Subuh sudah setengah jam yang lalu, sebentar lagi mentari akan naik dan menggilir gulita. Di tepi pesawahan tepat di sebelah rumahku aku berdiri, bersiap menyongsong cahaya fajar yang perlahan akan menghangatkan bumi.
Baik fajar atau senja aku tak akan melewatkan detik-detik pergantiannya. Karena apapun momennya, sensasinya akan sama. Semilir udara yang bergerak merengkuh sejuk tubuhku yang berbalut jilbab. Belaiannya menerbangkan dengan lembut khimar yang kukenakan. Suara kodok yang bersahutan selalu kuanggap nyanyian alam pembawa semangat.
Agak pegal berdiri, aku berjongkok. Kuhirup Aroma lumpur berpadu dengan harum daun padi yang masih hijau. Sekali hirup kurasa masih kurang, kembali kuhirup sedalam-dalamnya aroma ini. Mencoba merekam sebaik mungkin pemandangan cantik, musik alam, dan aroma menenangkan dari bentang persawahan di hadapanku.
Ya Rabb, kurasa aku akan merindukan semua ini kalau Aku jadi pindah ke Jakarta. Sebulan lagi Aku akan dinikahkan. Calonku bukan dari desa ini, Dia berasal dari Jakarta. Rencananya Aku akan diboyong ke Jakarta kalau Aku setuju menikah.
Kata Baba, kemarin ada pemuda kota yang tertarik padaku dan ingin meminangku. Dia Mapan, direktur sebuah perusahaan dan Dia juga pemilik pesawahan yang mengelilingi rumahku. Haissh laki-laki yang akan meminangku CEO-CEO gitu kali yaa.
Dan yapp, pemuda itu adalah pemilik areal pesawahan luas di ujung Gang Damai, pesawahan yang membentang di sekitar tanah yang kami tempati. Pesawahan yang selalu membawa kedamaian padaku.
"Ba, ga salah? Kalau Dia pemilik pesawahan di Gang Damai apa ga ada niat terselubung Dia untuk ngincer lahan kita," raguku telak.
Dan kemarin Baba hanya menjawab, "Kita ga boleh suudzon pada yang punya niat baik untuk menyempurnakan separuh Diin, Ning. Dan Kita kick balik aja kalau memang dia punya niat buruk. Kamu yang harus meyakinkan Dia, agar pesawahan yang hijau ini tidak dialih-fungsikan."
Dan aku hanya menjawab dengan mencebik protes. Ya kali anak Baba yang manis ini harus dikorbankan untuk CEO yang terobsesi sama tanah. Aku jadi merasa wanita yang dimanfaatkan om-om CEO. Issh.
Tanah tempat rumah kami berdiri memang bukan tanah yang luas, hanya 200 meter. Tapi karena letaknya yang berada dekat areal pesawahan milik pengusaha dari Jakarta membuat tanah ini jadi incaran. Dulu Baba menolak menjual tanah ini saat pemilik tanah yang lain justru dengan senang hati menjual tanah mereka pada pengusaha itu. Alhasil beberapa bulan lalu ada segerombolan preman datang ke rumah dan mengancam Baba agar mau menjual tanah ini.
"Linlin udah napihan berasnya?"
Hufft, keasyikan bengong Aku jadi lupa kalau Aku sedang napihan beras, istilah orang sunda untuk aktivitas membersihkan beras dengan tampah, membersihkannya dari gabah dan batu-batu kecil.
Aku kembali ke amben, tak jauh dari tempatku berjongkok saat ini. Tertunduk memandang beras di atas tampah ditemani cahaya dari lampu hemat energi 25 watt. Warna coklat dan hitam yang harus kuseleksi dari butiran beras putih di hadapanku.
Oya suara nyaring hampir seperti toa masjid barusan adalah suara Emak. Walau agak cempreng dan cerewet, aku sangat menyayanginya.
"Linlin buruaaann! Keburu mendidih airnya."
"Ya Mak," jawabku setengah berteriak.
Dan Linlin adalah nama panggilanku di rumah. Sebenarnya hanya emak yang memanggilku dengan nama Linlin. Sedangkan yang lain memanggilku dengan Hening atau Ning saja.
Saat aku lahir Emak yang memilihkan nama Tionghoa untukku sedangkan Baba yang memilihkan nama biasa. Aku tak banyak mengerti tentang hal ini. Kenapa harus punya dua nama. Baba tak banyak cerita tentang budaya Tionghoanya. Sesaat setelah jadi Mualaf, Baba diusir keluarga besarnya. Peristiwa itu mungkin yang membuat Baba sedikit tertutup tentang hal-hal yang berbau Tionghoa. Malah Emak yang semangat memilihkan nama Linlin untukku.