Part 4

2.2K 179 35
                                    

Safira menatap penampilannya dari cermin di depannya yang saat ini sudah menggunakan seragam barunya, sama seperti seragam Liana. Safira juga mengubah sedikit tampilannya dengan mengenakan sebuah kacamata.

Bukan tanpa alasan saat ini dirinya menggunakan kacamata, dia menggunakan kacamata untuk menutupi kemiripan yang ada pada dirinya dan Liana yang mulai hari ini akan bersekolah di tempat yang sama.

Safira tidak mau seorangpun di sekolahnya mengetahui hubungannya dan Liana. Dia dan Liana mungkin saudara tiri, tetapi tidak bisa dipungkiri betapa miripnya Ia dan Liana pada mata dan hidungnya yang merupakan dua dari beberapa hal yang membuktikan bahwa mereka memiliki ayah yang sama.

Hal itulah yang membuat mereka saat kecil disangka saudara kembar selain karena kemiripan juga karena mereka berulang tahun ditanggal yang sama. Ya, mereka bahkan lahir di hari dan waktu yang bersamaan. Hanya satu yang membedakan, yaitu siapa yang melahirkan mereka.

Mengingat hal itu membuat Safira tersenyum miris, mengingat cerita dari Oma kandungnya yang mengatakan bahwa Mama dulu berjuang sendirian melahirkan Ia dan kakaknya tanpa sosok suami yang mendampinginya. Tidak perlu diberitahukan pun Ia sudah bisa menebak kemana Papanya pada saat itu.

Safira menghela nafas kemudian melangkah keluar kamar untuk berangkat ke sekolah barunya. Seperti biasanya, saat ia menuruni tangga ia akan mendengar berbagai canda tawa yang terdengar dari ruang makan.

Safira menghiraukannya dan langsung melangkah keluar tanpa menyentuh sarapan yang sudah di ediakan Bibi. Ia juga sudah mengatakan kepada Bibi untuk tidak menyiapkan bekal untuknya dengan alasan Ia ingin mencoba kantin di sekolah barunya.

Ia langsung memasuki mobil yang sudah terdapat supir di dalamnya yang kemudian langsung melajukan mobil menuju sekolah.

Selama perjalanan Safira hanya diam menatap kosong ke jendela yang menampakkan gambaran kabur karena mobil yang melaju cepat. Ia tak perlu lagi menyuruh sopir untuk menurunkannya sedikit jauh dari sekolah.

Safira masih diam saat mobil yang ditumpanginya sudah berjarak dekat dari sekolah. Tapi kediamanya berhenti saat Ia melihat segerombolan siswa yang berseragam sama dengannya tampak menggerombol di gang sepi dekat sekolah seperti tengah mengerubungi sesuatu.

Safira sebenarnya sudah berusaha untuk tidak mempedulikannya tetapi saat Ia melihat gerombolan itu membubarkan diri dan meninggalkan seorang siswa laki-laki tergeletak disana, Safira langsung menyuruh supir menghentikan mobil dan langsung berlari keluar menghampiri laki-laki itu.

SAFIRA POV

"Eh, bangun, lo gak pa pa kan?" oke itu memang pertanyaan retoris mengingat aku sudah bisa melihat bagaimana keadaanya saat ini yang tampak menggenaskan. Tapi apa salahnya bertanya bukan.

"Ergh.." hanya erangan lemah yang kudengar darinya.

"Non, ada apa?" suara supirku, Pak Joko terdengar.

"Pak, tolong bantu papah dia ke mobil ya Pak. Dia harus dibawa ke rumah sakit sekarang" perintahku.

"Tapi Non, Non harus masuk sekolah" Pak Joko terdengar khawatir mengingat jika sampai ketahuan aku tak masuk sekolah di hari pertama aku akan mendapatkan masalah.

"Gak masalah Pak bolos sehari aja, cepetan Pak"

"Tapi nanti Tuan ma-"

"Nanti urusan Papa biar saya yang urus sekarang Bapak bantu saya dulu" potongku yang sudah mulai memapah laki-laki yang bahkan tak ku ketahui namanya.

"Baik Non" ucap Pak Joko yang dengan cepat membantuku.

*****

"Jangan Rumah Sakit"

Suara lemah seseorang membuatku menolehkan wajahku ke arah cowok yang ada di sampingku dan melihatnya tengah menatapku sayu.

"Lo bilang apa?" tanyaku yang memang tak mendengar dengan jelas ucapannya tadi.

"Jangan bawa gue ke Rumah Sakit" ulang cowok itu lagi lebih jelas.

"Tapi lo harus diobati, luka lo parah banget" ucapku.

"Jangan Rumah Sakit"

Hanya kata itu yang diucapkan cowok itu lagi sebelum tak terdengar lagi suara darinya, sepertinya dia pingsan.

"Pak, tolong ke apartemen aja ya" ucapku kepada Pak Joko.

Setidaknya aku menghargai permintaan cowok ini.

"Baik Non"

*****

"Pak, bapak pulang aja, kalau ditanya Papa bilang aja Bapak udah antar saya ke sekolah dan kalau Papa udah tau saya gak masuk sekolah, Bapak bilang aja gak tau" pesanku kepada Pak Joko. Aku gak bohong kan, kenyataannya Pak Joko sudah mengantarkanku kesekolah tadi, meskipun akhirnya juga mengantarkanku lagi ke sini.

Saat ini aku ada di apartement dan cowok itu sedang terbaring lemah di kasur kamarku. Dan sekarang aku sedang didapur mengambil air untuk mengompres cowok itu dan mengobrak-abrik lqci untuk mencari obat.

"Tapi Non-"

"Pokoknya Bapak lakuin aja"

"Baik Non" dengan berat hati Pak Joko memenuhi permintaanku.

Aku melangkah memasuki kamar meninggalkan Pak Joko yang juga melangkah keluar apartement. Aku melihat cowok itu masih belum terbangun dari pingsannya.

Dengan perlahan aku mulai menekan -nekan luka yang ada di wajah cowok itu, kulihat sesekali dahinya berkerut dan juga terkadang terdengar ringisan darinya, meskipun begitu, sepertinya dia belum tersadar.

Aku bangkit berdiri dan akan melangkah keluar kamar setelah selesai mengobatinya saat langkahku berhenti karena ada yang menahan pergelangan tanganku.

Aku berbalik dan melihat cowok itu telah tersadar dan saat ini tengah berusaha duduk sambil sesekali meringis memegangi perutnya. Aku yang melihatnya ikut meringis, tentu saja aku tau itu sangat sakit dan sayangnya aku tak bisa mengobatinya. Salah siapa tadi tak mau kerumah sakit.

"Lo siapa?"

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang