6

2.1K 170 9
                                    

"Gue hampir nggak pernah denger kabar lo. "

Ibnu tidak menyahut perkataan Handi, sahabat SMA-nya. Mereka tidak sengaja bertemu saat keduanya sama-sama mengantri di sebuah kasir minimarket. Adalah Ibnu yang lebih dulu mengenali Handi. Dia memberanikan diri menepuk sekali pundak Handi dan menyapanya.

Awalnya, Handi terlihat bingung. Namun, begitu Ibnu melorotkan maskernya sampai dagu, sahabatnya itu menjadi heboh sendiri.

"Lo udah lama tinggal di Slawi?"

Ibnu tidak langsung menjawab. Matanya menangkap seorang anak laki-laki berumur enam atau tujuh tahun, masih memakai seragam sekolah lengkap, sedang melambai ke arahnya, membuat kening Ibnu mengernyit bingung.

"Itu anak gue," kata Handi kepada Ibnu seolah tahu kebingungan sahabatnya.

"Nggak mirip lo. Jangan bilang kalau ...." Ibnu tersenyum miring, sengaja tidak meneruskan kalimatnya.

"Sialan lo!" kata Handi seolah tahu apa yang akan Ibnu katakan. "Dia mirip ibunya."

Ibnu tertawa sekali. Dia baru mengetahui bahwa Handi menikah dengan gadis Tegal di usianya yang ke duapuluh empat tahun, yang berarti sudah delapan tahun menjalani hidup berumah tangga.

"Ibu mana?" tanya Handi kepada anaknya, begitu si anak berlari menghampiri dan memeluk pinggangnya.

"Di ruko," jawab si anak singkat.

"Nakal sekali ibumu. Berani ninggalin anak sendirian. Nanti Ayah jewer kupingnya biar nggak nakal lagi," kata Handi dengan suara dibuat-buat marah.

Mendongakkan wajah, si anak menjawab, "Jangan jewer Ibu, nanti Ibu nangis."

Handi tersenyum hangat, mengelus sayang rambut anaknya. "Oh tenang saja, Jagoan, nanti Ayah kasih sun biar Ibu nggak nangis lagi."

Ibnu mendengus keras-keras. Handi menoleh dengan sorot matanya yang seperti berkata, muach muach muach.

Handi melepas pelukan anaknya dan berjongkok. "Kenapa Abang nggak ikut, hm?"

"Males ah," jawab si anak, memeluk leher ayahnya.

"Ya udah, Abang sama Ayah nge-es puding dulu yuk, sambil nunggu Ibu," ajak Handi yang dibalas anggukkan antusias anaknya.

Ibnu bisa melihat bahwa Handi begitu menyayangi anaknya. Sangat nampak jelas ketika sahabatnya itu menatap atau tersenyum kepada anaknya. Ibnu tersenyum tipis. Dia tidak menyangka, Handi mampu menjadi ayah yang penyayang. Padahal, dulu Handi sangat terkenal dengan tingkah badungnya.

Sedang berasyik-masyuk melihat adegan bapak dan anak—tanpa menyadari situasi sekitar—tiba-tiba seseorang mencengkeram dan menarik kerah jaket Ibnu, membuat laki-laki itu refleks menoleh. Untuk sesaat Ibnu tertegun menyadari bahwa seseorang yang menariknya itu adalah perempuan. Sebelum Ibnu bereaksi seperti mendorong keras tubuh perempuan itu, dengan kurang ajarnya si perempuan mencium Ibnu tepat di bibirnya. Seketika Ibnu melototkan mata semaksimal mungkin, Handi menutupi kedua mata anaknya, dan orang-orang di sekitar yang tanpa sengaja melihat, tampak terperangah. Setelah ciuman yang tidak sampai lima detik itu berakhir, Ibnu muntah-muntah dan bumi seakan runtuh di bawah kakinya.

***

"Aida Tatiana."

Aida mendengar seseorang memanggil namanya. Refleks, dia membalikkan badan dan segera menyesali perbuatannya. Di sana, Syafi Amzari, mantan Aida, tersenyum kepadanya. Seandainya saja Aida bisa memanggil Doraemon untuk meminjam Pintu Ke mana Saja, tentunya gadis itu sudah melakukannya.

"Hai, long time no see," kata Syafi ramah setelah berada tepat di depan Aida. "Kamu apa kabar?"

Aida enggan menjawab. Entah kutukan apa yang menyertainya di hari liburnya kali ini. Dia tidak berharap liburannya akan menjadi menyenangkan sekali. Akan tetapi, jika hari liburnya harus bertemu dengan seorang Syafi, lebih baik dia tidak pernah ada kata libur di hidupnya.

[Dihapus] Menikahlah Denganku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang