5

2.2K 279 18
                                    

Bi Lala rupanya masih penasaran mengorek cerita-cerita tentang rencana pernikahanku. Bisa sehari tiga kali Bi Lala menyambangi rumahku.

Padahal biasanya dia paling malas kalau disuruh Ambu ke rumah, alasannya Bi Lala ogah jadi kurir Emak. Emak memang suka aji mumpung, entah Bi Lala atau Mang Oding pasti disuruh antar pesanan kalau lagi main ke rumah. Dan sekarang mumpung ada Bi Lala main ke rumah, Emak menyuruhnya menemaniku mengantar pesanan opak.

Oya Aku memang cukup dekat dengan Bi Lala, karenanya Aku membagi cerita tentang rencana pernikahan  yang seharusnya masih dirahasiakan ini.

"Kenapa harus sekarang banget sih, Mak," keluhku sambil menenteng dua plastik opak. Bi Lala dengan gaya cueknya mengikuti dari belakang.

"Emak cuma ingin memberi pelayanan yang terbaik bagi pelanggan, past resfon menunjukkan keseriusan, barang cepat sampai menunjukkan propesionalitas." Emak menjawab sambil mengiringi kami ke teras.

Bi Lala cekikikan mendengar penuturan Emak. "Past resfon, propesional," ulang Bi Lala geli.

Aku melirik Bi Lala sambil menipiskan bibir. Emak dan Bi Lala itu kembar beda generasi pake ngetawain segala. Hanya satu keunggulan Bi Lala dia belasan tahun lebih muda dari Emak.

"Hati-hati ya jangan sampai patah-patah opaknya," pesan Emak sambil menggiring kami keluar pagar. Emak dengan keamanahannya, angkat jempol deh.

Suara kodok berbagai nada mengiringi kepergian Kami. Rumah yang akan kami tuju berada di pinggiran desa, menjelang Maghrib begini sudah pasti sepi. Tanpa pencahayaan jalanan mulai redup.

"Buruan yuk Ning, asa keueung*."

Aku tak menjawab, hanya mengayuh sepedaku lebih cepat. Keueung? Spooky kalau bahasa kerennya. Gimana ga keueung rumah yang akan kami tuju sejak aku kecil kesohor sebagai rumah hantu. Rumah besar bercat putih kusam yang tampak tak berpenghuni.

"Kamu yakin Ning, rumah itu yang pesan. Bukannya dari dulu ga ada penghuninya?" tanya Bi Lala dari boncengan belakang.

Sama Bi, Aku juga dari tadi bertanya-tanya. "Emak bilang rumah itu yang pesan, udah lah anterin aja."

Sampai di depan rumah kami membuka gerbang tinggi yang sudah berkarat, sudah tak jelas apa warna catnya. Gerbang tak digembok, suara derak karatnya mengejutkan kami. Sudah berapa lama gerbang ini tak dicat?

Setelah memarkirkan sepeda dekat semak-semak, Aku melangkah ke teras, Bi Lala mengikuti dari belakang. Err ... lebih tepatnya Bi Lala bersembunyi di belakangku. Duh Mak, aku jadi sok berani begini.

Teras ini entah sudah berapa lama tak dijamah, daun-daun kering teronggok di tiap pojokan. Tak jauh dari teras ada kolam ikan yang sudah mengering, tersisa genangan air yang dihuni jentik. Ada juga dua pohon yang sangat rimbun, rimbun karena tak terurus.

"Ning ...." Bi Lala menyolek bahuku.

"Hmm."

"Masih inget ga, dulu waktu kecil si Saroh pernah cerita dia liat hantu  perempuan berambut panjang lagi gelantungan di pohon jambu itu."

Aku mengikuti arah telunjuk Bi Lala, menunjuk salah satu pohon di sebelah kiri.

"Ck, Si Saroh dipercaya. Hantu itu ga ada Bi, adanya jin kafir yang menampakkan diri dengan berbagai rupa. Nah jin juga makhluk Allah, dia takut sama hamba Allah yang selalu mengingat Allah."

"Mau jin atau hantu, tetep aja penampakkan itu serem," bantah Bi Lala. Dia kembali menyembunyikan badannya di belakangku.

Tepat di depan pintu tinggi yang lagi-lagi sudah tidak jelas warna catnya, aku mengetuk pintu. Baiklah, adab bertamu adalah mengetuk pintu dan mengucap salam hanya tiga kali. Maka kujeda agak lama setelah salam pertama kuucap. Sampai salam ketiga pintu tak kunjung dibuka.

Life Before LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang