Revan
"Van, lu inget Dina nggak?" Tanya Fauzan, duduk di depan Revan.
"Dina siapa?"
"Dinara Valencia, anak kelasan kita pas kelas 8. Eh kelas 9 deng, pas kelas 9."
"Oooh, Dina yang itu. Inget, kenapa?" Revan merogoh sakunya, mencari headset. Saat tangannya tidak juga menyentuh kabel benda itu, ia mengerutkan dahi. "Eh, headset gua mana ya?"
"Headset lu? Lah mana gua tau."
Revan terdiam, berpikir. Setelah beberapa saat ia menepuk dahi. "Oh iye, gua pinjemin ke Okta. Yah elah si bocah." Revan memundurkan kursinya, berniat untuk berdiri dan menghampiri Okta di meja guru.
"Entar aja nagihnya. Dengerin gua dulu." Potong Fauzan langsung. "Dina minta ketemuan."
"Ya udah, temuin aja."
"Bukan sama gua, sama lu bego." Fauzan mendengus. "Lu inget nggak sih Dina demen sama lu? Nah, dia masih usaha buat jadian sama lu."
Revan mengerutkan dahi, memasang ekspresi tidak enak ke Fauzan.
Fauzan memutar matanya. "Jan gitu dulu napa ke gua. Maksud gua tuh biar lu bisa nentuin, lu mesti move on atau bertahan."
Revan bersandar ke kursi. "Zan, gua emang lagi break. Tapi break bukan berarti putus. Gua butuh jarak, bukan cewek baru."
Fauzan menghela napas. "Oke, siap." Dan mengangkat tangannya. "Sorry."
"Lu tuh kek biro jodoh gua dah." Komentar Revan.
Fauzan cengengesan. "Sorry, cuma mau yang bener buat lu, bro."
Revan tersenyum sedikit. "Iye, makasih kunyuk." Katanya, sedetik kemudian ia berdiri. "OKTA! BALIKIN HEADSET GUAAA."
That day, when i realized all i want is you.