Bagian 7

650 42 3
                                    

                Alex merasa hampa. Ia masih dalam proses penyembuhan dari kesulitan bernafasnya, meski masih terasa sakit di dada. Rasasakit  karena marah, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu. Tapi rasa ditinggalkan adalah yang paling sakit dibandingkan paru-parunya. Tidak ada lagi yang akan bernyanyi untuknya, tidak ada lagi yang diajaknya bermain bersama. Dia benci Ben, dia sangat membencinya, tapi dia juga merindukannya. Alex merindukan Ben.

                Alex tidak berminat untuk pergi bermain atau berbaur dengan anak-anak lagi. Dia tidak mau berhubungan dengan siapapun. Dia tidak mau merasakan sakit hati lagi jika orang yang disayangnya harus pergi lagi seperti Ben. Percuma, toh akan berpisah juga.

                Seluruh Suster merasa sedih dengan sikap Alex, tapi merekapun tak dapat berbuat apa-apa. Alex adalah anak yang paling keras kepala di St. Peter. Akhirnya mereka memutuskan untuk membiarkan Alex dengan sikapnya untuk beberapa saat, memberinya sedikit waktu untuk dapat menerimanya.

                Sudah hampir sebulan berlalu, dan Alex masih terkungkung dalam kesedihannya. Dia masih tidak mau bermain dengan anak lain. Bagaimanapun usaha teman-temannya untuk mengajaknya main, tidak membuahkan hasil, hingga tak ada lagi anak-anak yang mengajaknya bermain. Alex semakin merasa kesepian dan merasa tidak ada yang mempedulikan, dan tidak ada lagi yang menyanyanginya. Tidak ada kalau bukan dari Ben. Tidak ada yang dapat para suster lakukan, atau malah akan semakin menyakiti Alex. Dan kesedihan Alex dimanfaatkan oleh Tom untuk selalu mengganggunya.

    “Udahlah, berhenti mikiran dia, dia nggak akan kembali, Alex. Kamu cuma buang waktu kayak gini. Nggak ada yang peduli sama kamu, tau nggak, nggak ada yang sayang sama kamu lagi. Nggak akan ada orang tua yang mau ngadopsi kamu, kamu akan membusuk di sini,” Tom puas sekali bisa menganggu dan membuat kesal Alex, selepas tidak ada Ben.

Alex mencoba untuk tidak membalasnya, tapi tidak bisa.

    “Iya, kayak kamu nggak akan membusuk juga di sini!” Alex membalasnya, “Nggak ada yang mau mengadopsi kamu, dan kamu juga sama bakalan membusuk di sini!”

    “Yea... tapi paling nggak aku bisa mandiri, nggak kayak kamu, manja dan sakit-sakitan, bisanya cuma merepotkan orang aja!”

Alex terpucat dengan ucapannya. Ucapan yang sama persis dengan yang diucapkan Ben. 

   “Nggak heran Ben mutusin untuk mau diadopsi, padahal kalian kembar, yang seharusnya nggak berpisah. Tapi kayaknya Ben sudah capek jadi pembantu kamu, dia capek dengan kamu yang sakit-sakitan melulu, dan yang pasti dia udah muak sama kamu!”

Air mata sudah mengalir deras di pipi Alex. Dia tidak mau mendengarnya lagi, tapi Tom belum puas,

    “Kamu tau, Ben tuh nyesel punya saudara kembar kayak kamu. Punya adik kok bisanya ngerepotin melulu. Dia tuh sebenernya kepaksa, nggak bener-bener sayang kamu. Mungkin dia nggak pernah sayang kamu. Nah sekarang saat ia merasa cukup dan ada orang tua yang mau ngadopsi dia, ya.. nggak pikir dua kali buat pergi dengan  mereka,ninggalin kamu buat selamanya. Ben nggak akan kembali lagi, dan kamu penyakitanbakalan sendiri, nggak ada yang peduli sama kamu, dasar penyakitan!”

BUG!!!

Sebuah kepalan tangan kecil mendarat mantap di pipi Tom hingga ia memekik kesakitan, tak menyangka Alex akan memukulnya dengan keras. Punya kekuatan dari mana dia?

    “CUKUP, AKU NGGAK MAU DENGER LAGI!!!!” dan berlari Alex meninggalkan Tom dengan menangis.

Beauty Love AdelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang