3. Hari Kedua, Minggu Terakhir

6.2K 386 16
                                    


***

Tidak seperti biasa yang selalu tampak tenang, kini kepalanya seolah mendidih panas menatap berkas dokumen tentang laporan yang entah sejak kapan membuatnya sangat amat merasakan apa itu arti kata bosan.

Jika di ingat kesibukannya yang selalu mengarah pada hal semacam itu bahkan bisa dibilang mengisi warna harinya yang kelabu cukup mustahil juga bila sekarang ia ingin sekali keluar setidaknya mencari udara segar.

Tapi tetap ia tidak bisa begitu saja mengabaikan tumpukan kertas yang hanya membuat kantuknya kian bertambah. Baginya ini adalah kewajiban, janjinya pada mendiang sang ayah untuk melanjutkan dan membuat jaya perusahaan Uzumaki dibawah kendalinya.

Uzumaki Corporation begitu melejit tinggi semenjak seluruh saham dari Namikaze Corp disatukan yang kala itu adalah wasiat dari Namikaze Minato sebelum wafat. Hingga kini terbukti nyata menjadi perusahaan terbesar diseluruh kota bahkan Jepang.

Sekarang, sebagai putra yang berbakti dan memegang teguh sebuah janji ia harus menjaga janji itu. Sang ayah yang menjadi panutan utama sejak kecil selalu ia kenang. Tidak pernah terpikir untuknya begitu saja mengabaikan janjinya.

Kesannya memang berbeda, bahkan matanya mencoba menjelih untuk mengurangi rasa kantuknya namun seolah percuma, bahkan itu hanya membuat tenaganya berkurang dan semakin meredupkan iris biru saffre-nya.

"Astaga! Ini kambuh lagi!"

Kepalanya terasa sakit. Mendadak semakin sakit sampai dengan kuat kedua tangannya mencengkram kepala yang begitu berdenyut akibat Migrain-nya yang kembali kambuh.

Pikirannya tidak bisa menjernih. Hanya ada rasa sakit dan sakit yang kini memenuhi. Kesannya sangat kacau, matanya semakin meredup seolah ruangan pribadinya terjungkir balik. Sampai semakin berat dan sakit denyutan itu menyiksa.

Kepalanya terbentur agak keras pada meja akibat sudah tidak ada lagi kekuatan untuk menahan kepalanya yang terasa sangat berat. Hingga kesadarannya kian menipis dibarengi perlahan kelopak sewarna madu itu terkatup dan mengurvakan senyum tipis kala atensinya tak sengaja menangkap figura potret sosok berambut biru kelam panjang yang tengah meronakan pipi dengan senyum manis terlukis pada bibirnya.

Sampai kesadarannya benar-benar menghilang sebelum ingatan tentang sang Ibu yang menaruh potret gadis manis itu pada meja kerjanya. Sosok gadis yang begitu merdu kala suara lembut memanggilnya Uzumaki-kun.

•••

Sepertinya memang sore ini butik sedang sepi. Beberapa pesanan sudah ditangani asistennya yang sudah ia anggap seperti kakak perempuannya.

Tidak hanya butik. Rumah megah didominasi barang antik kuno yang merupakan tempatnya berteduh juga sangat sepi, hanya ada beberapa pelayan yang mungkin sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Ia mulai merasa bosan. TV menyala bahkan di biarkan begitu saja tanpa meliriknya. Sungguh, kini pandangannya hanya mengarah pada satu titik. Sebuah figura besar yang terpampang jelas wajah cantik sang Ibu.

Mendadak ada kikikan kecil menggantikan larutnya pikiran yang tadinya mengarah pada mendiang sang Ibu. Entah kenapa ia teringat sosok wanita yang begitu ceria kala ia teringat Ibu kandungnya.

"Bibi Kushina, dia sangat berbeda dengan Uzumaki-kun... Uzumaki-kun lebih pendiam, dan bibi Kushina sangat ceria. Tapi, kenapa Uzumaki-kun selalu terlihat hangat hanya pada bibi Kushina? Ah—itu wajar saja, kan bibi Kushina itu Ibunya..."

Response TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang