Mario masih belum ketemu. Ularnya juga masih jadi misteri. Sejak jam delapan aku dirias, dua jam duduk manis ternyata pegal juga. Aku masih gelisah, khawatir Mario kenapa-napa.
"Neng, kalau dahinya dilipat-lipat gitu jadi ga bagus atuh dandanannya nanti."
Bu Ratmi penata rias yang dibawa oleh Al-Fath sejak tadi berdecak. Iya ... dari tadi aku gelisah mikirin Mario. Dan iya sejak tadi Bu Ratmi berdecak karena aku yang cerewet. Aku ingin dirias natural, dengan warna lipstik nude. Sedang Bu Ratmi ingin riasannya menampakkan diriku yang berbeda. Aduh bu, kalau aku terlihat 'bikin pangling' itu sudah terkategori tabaruj.
Jadilah sejak tadi kami sedikit saling keukeuh. Riasan wajahku bolak-balik dihapus, karena menurutku masih terlalu tebal. Sampai akhirnya Bu Ratmi menyerah, dia mengalah dengan mendandaniku dengan warna-warna natural yang tak terlalu tebal. Walaupun bu Ratmi sedikit tak rela, karena ini tak seperti pengantin pada umumnya yang riasannya tebal. Katanya ini bisa menurunkan pamornya yang terkenal sebagai perias pengantin yang riasannya bikin pangling.
"Mikirin apa sih, Neng?" Bu Ratmi bertanya dengan tangan yang terampil menghias khimar. Pandangannya bergantian ke arah khimar dan ke arah cermin di hadapan kami.
"Mikirin ular Bu, dari kemarin ga ketemu."
Bu Ratmi menatapku dari cermin, dia terkejut. "Mau hajatan ada ular! pertanda tuh Neng."
Iya, pertanda kalau Mario nggak aman di luar sana.
"Udah bagi-bagi minyak goreng belum ke tetangga."
"Belum Bu, minyak gorengnya habis untuk ngegoreng krupuk udang kemarin."
"Ih, si Neng. Ibu serius nih. Kalau ada ular, untuk nolak bala harus bagi-bagi minyak goreng sesendok-sesendok ke tiap rumah."
"Saya juga serius bu, dari pada minyak gorengnya habis untuk ritual nolak bala mending minyaknya untuk goreng krupuk. Kurafat itu musyrik Bu, musyrik itu dosa besar."
"Neng ga takut kalau nikahannya kenapa-kenapa?"
Aku menggeleng pelan. "Hening lebih percaya kalau setiap bala atas ijin Allah. Bukan atas ijin ular. Jadi ga ada urusan sama minyak goreng."
Bu Ratmi berdecak. "Si Aden nikahin perempuan fanatik ternyata."
Inilah lucunya masyarakat. Yang ingin sungguh-sungguh mentauhidkan Allah malah disebut fanatik. Tapi alih-alih tersinggung aku lebih tertarik mengorek cerita tentang Arzie. Bu Ratmi kayaknya kenal Arzie.
"Ibu kenal sama Arzie? Orangnya gimana?"
Dari cermin Bu Ratmi terlihat terkejut. Khimarku masih diutak-atiknya. "Emang Neng ga kenal calon suami Neng sendiri?"
Aku menggeleng dan tersenyum simpul. Sedikit jaim sebagai Ratu sehari, jadi jangan senyum terlalu lebar. "Baru beberapa kali ketemu Bu, jadi belum begitu kenal."
"Ga pernah pacaran?"
Aku menggeleng. Bu Ratmi geleng-geleng.
"Ibu sih cuma sesekali ketemu. Karena ibu biasa dipanggil oleh Al-Fath. Polesan ibu bikin pangling katanya." Bu Ratmi lalu tertawa tersipu.
Ohh, ah si Ibu kirain kenal dekat.
"Kok bisa sih Neng, belum kenal dekat udah berani-berani bikin komitmen?"
"Saya memang ga kenal dekat sama Arzie, tapi saya kenal dekat dengan yang mengenalkan kami. Saya percaya dia ga akan mengenalkan saya pada laki-laki yang ga bener Bu."
Bu Ratmi mengangguk-ngangguk. Entah mengerti, entah miris. Iya, modalku adalah Bang Gaza. Kalau Bang Gaza yakin Arzie bisa jadi imam yang baik, maka aku pun tak ragu.