Bagian 6

865 46 6
                                    

    “Nggak… Bennie, … jangan pergi… aku masih butuh kamu….” Alex mengerang dalam tidurnya, terjebak dalam mimpi buruk yang selalu menghantuinya.  

    “Bennie…aku mohon....BEENNIIIEEE!!!!” teriakannya membangunkan dirinya dari tidur dengan pucat dan berkeringat. “Ben?” ia segera menengok ke arah tempat tidur di sampingnya, tempat tidur Ben. Tapi tempat tidurnya kosong!

    “Bennie!?” rasa takut langsung menyergapnya; ketakutan akan mimpi buruknya menjadi kenyataan. Ia kemudian tersadar ada sesuatu yang melingkar di lehernya. Bukan hanya kalungnya,tapi ada kalung lainnya. Dilihatnya kalung tersebut, dan langsung terpaku pucat melihat nama Ben tersemat dia salah satu kalung yang melingkar di lehernya. Jantungnya langsung berpacu kencang

     “Nggak…Bennie!?” ia bergegas memeriksa lemari kecil milik Ben dan menemukan lemarinya telah kosong, dengan sepucuk surat di sana. Bentuk tulisan cakar ayam Ben langsung membuatnya pucat,

    Maafin aku Alex, aku harus pergi. Ada yang ingin mengadopsiku untuk jadi anak mereka. Aku nggak mau pergi, tapi harus. Aku akan tinggal kalau aku bisa. Kamu boleh benci aku, tapi aku nggak akan membencimu. Baik-baiklah, dan jaga diri kamu baik-baik. Aku akan mengingatmu di dalam hatiku, dan maafin semua ucapanku tadi sore. Aku sayang kamu melebihi barang apapun yang pernah aku punya, dan aku akan selalu bersamamu di hatiku.

Selamat tinggal, semoga kita bisa ketemu lagi nanti – Ben-

Alex langsung merasa sesak dengan panik. Ben sudah pergi, Ben sudah meninggalkan dia!

    “NGGAK... NGGAK....NGGAKKK ……BEEENNNNIEEEEE!!!!” Alex berlari keluar dengan menangis deras

    “Alex?” Suster Ann melihat sosok kecil berlari dengan histeris keluar gerbang.

    “NGGAAAAKKK!! BEEEEEENNNIIEEEEE!!!!!! Jangan tinggalin aku... kamu udah janji nggak akan ninggalin aku, Bennie, kamu udah janjI!!!! Nggak, tolong jangan pergi, Bennie!!!” Alex menangis dengan histerisnya, meski ia tidak tahu untuk apa ia menangis karena ia sudah tidak menemukan Ben lagi di sana. Mungkin Ben sudah pergi, jauh sebelum Alex bangun.

Alex lemas ke tanah, berlutut dengan tangisnya yang deras. Dia menangis, dia memaki. Dia mengutuk Ben karena sudah meninggalkan dirinya. Alex menangis dengan histerisnya, tak peduli tubuhnya bisa menyokongnya. Dan Alexpun mulai kesulitan bernafas. Dia tersengal-sengal mencari udara diikuti rasa sakit yang menekan dadanya, tapi rasa panik dan histerisnya hanya membuatnya semakin kesulitan bernafas,dan akhirnya ia kehilangan kesadarannya saat tiba-tiba semuanya menjadi gelap

   “ALEX!!!” Suster Ann langsung berlari mengejar dan menangkap tubuh Alex saat melihat sosok kecil itu akhirnya tumbang.  

    “Alex, sayang?” saat Suster Ann sudah memeluk tubuh yang sudah tak sadarkan diri, dan kemudian perlahan berubah menjadi biru. “Ya Tuhan,” ia langsung mengangangkatnya dan berlari ke dalam “BAPA!!”

                Mereka segera membaringkannya di ruang kesehatan dan mulai memberikan tindakan yang sudah menjadi hal rutin mereka, bila Alex terkena serangan.

                Suster Ann memakaikan masker oksigen sederhana pada Alex, sementara Suster Theresa meracik obat yang biasa mereka gunakan untuk mengurangi rasa sesak dan sakit di dada Alex dan langsung mengolesinya di dada dan punggung Alex dan menghangatkan tubuhnya.

    “Tidak apa-apa sayang, kembalilah pada kami, nak, kau kuat, sayang,” Suster Theresa terusmengusapnya hangat, memanggil Alex disertai doa.

Dan perlahan mereka dapat mendengar rintihan lirih diantara suara nafas yang tersengal-sengal berusaha mencari udara.

    “B... Bennie…!”

    “Tidak apa-apa, nak, tenanglah, bernafas pelan-pelan, sayang ….”

    “Bennie…a..ku...mau...B..Bennie!” Alex mulai berontak di tengah kesakitannya.

   “Shs….tenang, sayang, kau masih memiliki kami, nak,” Suster Ann mencoba menenangkan Alex.

   “Ng..g...ngg..akk, … Bennie… t..o..l...ongin, ng..ga..k...b..is..a...na..fa...s!” kembali menangis di tengah kesulitan bernafas. Dadanya terasa sakit sekali, dan akhirnya ia tak dapat melawannya, dan kembali tak sadarkan diri terjebak dalam sakit di dadanya

                Father Simon membalutnya kain yang sudah diolesi obat mengelilingi dadanya, yang akan membantu meringanakan Alex bernafas. Mereka tahu ini bukan radang paru-paru dari udara dingin, tapi dari serangan emosi yang berat dan mendadak. Tapi bisa jadi memburuk kalau mereka tidak merawatnya dengan baik. Sekarang yang bisa mereka lakukan adalah menunggu tubuh Alex menyerap obatnya dan membuatnya tenang.

                Perlahan Alex membuka matanyadengan lemahnya, dan menemukan Suster Ann duduk di tepi tempat tidur.

Suster tersenyum dengan leganya, “Hey sayang.”

Dada Alex terasa sakit sekali. Ia melihat sekelilingnya dan menyadari dirinya ada di ruang kesehatan, dan langsung teringat kemungkinan kenapa dia sampai terdampar sini; Ben!

Alex langsung dan mencari sosok Ben yang biasanya tidak pernah meninggalkan dia di saat sakit seperti ini. Ben akan selalu di samping tempat tidur, Ben menemaninya, Ben adalah orang pertama yang biasanya ia lihat saat membuka mata di saat sakit. “Bennie…?”

Tapi tidak ada. Tidak ada Bennie. Rasa takut kembali menyergap, benarkah Ben sudah benar-benar pergi meninggalkan dia?

   “Suster, Bennie mana?” dengan mata sayunya. Suaranyapun begitu kecil dan lirih.

Suster Ann menghela nafas, “Alex…”

    “Bennie nggak ninggalin aku, kan, Suster?”

    “Alex, sayang…”

Alex terpaku, “Jadi dia bener ninggalin aku, Suster?” itu seperti penekanan akan kenyataan yang menjadi mimpi buruk Alex, saat menyadari Ben benar-benar telah pergi dan tidak akan kembali.

    “Dia harus pergi, Alex....”

    “Tapi dia udah janji, Suster, dia janji nggak akan pernah ninggalin aku, dia udah janji!”

    “Suster tahu, sayang, tapi dia harus pergi.”

    “Nggakk…, Bennie…,” ia mulai menangis lagi. Dadanya semakin terasa sakit.

    “Shs… sayang, tidak apa-apa, kau masih memiliki kami, sayang,” terus mencoba untuk menenangkan bocah yang sedang hancur hatinya.

    “Terus siapa yang mau nyanyiin aku!?”

    “Kami yang akan menyanyikanmu, nak.”

Tapi untuk sekarang Alex hanya ingin Ben yang menyanyikannya. Dia hanya mau Ben!

    “Aku benci dia! Aku benci dia! Aku benci dia!Aku benci dia!” Alex mulai histeris lagi.

Suster Ann langsung memeluk Alex ke dalam pelukannya menenangkannya, dan memastikan semua akan baik-baik saja.

     “Shss… kau akan baik-baik saja, sayang, kami janji,” terus menenangkannya hingga Alex tidak berontak lagi. Bagaimanapun Alex harus tetap bisa menerimanya

Beauty Love AdelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang