1

10.2K 375 60
                                    

Ibnu Prataya membuka mata ketika merasa tubuhnya diguncang seseorang. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya. Napasnya memburu. Butuh waktu beberapa detik untuk Ibnu segera beradaptasi dengan sekitar. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah bingung seorang perempuan.

Kenyataan bahwa yang dilihatnya adalah seorang perempuan, membuat Ibnu segera menelan ludah. Mulutnya terasa pahit. Perutnya yang seperti diperas membuat asam lambungnya naik. Sesuatu yang normal dia rasakan setiap kali berdekatan dengan perempuan selama beberapa tahun ke belakang. Tepatnya, semenjak dia tahu bahwa perempuan itu mati. Sudah enam belas tahun berlalu, kenangan itu belum juga hilang. Ibnu sendiri yakin kenangan itu tidak akan pernah hilang, selama dia masih hidup.

"Astagfirullah, Nurma! Koen pimen sih bisane kosih kesasar neng kene?"
[Astagfirullah, Nurma! Kamu kenapa sih bisa sampai nyasar di sini?]

Suara seseorang, mengalihkan pandangan Ibnu. Dia menempelkan dahinya di atas meja, menekuri lantai berkeramik putih.

"Aduh, Bos, maaf Bos. Ini adik saya, Bos. Tadi saya suruh dia nunggu di depan, tapi malah lancang masuk ke sini."

Ibnu mengangkat kepala. Sesosok gembul bercelemek hitam menutupi pandangan Ibnu, membuatnya merasa lega tidak harus berlama-lama melihat perempuan yang sekarang disembunyikan di balik punggung. Namanya Irwan. Dia salah satu pelayan di Laka-Laka Coffee Resto yang Ibnu rintis belum lama ini.

"Iya," jawab Ibnu dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. "Tolong, lain kali kejadian seperti ini tidak terulang."

Irwan nyengir kaku sesaat sebelum mengangguk. "Iya, Bos. Sekali lagi saya minta maaf."

Ibnu mengangguk, lalu mengamati Irwan yang menyeret adiknya keluar dari ruangannya. Tanpa Ibnu duga, sesaat sebelum keduanya hilang di balik pintu, perempuan itu menengok, menatapnya dengan pandangan polos. Seketika, sensasi itu datang kembali, menonjok perutnya keras-keras. Ibnu menempelkan pipinya ke meja dan memejamkan mata rapat-rapat, menahan mual yang menyerangnya secara hebat.

***

"Sot sih, Mas, sooooot!"

[Lepas sih, Mas, lepaaaas]

Nurma meronta dalam genggaman kakaknya, membuat Irwan menyeretnya lebih keras dan baru melepaskan ketika keduanya sudah berada di depan Laka-Laka Coffee Resto.

"Nur, Mas wis ngomong ngenteni neng ngarep ya neng ngarep," semprot Irwan, "aja main nyenolong bae. Ora sopan, ngerti?"

[Nur, Mas sudah ngomong nunggu di depan ya di depan. Jangan main masuk aja. Nggak sopan, Ngerti?]

"Nur cuma penasaran, Mas, karo tempat gaweane kakange, Nur," kilah Nur, dia bersedekap dan membuang muka.

[Nur cuma penasaran, Mas, sama tempat pekerjaan kakaknya, Nur.]

"Tetep bae Nur!" Irwan menjambak-jambak rambutnya secara dramatis.

"Emang pimen sih, Mas?" tanya Nurma gemas.

[Emang kenapa sih, Mas?]

"Wislah ora usah kakehan takon," jawab Irwan sambil merogoh saku celemek. "Kie duite. Wis, ya? Mana balik!"

[Sudahlah nggak perlu kebayakkan tanya. Ini uangnya. Udah, ya? Sana pulang!]

"Nembe takon ping siji," gerutu Nurma seraya menerima uang yang disodorkan kakaknya.

[Baru nanya satu kali.]

Irwan diam, terlalu malas meladeni.

"Terus ya, Mas, sayang nemen tauk warung sekece badai kaya kie ora dimanfaatna sebaik mungkin," cerocos Nurma. "Masa seng olih jajan mukur wong lanang?"

[Dihapus] Menikahlah Denganku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang