4

2.8K 189 22
                                    

Aida Tatiana, gadis manis bertubuh mungil itu tampak berseri-seri setelah menerima amplop hasil kerjanya bulan ini. Baginya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain gajian tepat waktu. Namun, sedetik kemudian wajah Aida berubah masam ketika teringat ponsel milik seorang laki-laki yang tergeletak mengenaskan di laci meja rias yang berada di kamarnya.

Seminggu sudah berlalu sejak kejadian nahas itu. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda bahwa si pemilik ponsel akan menemui dan meminta ganti rugi padanya. Walaupun pemuda itu tampak tak peduli pada ponselnya, Aida tetap merasa bertanggung jawab penuh untuk mengganti ponsel tersebut

"Pak Yogi, hape kayak kie regane pira sih?" tanya Aida kepada Yogi, terdengar agak kesal karena memikirkan uangnya bakal ludes dalam sekejap. Gadis itu meletakkan sepiring nasi beserta lauk-pauk di hadapan pria itu. Yogi adalah satu dari sekian pelanggan yang akrab dengan Aida. Laki-laki bernetra hitam itu seorang pegawai di Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan.

"Hah?" Hanya itu jawaban Yogi.

"Hape ini harganya berapa?" tanya Aida lagi sambil menunjukkan ponsel yang telah remuk.

Yogi ber-o panjang seraya memanggut-manggutkan kepala, tanda mengerti. Sepertinya tadi dia tidak fokus karena terlalu asyik dengan ponselnya.

"Larang. Jutanan," jawab Yogi enteng. Dia meletakkan ponselnya di atas meja, lalu mulai melahap makanannya.

Mulut Aida ternganga. Matanya melotot maksimal. Dia tidak mengira harganya akan semahal itu. Aida menutup mulut dan membasahi bibir yang mendadak kering. Wajahnya tampak kusut masai setelah mendengar penuturan Yogi. Dia pikir harga ponsel dengan simbol apel yang tak utuh itu masih sekitar satu jutaan. Kalau sampai harga ponsel yang tanpa sengaja dia buat hancur itu berjuta-juta, butuh berapa lama Aida mengumpulkan uang dengan gaji yang hanya beberapa ratus ribu? Satu tahun? Dua tahun? Tiga tahun? Atau mungkin lima tahun, karena cicilan motornya belum lunas. Memikirkan itu, kepala Aida cenat-cenut seketika.

"Cius, Pak? Mi apa?" Aida meletakan teh manis hangat di depan Yogi.

Yogi menelan makanan yang ada di mulut kemudian menjawab, "Cius! Demi cintaku padamu."

Aida melempar serbet yang tersampir di bahunya ke arah Yogi. "Monyong!"

Yogi tertawa terbahak-bahak. Menggoda Aida adalah satu dari sekian hal yang dia sangat gemari. Hanya sebatas menggoda dan tidak bermaksud lebih. Untungnya, Aida tahu dan tidak mempermasalahkan. Lagi pula, gadis itu melarang dirinya baper terhadap Yogi agar tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan masyarakat. Menjadi perusak rumah tangga, misalnya. Karena, status di KTP Yogi itu sudah kawin. Itu juga baru dua bulan yang lalu dan Aida ikut merayakan dengan menghadiri acaranya.

Setelah tertawa puas, Yogi kembali menyantap makanannya secara nikmat. Dia terlalu lapar sampai memutus obrolan mereka. Sementara itu, Aida mendesah frustrasi. Dia membayangkan dirinya sekarat karena harus mengumpulkan berlembar-lembar uang yang jumlahnya tidak sedikit itu. Dalam hati, gadis itu mulai berdoa supaya dia dan si pemilik ponsel tidak bertemu lagi. Gawat saja menurutnya, karena bisa menjadi bencana terdasyat dalam hidupnya yang damai ini.

"Aida!"

Suara seorang laki-laki yang memanggil namanya, membuat Aida menoleh. Ternyata Imam, supir elep yang biasa makan di tempat kerjanya. Seketika, Aida mengangkat dua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Kopi item kayak biasa," pesan Imam setelah duduk di bangku kayu panjang.

Aida mengacungkan jempol. "Sip."

Gadis dengan rambut dicepol tinggi-tinggi itu beranjak, berniat membuat kopi sesuai pesanan pembeli. Beberapa saat, pikirannya melanglang buana, bertanya-tanya, kenapa sebagian besar orang-orang menyukai kopi? Apa kopi senikmat itu sehingga banyak yang suka? Aida tidak tahu jawabannya. Dia tidak bisa minum kopi karena hampir seluruh organ tubuhnya menolak cairan itu. Kepalanya akan pusing, perutnya akan melilit, belum lagi jantungnya akan berdebar terlalu kencang.

[Dihapus] Menikahlah Denganku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang