Entah sudah keberapa kalinya kelima manusia itu menarik perhatianku. Mereka bagai vampir dicerita dongeng; kulit pucat pasi, tatapan yang sangat tajam, dan satu hal, tangan sedingin es. Ya, percaya atau tidak, aku adalah pencinta vampir, aku benar-benar menganggumi mereka. Mereka diciptakan sangat sempurna; mempesona, abadi, dan kuat.
Betapa terkejutnya aku saat Carren menarik buku ber-genre vampir milikku. Lalu, gadis bodoh itu melemparnya asal, "Ughh.. Ayolah, Ashley! Kau itu hidup didunia seperti ini dan kamu masih saja percaya dengan mahluk-mahluk aneh seperti itu?" Carren melipat kedua tangannya didada dan menatapku sebal.
"Mengapa tidak? Bagaimana jika sebenarnya mereka itu ada?" ujarku. Carren memutar bola matanya malas.
"Bisakah kau berhenti memikirkan tentang itu sedetik saja? Mulut Albert dan Pierre sudah berkomat-kamit menunggu kita untuk datang ke kantin sedari tadi!" ujar Carren, lalu menarikku untuk pergi ke kantin bersama dengannya.
Aku dan Carren menghampiri kedua lelaki yang sedang sibuk meniup putung rokok mereka sambil melirik kearah gadis-gadis cantik yang sedang menatap mereka dengan malu-malu. "Hei! Bisakah kalian berhenti merokok didepanku? Sungguh itu sangat menjijikan!" omelku marah.
"Setelah membuat kami menunggu lama kamu juga ingin memarahi kami?" sindir Albert.
Pierre terkekeh geli, lalu mematikan rokoknya. "Aku berhenti," ujar Pierre sambil mengangkat kedua tangannya.
Sedangkan Albert masih saja kekeuh, "Matikan asapnya atau kubunuh kamu sekarang juga!" ancamku kesal.
"Baiklah. Untuk hari ini aku akan mengalah denganmu," ujar Albert pasrah.
Aku tersenyum puas dan mengambil tempat duduk tepat disebelah Albert sedangkan Carren disebelah Pierre, "Hei, apa rencana kalian hari ini? Apa kalian akan menginap dirumahku malam ini?" tanyaku antusias.
hening
Aku mengetuk kepala ketiga sahabatku yang hanya diam dan mengabaikan ucapanku. "Oh.. Maaf!" ujar ketiganya sambil menyengir kuda.
Albert mengendikkan bahunya, "Sepertinya, aku mendapatkan mangsa baru," ujar Albert, membuatku mengernyit bingung, "lihat menuju arah jam 12." Aku mengikuti perintah Albert dan langsung mengerti maksud dari ucapannya, tapi ada satu hal yang membuat jantungku tiba-tiba berdegup kencang, saat pandanganku dan dia bertemu. Lelaki berkulit pucat dengan rambut hitam mengkilap dan mata senada dengan samudera.
"Apa mereka murid-murid pindahan yang dimaksud oleh ayahmu, Pierre?" tanya Carren.
Pierre mengusap tengkuknya, "Maybe, but I'm not sure," jawab Pierre.
"Mereka mempesona, bahkan ketampan mereka mengalahkan wajah dewa Yunani yang sempat kutemui dal-"
"Dalam mimpimu!" ujar Albert, Carren, dan Pierre, melengkapi ucapanku. Lucu sekali, mereka sampai hafal ceritaku, kuakui memang aku sering kali mengulang-ngulang cerita indah yang terjadi padaku.
"Baiklah, biar aku perjelas," ujar Pierre sambil mengusap dagunya seakan-akan ia berpikir keras, "disana, gadis cantik berambut panjang dan bermata sipit itu bernama Amber Nelson. Gadis berambut sebahu pirang itu, bernama Blaire Dahill. Sedangkan, lelaki berambut pirang dengan mata birunya, adalah Benedict Cavidson. Lelaki berambut coklat dan bermata almond itu Jeremy Hansel, dan lelaki berambut hitam pekat dengan mata samudera itu, Sean Payne," jelas Pierre tanpa spasi.
Carren mencubit lengan Pierre kesal. "Kau bilang kau tidak tau!" ujar Carren.
"Aku hanya menebak tapi sepertinya tebakanku tepat sasaran," ujar Pierre.
KAMU SEDANG MEMBACA
Le Vampire Le Fort [TELAH DIBUKUKAN]
Fantasy(FANTASY - ROMANCE STORY) Highest Rank #1 In Fantasy Highest Rank #1 In Vampire Highest Rank #1 In Werewolf Highest Rank #1 In Book Highest Rank #1 In Impossible Mulai ditulis pada tanggal 10 April 2017 Cover by filliagraphics [SEBAGIAN CERITA TELAH...