Chapter 10

91 4 0
                                    


Menyakitkan. Ketika kita sudah menyadari kalau kita jatuh cinta dan ingin memperjuangkan cinta itu, namun yang diperjuangkan sudah berpaling terlebih dahulu- Ata.

***

Jam sekolah telah berakhir sekitar 2 menit yang lalu, Kesyah dengan cekatan merapikan semua buku dan pensilnya ke dalam tas. Ia sempat melirik ke Ari yang masih tertidur dengan tangan menutupi kepalanya. Selamat, batin Kesyah.

Baru saja Kesyah ingin berlari -ingin, ya! Masih ingin- sebuah tangan sudah menahannya. Kesyah menggigit bibir bawahnya dan menoleh.

"Mau kemana?" tanya Ari dengan tangan memegang lengan Kesyah.

"Ma-mau, pulang?" jawab Kesyah dengan nada bertanya.

"Pulang sama gue! Berangkat sama gue, pulang juga harus sama gue." ucap Ari tegas.

"Tapi..."

"Gak ada penolakan. Lo ingat? Nyokap lo udah nitipin anaknya ke gue, jadi gue harus tanggung jawab sebagai calon mantu idaman yang baik." ucap Ari polos.

Pletak

"Coba ulangi lagi yang lo bilang tadi?"

Ari mengusap kepalanya, sakit atas jitakan dari tangan mungil Kesyah. "Sakit, Li."

Kesyah melotot tajam ke Ari, sebal karena dipanggil Lili lagi dan kesal karena ucapan Ari.

Ari meringis, lalu menunduk dengan mulut bergumam.

Kesyah kembali menjitak kepala Ari, gemas karena ia tak kunjung menjawab malah bergumam yang disesali umpatan kecilnya.

"Duh, iya-iya Li. Ampun..." ucap Ari memohon.

Kesyah menghentikan jitakannya dan menatap Ari dengan artian "Ngomong apa lo barusan?"

Ari mengusap dagunya dengan mimik wajah seolah sedang berpikir keras. "Bicara apa sih gue, Li? Eh, iya Kesyah maksudnya" ralatnya ketika mendapat pelototan dari Kesyah.

"Gue bilang, kalo gue tanggung jawab, ya?" lanjut Ari.

"Bukan itu, pe'a!"

"Lah, yang mana?" nada Ari kembali santai dan sedikit menyebalkan.

Ck, Kesyah berdecak. "Yang terakhir lo bilang tadi, apa? Mantu idaman?!" Kesyah mulai terpancing.

Mulut Ari membentuk lingkaran. "Iya, gue kan emang mantu idaman yang baik. Ya nggak, Ven?"

Veni yang sedari tadi menghapus papan tulis karena sekarang adalah jadwal piketnya, menoleh dengan mimik wajah bingung.

"Ngimpi lo! Mana ada anak model kayak lo jadi mantu idaman? Cih, pede gile." sahut Kesyah setengah berteriak.

"Iya, ngimpi ya?" wajah Ari berubah masam, namun sedetik berikutnya berubah cerah.

"Eh, nggak apa sih, mimpi duluan. Karena mimpi nanti bisa ada harapan, dan harapan itu bisa jadi kenyataan." lanjut Ari.

Blushh...

Pipi Kesyah memanas mendengar jawaban Ari yang tak ia duga sama sekali. Simple, sih. Tapi cukup buat jantungnya menggila.

Memory of RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang