14. Hari Keberuntungan

7.7K 744 423
                                    

"Gue mau pesen soto ayam sama es teh. Lo, Frel?" Aku masih senyam-senyum sambil menatap Kak Kevan.

Memandang Kak Kevan yang tepat di depanku merupakan suatu anugerah terbesarku saat ini, hanya berjarak satu meja.

Aku mengagumi ketampanannya dan keburuntunganku hari ini. Hingga terdengar suara yang mengalun indah miliknya, menyadarkanku.

"Frel?" panggil Kak Kevan sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

"Eh, i-iya maaf," ucapku gugup. "Tadi, Kak Kevan bilang apa?" tanyaku cengengesan.

Kak Kevan tersenyum lembut dan mengulang perkataannya. "Lo mau pesan apa?"

"Emm, bakso, deh. Minumnya jus melon."

"Ok, bentar gue pesenin ya." Aku mengangguk malu-malu.

Kemudian Kak Kevan memanggil pelayan kantin dan menyebutkan pesanan kami.

Sambil menunggu pesanan datang, aku memutuskan mulai mengorek informasi tentang Kak Kevan.

"Kak Kevan suka soto ayam?" tanyaku mencoba tenang. Padahal, sumpah, asli gugup banget!

"Nggak juga," jawab Kak Kevan, tersenyum kecil sambil menatapku.

"Wah, masa kalah sama Pak Joko, beliau suka banget soto ayam, loh."

Kening Kak Kevan berkerut samar, "Maksud lo, Pak Joko guru sejarah?"

"Yup. Pak Joko juga ngajar di kelas Kak Kevan?" tanyaku, penasaran.

"Sekarang, sih, nggak. Kalau kelas X, gue pernah diajar Pak Joko."

"Oh, ya? Beliau suka banget sama soto ayam, kan? Apalagi soto ayam lamongan, katanya mantap," ucapku sambil mengacungkan kedua jempolku.

Kak Kevan mengangguk dan tertawa geli melihat tingkahku.

Aku semakin semangat bercerita tentang beliau yang sukses dibikin gondok saat melihat acara perkenalan semua muridnya. Bagaimana tingkah temanku yang lebay, ajaib dan gokil, saat memperkenalkan diri di depan kelas.

Aku memperagakan cara penyampaian dan intonasi gaya bicara mereka yang aku anggap gokil dan lucu, sampai-sampai Kak Kevan tertawa lepas melihatku.

Aku harus berterima kasih kepada Pak Joko, karena berkat topik mengenai beliau, obrolan kami semakin seru bahkan kami berdua tak sadar jika pesanan kami sudah ada di atas meja.

Kami bingung. Nah, loh! Sejak kapan makanan ini sampai di atas meja, ya? Kok nggak ada yang nyadar?

Kami saling pandang, lalu tertawa bersama.

***
Sedang asyik-asyiknya makan, tiba-tiba dua perusuh itu datang tanpa diundang.

"Wooooy ... gitu ya, gue sama Ari di sana mati-matian menghadang Farah yang lagi ngamuk, kalian malah enak-enakan makan di kantin," semprot Kak Alvin yang sekarang sudah berdiri di sebelah meja, sedangkan Kak Ari memilih duduk di sebelahku, mengambil garpu dan asal comot pentol jumbo, yang sengaja aku sisakan untuk suapan terakhirku nanti.

Aku melongo, dan kepalaku miring ke kiri mengikuti pentol jumbo itu masuk dengan sukses ke mulut Kak Ari.

Gleg! Aku menelan ludah. Sial, gagal deh makan tuh, pentol.

"Sorry, Frel. Sayang kan kalo pentol paling gedenya dianggurin. Mending buat gue aja," ucap Kak Ari sambil mengerling kepadaku. Hueek...!

Aku berdecak sebal. DIANGGURIN, MBAHMU!

Belum sempat Kak Kevan menjawab, aku sudah meluncurkan pertanyaan yang tiba-tiba melintas di kepalaku. "Emang, Kak Farah ngamuk kenapa, Kak?"

"Ya, gitu ... tiap ada cewek lain yang coba merayu Kevan, bisa dipastikan, mereka habis di tangan Farah. Untung aja tadi sebelum Farah ngamuk, kita berdua udah bekap mulut dan tubuhnya terlebih dahulu di dalam kelas. Bener-bener nyusahin!" jawab Kak Alvin, kali ini ia sudah duduk di sebelah Kak Kevan menghadap kami berdua.

"Segitunya? Emang biasanya diapain aja tuh, para cewek?"

"Ngeri banget, Frel. Pernah gue liat tanpa sengaja di belakang gudang sekolah, Farah sama gengnya nyiram pakai telur, tepung, nginjak telapak tangannya, ngejambak rambutnya, nabok pipi, juga. Kalo waktu itu nggak gue pergoki, nasib cewek itu bisa lebih parah lagi. Malah sempat gue denger, ada beberapa cewek yang langsung pindah sekolah, saking takutnya." Kali ini Kak Ari yang jawab, sedangkan Kak Alvin memanggil pelayan kantin, memesan makanan untuk mereka berdua.

Aku jadi bergidik ngeri mendengarnya. Bagaimana jika aku diserang juga seperti cewek itu? Kalau aku pindah, aku kan nggak bisa lihat Kak Kevan, lagi.

Kak Kevan sepertinya mulai menangkap raut wajah gelisahku. Ia menatapku dalam dan serius, lalu tersenyum menenangkanku.

"Lo tenang aja, Frel. Jangan dengerin Ari, ia cuma becanda. YA KAN, AR?" Kak Kevan beralih menatap Kak Ari dan bertanya dengan penuh penekanan di bagian akhir ucapannya. Aku jelas mengerti apa maksud dari kode itu.

Kak Ari tergagap mendengar pertanyaan dari Kak Kevan. "I-iya, kok. Jangan dianggap serius ucapan gue tadi, Frel, hehehe...." Kak Ari tersenyum kikuk kayak orang bego.

Hahaha ... aku tertawa di dalam hati.
Ini cowok, Kak Kevan baru ngomong gitu aja, takutnya minta ampun.

"Lo, sih, Ar. Mau nyari perkara lo!" sahut Kak Alvin, setelah puas nertawain Kak Ari, dan dibalas Kak Ari dengan memukul kepalanya pakai sendok yang ada di atas meja. Kak Alvin membalas memukul pakai garpu, dan begitu seterusnya.

Aku tertawa ngakak, dan Kak Kevan hanya geleng-geleng kepala melihat dua sahabatnya yang pada stres semua.

Kami makan bersama sambil bersenda gurau. Saling melempar ledekan dan dibalas dengan ledekan yang lain.

Kak Ari dan Kak Alvin benar-benar lucu kalau sedang beradu mulut. Kalau salah satu ada yang kalah telak, yang jawab bukan mulut lagi, tapi tangan, bahkan sendok. Atau mungkin sayur bakso punya Kak Ari bisa bersarang di atas rambut Kak Alvin kali ya, hihihi....

Beberapa menit kemudian aku baru tersadar akan sesuatu. "Ya ampuuuuunnn...," teriakku.

"Ada apa?" tanya mereka serentak.

"Gue lupa, gue punya janji sama Dara, temen gue." Aku menepuk jidatku, dan buru-buru pamit undur diri kepada mereka bertiga.

Duh, gawat! Kok aku lupa sama Dara? Yang aku bilang punya janji sama Dara, itu sebenarnya cuma alasan. Yang benar, saat mau ke kelas Kak Kevan, aku barengnya sama Dara tadi. Nah, ini malah aku lupa sama Dara. Main tinggal gitu aja.

Gawat, gawat, gawat!
Bisa-bisa Dara ngamuk. Ya, kalau ngamuknya cuma nendang atau mecahin gelas. Tuh, anak, kalau lagi marah, kita bisa diceramahi sepanjang hari tanpa berhenti. Nggak boleh bergerak kemana-mana, harus dengerin Dara sampai selesai ngomong, nggak boleh dipotong, dan rasanya seperti mendengar kaset rusak yang diputar berulang kali. Bikin telinga budeg sejenak.

Kupercepat langkah lariku mencari sosok Dara. Sedikit berlebihan sebenarnya, tapi aku bisa apa. Dara adalah teman seperjuanganku dari dulu, teman sekaligus sahabat yang mengerti baik buruknya diriku. Dan aku nggak mau kehilangan dia sampai kapan pun.

Soal Kak Farah? Mau nendang kek, mau ngancem kek, mau nyantet kek, aku nggak peduli. Bodo amat! Lagian, aku sudah kebal dengar kata "bully".

Dari dulu yang namanya di-bully sama cewek yang sok berkuasa di sekolah, sudah menjadi makananku sehari-hari. Tapi jangan salah, dari dulu aku nggak pernah sudi jadi korban bully mereka.

Ada dua cara yang dapat kita lakukan jika kita di-bully. Kita dapat membiarkan hal itu menghancurkan kita, atau kita dapat berdiri dan melawannya.

Dan tentunya, aku lebih memilih bangkit dan melawannya. Karena aku tahu, jika aku membiarkan pem-bully itu menindasku, maka dapat dipastikan mereka bakalan melakukannya lagi dan lagi.

..........................***............................
Biar saya lebih semangat lagi, pliiss comment ya..

FREL. (TAMAT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang