Bagian 8

622 44 4
                                    

Bagian 8

                Malam ini terasa sangat dingin, Alex merapatkan jaketnya dan memeluk dirinya sendiri agar lebih hangat dan tetap berjalan. Dia mungkin saja bisa mengejar kapal pertama di pelabuhan yang akan membawanya ke Irelucia pagi ini.

                Alex tidak tahu sudah berapa jauh dia berjalan saat tiba-tiba hujan turun. Hujan deras! Alex mempercepat kakinya. Dia tidak bisa berhenti, dia harus bisa mengejar kapalnya.

                Tapi hujan semakin deras. Dia mencoba untuk berlari dengan tubuh sudah basah kuyup. Tapi hanya kuat beberapa meter saja, dia tidak kuat berlari lagi. Ia tersengal-sengal kelelahan. Udara dingin membekapnya, dan nafasnya semakin terasa pendek. Alex memutuskan untuk istirahat sebentar menunggu hingga hujan reda.

                Alex menemukan tempat berteduh. Dia duduk kelelahan dan merasakan nafasnya semakin pendek saja, dan dadanya mulai terasa sakit. Secepatnya ia meminum obatnya sebelum bertambah parah. Tiba-tiba ia merasa takut gagal. Alex menarik nafas pendeknya dan mencoba untuk tenang. Hawa dingin menyesakkan dada dan nafasnya, dan hujan tidak juga reda. Dia menggigil kedinginan dengan tubuhnya yang basah kuyup!

                Tapi sepertinya obatnya tidak banyak membantu. Hawa dingin menusuk paru-paru, membuatnya semakin sulit bernafas. Pikirannya melayang kembali ke St. Peter, ke kamarnya yang hangat. Mungkin bukan tempat tidur yang mewah dengan selimut wol yang super tebal, tapi paling tidak cukup hangat. Air mata mulai menetes di pipinya. Mungkin tidak seharusnya ia pergi, mungkin dia harus tetap tinggal dan menunggu hingga Ben datang. Tapi dia sangat ingin segera bertemu Ben.

                Alex mencoba untuk membaringkan tubuh basahnya dan mencoba untuk tidak banyak bergerak yang akan menguras tenaganya. Ia merasakan demam di tubuhnya membuatnya semakin pucat. Dia tahu ini, dia sangat mengenalnya, dan dia tidak mau merasakannya lagi.Cukup sekali saat umur 8 tahun dulu, saat ia hampir mati. Rasa takut mulai menyesakkannya. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada siapa siapa yang akan mengurusnya. Dia akan mati di sini, sendirian. Nggak dia tidak boleh mati, nggak sebelum ia bertemu Ben.

      “Ben…” dan akhirnya semuanya gelap kembali.

    “Hujannya sudah berhenti, Tuan,”Calebmemberitahukan Tuannya dengan melihat ke arah jendela.

    “Ya, sepertinya sudah reda, kita bisa pulang sekarang,” sahut George Waldegrave dengan lega.

    “Ya, Tuan.”

                Earl George Waldegrave mengucapkan terima kasih kepada pemilik rumah tempat mereka berteduh. Memang, bisa saja Lord Waldegrave melanjutkan perjalanan menembus hujan yang lebat, tapi ia tidak akan tega membiarkan kusirnya berbasah kuyup selama perjalanan. Mereka dalam perjalanan pulang dari mengunjungi pasiennya di desa sebelah.

   “Terima kasih banyak,” Lord Waldegrave mengucapkan sekali lagi.

    “Saya yang merasa terhormat, Milord,” John, sang pemilik rumah, menjawab dengan sopan, merasa sangat terhomat dapat memberi tempat berteduh. Tidak hanya beliau yang seorang Earl, tapi juga Lord Waldegrave pernah menolong putranya saat sakit keras yang hampir tak terselamatkan, dan Lord Waldegrave sama sekali tidak meminta imbalan. Lord Waldegrave tidak pernah meminta imbalan akan jasanya kepada para petani karena memang mereka tidak akan mampu membayarnya. Lord Waldegrave tidak hanya seorang bangsawan yang rendah hati, tapi juga seorang dokter yang dermawan. Semua orang menyukainya.

Beauty Love AdelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang