6. Hari Ketiga, Minggu Terakhir

5.3K 353 26
                                    


***

Tatapan iris Amethyst darinya kian lesu, terduduk dengan helaan nafas panjang yang semakin terdengar dan menderu. Ingin rasanya ia marah, namun entah kenapa tak ada alasan untuk bertindak lebih apalagi meluapkan segala amarahnya pada satu-satunya adik yang selalu ia jaga dengan over.

"Ma-maaf, Neji-nii..."

Pria dengan surai panjang berwarna kecoklatan itu hanya terdiam seolah tak acuh, membuat sang empu yang merasakan hawa jauh dari kata familiar merasa bersalah.

"Kau tau? Jika sampai ayah tau kau tidak ada dirumah ataupun butik dari pagi hingga tengah hari seperti ini—" Hinata semakin meringkuk memeluk tas miliknya didepan dada, "Dia akan beranggapan yang tidak-tidak. Aku tidak ingin kau menangis semalaman hanya karena hal semacam itu. Mengertilah Hinata, kau sebentar lagi akan diresmikan bermarga lain tak lain adalah calon suamimu. Jadi, setidaknya jika kau tidak bisa membuat Ayah bangga, jangan buat dia cemas..."

Deg

Air mata meluncur begitu saja mendengar ucapan sang kakak. Bukan! Bukan karena ia mendapat penuturan dari kemarahan kakanya, hanya saja ucapan terakhir lelaki berbola mata sama dengannya itu langsung masuk dan menohok hatinya.

Itu baginya benar. Semenjak lulus sekolah memang tidak banyak yang bisa dilakukannya atau dalam arti membuat sang ayah bangga. Dan sekarang rasa bersalahnya kian besar kala kata-kata terakhir Neji bisa ia cerna dengan baik.

"A-aku tidak be-bermaksud membuat ayah cemas—" nada parau itu terdengar, membuat Neji tak tega kala lirikan kecil darinya menangkap air mata yang sudah menganak sungai pada pipi memucat adik perempuannya, "Aku mi-minta maaf... Hiks... Hiks... Neji-nii jangan memberitahukan ayah. A-aku berjanji tidak akan mengulanginya la-lagi... Hiks... A-aku—"

Ucapan Hinata terhenti. Bahunya terasa hangat kala tangan kekar merangkulnya dari samping. Hingga ia mendongak dan dapat dilihat wajah yang biasanya datar kini berubah menjadi lebih hangat, membuat air matanya kian deras mendapati senyum tulus yang sangat jarang dikeluarkan dari sang kakak.

"Sebentar lagi ayah pulang—" menghapus lelehan air mata tersebut, Neji berujar lembut menatap sang adik yang terdiam tak berucap meski masih mengisak kecil. "Jangan seperti ini. Kau mengingatkanku saat kita masih kecil... Aku tidak akan lupa kalau adikku ini selalu ingin dipeluk saat menangis, terlebih hanya aku yang berani kau peluk seperti dulu..."

Hinata terenyuh mendengar kata-kata penghibur tersebut. Inikah Neji-niisan nya yang selalu datar? Inikah Hyuga Neji yang terlampau over padanya? Dan inikah sang kakak yang sangat berkarisma jika bersikap hangat?

Merengkuh hangat tubuh tegap sang kakak seraya semakin mengeratkan. Hinata berlinang air mata dengan hati tersenyuh. Tak disangka, ia kembali merasakan kehangatan yang hanya ia rasakan sewaktu kecil dulu saat bersama sang kakak, membuatnya tersenyum dibalik tangisnya tak ingin melewati begitu saja momen langkah semacam ini.

"Uhum—" bergerak-gerak mencari kehangatan, Hinata mengangguk patuh membuat Neji tersenyum simpul, "Aku sangat merindukan masa kecil kita... Meskipun aku dan Neji-nii adalah adik dan kakak, tapi kita hanya berbeda 3 tahun, dan kita menjadi anak-anak yang sering bermain seperti sebayanya."

Mengelus surai sang adik penuh kasih sayang, ia mengangguk tak menanggapi meskipun terlintas masa kecilnya yang hangat, membuatnya tersenyum tipis jika mengingat perubahan derastinya sewaktu kecil menjadi dewasa seperti sekarang.

Response TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang