15. Penyelamat

7.9K 749 408
                                    

Sekarang aku berada di dalam kamar Dara. Tepat di depanku, ada Dara yang lagi menceramahiku tentang berbagai macam sikap yang nggak patut dilakukan oleh seorang sahabat.

Dara benar-benar cerewet. Hampir satu jam aku disuruh berdiri di kamarnya seperti patung. Rasanya ini kaki sudah mulai kesemutan. Ia dari tadi mondar-mandir di depanku seperti setrikaan dan berceloteh membahas bagaimana pentingnya persahabatan ini dan nggak boleh di nomor duakan.

Setelah jam istirahat usai, Dara tiba-tiba mendiamiku. Tiap aku pancing pertanyaan, ia selalu melengos sewot. Aku dikacangi sepanjang jam pelajaran.

Saat kuminta bantuan Tomi, ia hanya mengedikkan bahu dan memintaku untuk membiarkannya.

"Udah biarin aja, ntar juga balik sendiri," kata tomi waktu itu.

Tomi emang kampret, bukannya ngasih solusi malah bikin orang frustrasi.

Akhirnya, terpaksa saat pulang sekolah aku ikut mobil jemputannya Dara dan begini nasibku.

"Gue tau Frel, Kak Kevan itu cowoknya ganteng, super keren sama seperti Kenn, pujaan gue, tapi nggak gitu juga, kali. Masa cuma demi cowok, lo tega ninggalin gue, sahabat lo sendiri."

Huh, kayak dia nggak pernah ninggalin gue demi cowok lain, aja!
Dulu sama Doni, gue malah dijadikan obat nyamuk.

"Kan lo juga pernah jadiin gue pajangan plus pengusir setan saat lo kencan sama Doni dulu, Ra."

Aduh, keceplosan. Mati, aku!

"Apa lo bilang? Tetep aja beda, Frel. Lo masih gue kasih makan, minum. Nah, sedangkan gue, lo tinggalin gue gitu aja di belakang tanpa menoleh sedikit pun." Dara berjalan ke arahku dan melotot tajam.

Iya, dikasih makan minum, tapi disuruh duduk ngenes di pojokan.

Kalian masih ingat ada ucapan, "Kalau ada orang berdua, yang ketiga itu setan?" Nah, ya itu, aku yang bagian pengganti setan saat mereka kencan berdua.

Tiap Dara kencan, aku yang selalu dijadikan kambing hitam. Alasan paling logis supaya dia bisa lolos dari rentetan pertanyaan kedua orang tuanya.

"Udah gue bilang berulang kali, kalo gue lagi marah, jangan motong ucapan gue. Lo lupa ya, Frel?" Aku meringis, lalu menggeleng cepat. "Ingat, jangan lupa lagi!" Kepalaku mengangguk-angguk otomatis pertanda mengerti perkataannya.

"Lo nggak bakalan ngerti gimana perasaan gue saat lo tinggal sendirian, tadi. Gue hancur, Frel. HANCUR. Lo lebih milih Kak Kevan ketimbang gue. Lo tega, Frel. TEGA. Hiks, hiks...." Kuputar bola mataku. Kumat lagi, deh, lebaynya.

Aku masih diam menunggu kelanjutan sesi berikutnya. "Gue, gitu! Adara Salsabila, cewek termanis sejagat raya. Masa gue ditinggalin gitu, aja!"

Ajaib!

Setelah nangis sesenggukan, tiba-tiba ini anak memproklamirkan dirinya sendiri sebagai cewek termanis dengan semangat membara.

Kemana tangisannya tadi? Hebat kan, sahabatku?

Aktingnya sungguh luar biasa, sedangkan aku, dari tadi cuma manggut-manggut menyetujui semua ucapannya seperti orang teler.

Kulirik jam yang menggantung di dinding kamar, aku menghela napas kasar. Masih kurang dua jam lagi penyelamatku datang.

Sesekali aku menguap dan sukses mendapat death glare dari Dara. Tapi tiba-tiba terdengar pintu terbuka dan terlihat kepala menyembul dari baliknya. Wajah itu tersenyum jenaka melihat kami.

"Ada yang mau martabak telur?" ucap Kak Rian.

Yeay ... penyelamatku datang!

Dara yang mendengar kata martabak telur, langsung tersenyum senang dan beranjak keluar kamar sambil menggandeng tanganku. "Ayo, Frel."

Tanpa sepengetahuan Dara, aku mengkode Kak Rian dengan membentuk huruf "o" dari jempol dan telunjuk tangan kananku, dan dibalas Kak Rian dengan mengacungkan jari jempolnya.

Kami segera menuju ruang tengah dan menemukan sekotak martabak telur di atas meja. Dara yang melihat itu matanya seketika berbinar dan langsung menyantap martabak telurnya dengan rakus, seorang diri. Melahapnya habis tanpa sisa.

"Ehm!" Aku berdeham sambil melipat tanganku di depan dada.

Dara yang masih mengunyah suapan terakhirnya, menatapku polos tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Enak ya martabaknya? Jadi gitu yang namanya sahabat? Masa cuma demi martabak telur, ada yang lupa sama sahabatnya sendiri."

Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah setelah mendengar sindiranku. Ia baru sadar dan sedikit tersedak. Mati-matian aku menahan semburan tawa yang hampir lolos keluar dari mulutku. Wajah Dara benar-benar lucu.

"Eee ... i-itu, maksud gue-" Dara menjawabnya dengan gelagapan.

"Maksud lo apa, hah?" tanyaku dan kini aku yang berbalik melotot tajam ke arahnya.

"I-itu, Frel, hehehe ... iya deh, gue minta maaf, kali ini gue yang salah."

Yes, satu sama sekarang.

Terbersit ide bagus untuk mengerjainya.

"Maafin gue ya, Frel. Pliiiiisss," mohon Dara, lagi.

"Lo pikir segampang itu minta maaf? Dari tadi gue juga udah minta maaf, tapi apa tanggapan lo, Ra? Lo tetep marah-marah sama gue, kan?" Aku menatapnya garang. Tampangku kupasang sejutek mungkin.

"Tap-tapi, Frel, gue kan, aduuuuh ... kok jadi kebalik gini, sih?" Aku menatap Dara geli, ia mulai terlihat bingung dan serba salah. Ia lalu mengacak rambutnya asal dengan kedua tangannya.

Kena lo, Ra. Rasain, gue kerjain, hihihi....
Dalam hati aku ketawa cekikikan.

"Jangan marah lagi ya, Frel. Gini aja deh, tiap lo sama Kak Kevan boleh kok lo ngelupain gue, lo juga boleh ninggalin gue kayak tadi. Gue nggak bakalan marah lagi, beneran! Tapi, lo jangan marah lagi ya, Frel. Maafin gue ya. Ayo dong Frel jawab, pliiiiisss...."

"Hahahahahahahaha...." Tawaku meledak, sedangkan Dara mengernyitkan keningnya.

Tak lama kemudian aku menghentikan tawaku dan berkata, "Lo tau, tampang lo saat ini bener-bener lucu, Ra." Aku masih terus tertawa sambil memegang perutku.

"Apanya yang lucu?" tanya Dara, bingung.

"Hahahahaha ... ekspresi lo itu lucu banget ketika membujuk gue, tadi."

"Jadi, lo ngerjain gue? Hah?" teriak Dara kalap.

Aku berhenti tertawa setelah melihat wajah Dara yang err menyeramkan.

Aku menyengir kuda dan berjalan mundur, saat hitungan langkah ketiga, aku sontak berbalik dan kabur dari hadapan Dara.

Dara makin emosi dan mengejarku saat itu juga. Kami saling berteriak dan main kejar-kejaran seperti anak kecil, hingga aku ambruk di depan tv karena kelelahan, dan sukses mendapat hadiah gelitikan dari Dara.

Kami berdua akhirnya sibuk bercerita, bercanda dan tertawa bersama sambil nonton tv.

Untung aja di perjalanan tadi, aku sempat kirim pesan Kak Rian melalui WhatsApp, agar dibelikan martabak telur untuk Dara.

Kak Rian memang selalu menjadi penyelamatku tiap kali Dara marah.

Dari kecil Dara memang sangat menyukai jajanan sederhana ini. Tiap Dara marah, martabak telur adalah sogokan paling jitu untuk meredam kemarahannya. Ya ... seperti tadi, nggak ada beberapa menit kemarahannya menguar entah ke mana.

Ini berkat Kak Rian, nanti aku harus berterima kasih padanya, jika bukan karenanya, Dara pasti akan menceramahiku dan marah-marah sepanjang hari tanpa henti.

............................***............................
Ceritanya lebay ya?
Yaaa.... tolong dimaklumi, namanya juga cerita fiksi. Aku orangnya suka cerita yang ceria - ceria, ketimbang harus baca cerita yang menguras pikiran dan air mata hehehe..

FREL. (TAMAT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang