Another Woman He Loved

3.4K 239 7
                                    

Memasuki kabupaten Poso, aku mulai melihat deretan bendera setengah tiang di depan rumah-rumah penduduk.
Hal itu membuat dadaku tambah sesak. Tak butuh waktu lama, airmataku mengalir kembali tak mampu ku tahan. Sepanjang perjalanan, aku menangis. Tapi tangisan yang paling memilukan justru pada saat aku melihat deretan bendera setengah tiang itu.

Kakak sepupuku yang sejak tadi diam tak bersuara di bagian belakang mulai sesekali mengelus pundakku.

"Sabar Dian" Katanya agak terisak. Hanya itu. Tak ada kata-kata lain lagi. Mungkin ia takut menyinggung atau melukai perasaanku yang rapuh.

Jujur saat itu aku hanya butuh pelukan. Aku tidak sabar ingin segera tiba di Poso dan memeluk Mama. Kulihat jam di pergelangan tanganku, Sekitar jam 8 pagi kami pasti sudah sampai di Poso, dan jam segitu Mama pasti sudah berada di Toko.

Kami melewati Batalyon tempat Kiki bertugas. Sepi. Ku pikir para tentara sedang sibuk, kebanyakan dari mereka dikirim untuk melaksanakan Operasi Tinombala.

Akhirnya aku sampai di depan toko Mama. Mama pun sudah memasang bendera setengah tiang. Padahal biasanya jika ada instruksi untuk memasang bendera, karena alasan kesibukan ataupun lupa, Mama selalu menjadi langganan paling akhir yang memasangnya.

Aku turun dari mobil. Mak Ira dan Mbak Ani yang biasa membantu Mama pun ada di Toko.

Mak Ira tergopoh-gopoh menemuiku dan langsung memelukku. Sementara mbak Ani mengelus punggungku pelan, namun tegas.

"Yang sabar mbak Dian. Saya juga masih ndak percaya Aa pergi." Katanya. Orang serumah memang ikut memanggil Kiki dengan sebutan Aa. Padahal teman-temannya memanggilnya "Mas"

"Aa orang baik. Pasti dapat tempat yang bagus disana" Sambungnya lagi

"Tapi Dian masih ndak percaya, Mak Iraaaaa" Kataku terisak. Sesak sekali.

"Iya.. Saya juga masih ndak percaya. Semoga saja itu bukan Aa." Katanya mengalah menenangkanku.

Aku melepas pelukan Mak Ira, lalu menuju meja kasir, keinginan untuk memeluk Mama yang sejak tadi semakin membuncah.

Aku memeluk Mama. Menumpahkan segala tangisku padanya. Mama mengelus pundakku.

"Yang sabar, Nak" Mama berbisik.

"Ssssstttt.. Jangan menangis. Malu dilihat teman-temannya Kiki didepan tuh" Bisik Mama lagi.

Benar saja, ketika aku menoleh ke belakang sejenak, banyak teman Kiki yang berjalan menuju toko.

"Sudah sana, masuk kamar dulu Nak. Ndak enak diliatin orang" Kata Mama.

Aku menurut, segera masuk ke dalam. Di Toko memang masih ada 1 kamar yang biasanya digunakan untuk beristirahat. Tak kupedulikan lagi barang-barang yang aku masukkan sekenanya ke mobil saat berangkat dari Luwuk semalam. Kurebahkan tubuhku dikasur, memeluk bantal guling. Dan lagi-lagi menumpahkan tangis akan kabar buruk yang aku terima sejak semalam. Kenyataan yang akhirnya mampu mengubah hidupku. Mengubah sudut pandangku akan cinta, selamanya.

Tak beberapa lama berselang, Mama menyusulku masuk kamar. Menawariku susu coklat kesukaanku. Dan ikut berbaring di sampingku. Membelai rambutku, mendengarkan semua kalimat keluh kesah dan kesedihan yang aku lontarkan padanya.

Kiki memang dekat sekali dengan Mama. Saat mendekatiku, ia terlebih dahulu mendekati Mama, mencari perhatian. Ia manja sekali. Sebelum memintaku menjadi pacarnya, ternyata ia bahkan lebih dahulu meminta izin Mama. Kiki sangat menyayangi Mamaku. Bahkan Kiki lebih sering mengobrol dengan Mama ketimbang denganku. Ia sering curhat masalah apapun ke Mama, terutama masalah pekerjaan.

Kiki menganggap Mamaku seperti Mamahnya sendiri, bahkan Mama menganggap Kiki seperti anak kandung tertuanya.

From Earth to Heaven ( Mencintai Prajurit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang