3. Love is scary

10 1 0
                                    

Saat itu masih di tahun 2005, tahun pertamaku menyandang status murid SMP. Masa itu adalah masa paling aktif bagiku selama berkutat di dunia sekolah. Aku tergabung dalam OSIS dan mengikuti ekstrakulikuler paskibra.

Kelompok paskibra bukanlah pilihan yang membanggakan bagi sebagian besar kaum perempuan di sekolahku. Banyak sekali celetukan yang mereka katakan jika mendengar kara 'paskibra'. Mulai dari panas, kulit hitam, terbakar matahari, hingga jelek dan capek.

Alasanku memilih ekskul ini juga hanya sekadar kagum melihat barisan rapi para pengibar bendera pada saat upacara pertamaku setelah resmi menjadi siswa di SMP. Memang benar kata mereka, latihan baris-berbaris di ekskul ini sangat melelahkan. Aku juga harus tahan dengan sengatan matahari, yang sayangnya adalah musuh terbesarku.

Jika sedang sial, kulit wajahku akan terbakar dan memerah keesokan harinya. Rasanya sangat perih dan lama-kelamaan kulit yang terbakar itu akan menghitam. Bahagianya, setelah itu kulitku akan kembali seperti semula, malah lebih mulus dari sebelumnya menurutku. Tapi, tentu saja alasan ini tidak termasuk dalam daftar pertimbanganku waktu itu.

Di luar semua penderitaan itu, ada kebanggaan tersendiri setiap kali aku berada di depan lapangan upacara dan menaikkan bendera. Itu adalah sebuah kehormatan bagiku.

Jadwal latihan paskibra bersamaan dengan jadwal latihan kelompok basket. Kami akan mengunakan lapangan atas, sedangkan mereka akan bermain di bawah. Jadi, bukan hal yang aneh jika aku juga mengenal beberapa anak ekskul basket dan berinteraksi dengan mereka.

Sore itu, aku sedang duduk di bawah pohon di tepi lapangan. Lokasi sama yang selalu aku dan beberapa temanku tempati untuk beristirahat di sela waktu latihan. Di saat aku sedang berbincang dengan mereka, Eko, salah satu anggota basket sekaligus temanku datang menghampiri.

"Eh, Pao!" panggilnya.

Aku yang sedang asik bercanda mau tak mau menoleh ke arahnya. "Kenapa, Ko?" tanyaku, sedangkan dia hanya tersenyum misterius. Wajahnya terlihat menyebalkan.

"Ada salam." Serunya.

Aku bengong. Salam? Maksudnya?

"Maksudya?" ujarku menyuarakan pikiranku.

"Ada salam dari Rendra. Dia suka tuh sama kau." katanya sambil tertawa.

Seketika itu teman-teman yang duduk bersamaku menyuarakan 'cie' seakan mereka sedang mengikuti koor saat itu.

Aku tahu siapa Rendra. Dia adalah kakak kelasku. Bisa dikatakan dia termasuk siswa laki-laki yang paling tampan di sekolah. Walau tidak ada istilah 'cowok populer' di sekolahku, tapi dia juga salah satu orang yang di kenal oleh siswa-siswa di sana.

Di luar dugaan, aku hanya tertawa menanggapi ucapan Eko. Aku tidak percaya dengan ucapannya. Saat itu, aku menganggap itu hanya candaan Eko semata. Tidak mungkin ada seseorang yang menyukaiku.

Tidak pernah ada sejarah seorang anak laki-laki menyukai Paola Ariene. Siapa aku? Hanya anak perempuan sederhana. Tidak cantik, tidak berprestasi, dan bahkan hanya memiliki segelintir teman.

Tidak mungkin seorang Rendra Hanggoro menyukaiku. Aku yakin itu hanya bualan semata. Kenapa? Karena aku pernah bertemu dengannya sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Aku yang jelas-jelas duduk di hadapannya saat aku berkunjung ke rumah salah satu kenalan orang tuaku, dan dia sama sekali tidak menatapku.

Aku beruntung aku belum mengenal kata 'suka' ataupun 'kagum' saat itu, sehingga tidak perlu ada kesan tertentu yang tertinggal di antara kami. Tidak ada kesan apapun yang ku rasakan saat aku bertemu dengannya saat itu.

Jatuh Pilih-pilih CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang