mengucap qobul! Dia Mas Arzie, Ning!
Aihh Hening, tadi pas keluar kamar kamu kemana aja. Kenapa baru sadar sekarang?! Semalam kram perut sudah mulai kurasakan, aku tertidur saat masih terdengar tetangga dan kru Al-Fath membereskan barang-barang. Aku bener-bener nggak tahu kalau Mas Arzie tidur di tempat yang sama denganku.
Tuh kan, salahkan kram. Lagi-lagi aku disorientasi.
Mas Arzie terlihat sedikit bergerak gelisah, tapi dia tidak terbangun. Ahh kabur aja deh, canggung amat kalau sekamar gini. Di luar kamar aku mengelus-elus dadaku. Alhamdulillah nggak ketahuan.
"Arzie udah dibangunin Ning? Suruh siap-siap sholat berjamaah di masjid."
Aku sedikit terlonjak mendengar Baba, Alif yang berjalan di belakang Baba dan sedang terkantuk-kantuk cekikikan melihat reaksiku. Aku melotot pada Alif yang sedang tersenyum puas.
Aku dan Alif saling pandang saat terdengar teriakan.
"Aaarrrgghhhh...."
Teriakannya sepertinya dari kamarku. Teriakan yang mengagetkan kami semua, bahkan Emak yang baru akan sholat lari tergopoh-gopoh dengan mukenanya. Teriaknya heboh banget sih.
Kami semua segera menghambur ke kamarku. Di dalam kamar, Mas Arzie dengan tampang shock-nya terlihat bernapas memburu, dadanya turun naik. Selimut yang membungkusnya tadi, dia peluk di dada.
Errr... Mas Arzie ketakutan sama sesuatu?
"Merah... loncat-loncat," serunya panik.
Baba mengerutkan kening, Emak terbeliak khawatir.