Hujan 30

2.5K 118 13
                                    

Hana Pov

Aku sedang tertunduk di kursi mobil Dhika. Akhir-akhir ini kita lebih sering bertemu. Aku senang tentu saja. Bersama cowok yang kamu sukai menghabiskan waktu bersama. Adakah hal yang lebih membahagiakan dari itu?

Tapi, yah. Sayangnya aku hanya memendam semua ini sendiri. Tidak. Aku tak ingin menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada dia. Biarlah hanya aku. Walaupun cepat atau lambat dia pasti tahu. Mengingat sudah banyak yang tahu kalau aku menyukainya. Temanku dan Reyga.

Aku hanya suka.

Memendam ini semua. Dia yang tak tahu. Biarlah. Aku hanya ingin dia berada di dekatku. Tak perlu tinggi harapku untuk memilikinya. Hanya dia saja sudah cukup untukku. Menemai hari-hariku, tertawa bersama saling melengkapi.

Dia yang seolah menarik hatiku mengikuti semua ucapannya. Mencoba menyukai hujan. Sesuatu yang selama ini ku hindari. Aku hanya lari dari berbagai kenyataan. Tapi dia berusaha mencoba membuat diriku menyukai apa yang selama ini ku benci.

"Makan yuk," ajaknya. Ku balas dengan anggukan.

Setelah tadi dia mengajakku untuk menemaninya ke dokter hewan. Kucing kesayangan Dhika yang bernama Emon sedang sakit.

Aku hanya bisa tertawa melihat bagaimana dia sangat khawatir dengan kucingnya. Kenapa dia terlihat begitu penyayang? Dia sangat peduli terhadap sesuatu yang dia sukai.

Aku menolehkan wajahku pada jendela mobil. Memilih untuk tidak menatapnya, karena akan membuat jantungku berdetak kencang. Melakukan apapun, menghindari tatapan teduhnya yang menggetarkan hatiku.

Bahkan hanya menatapnya saja aku sudah senang.

Mobil kami berbelok ke sebuah rumah makan. Restoran yang kita pilih cukup terkenal di kota ini. Selain masakannya yang enak, aku tadi juga menyerukan jika ingin ke sini, karena menurut Fitri restoran ini lagi ngetren.

Kami duduk berhadapan. Meja bulat ini cukup kecil. Kami memilih meja yang mengarah pada jalanan. Bukan meja lebar sperti yang ada di private room.

Sedari tadi Dhika hanya tersenyum padaku. Selain menunjukkan tingkah konyolnya. Sesekali dia menggenggam erat tanganku. Aku terheran, semenjak malam itu, ketika aku menanyakan langsung pada Dhika tentang Shinta yang ternyata mantannya Dhika. Dhika terlihat sedikit berbeda. Dia lebih manis untuk memperlakukanku. Pipiku bahkan berkali bersemu merah.

Lihat saja saat ini. Dia mengambil tisu untuk membersihkan sudut bibirku. Aku semakin dibuat terbang olehnya. Kami terlihat seperti pasangan.

Nyatanya tidak. Kami bukan pasangan.

Tapi tidak apa, cukup hanya bersamanya. Bersama dengannya membuat aku lebih banyak tertawa. Aku bahagia. Sangat bahagia..
Meskipun hanya menatap wajahnya, aku sudah merasa bahagia yang membuncah.

*****

Kami ke sekolah. Padahal sekolah hari ini libur untuk anak kelas dua belas. Jangan tanya kenapa kita ke sekolah, karena aku juga belum tahu. Dhika tak memberi tahuku. Dia hanya berkata ada sesuatu yang ingin dia katakan di sekolah.

Kukira dia akan bertemu seorang guru atau temannya. Ternyata tidak. Hanya kami. Maksudnya, dia tidak berniat menemui seseorang. Sekolah sudah sepi, mengingat matahari sudah agak condong ke barat. Langit pun terlihat sedikit mendung. Dan juga, samar terdengar gerimis di luar.

Berbagai tanya sudah mengisi benakku. Tapi tarikan tangannya yang kuat tak mampu kuelakkan.
Dhika begitu kuat menarikku hingga aku mengikuti langkahnya. Perlahan kaki kami melangkah pada tangga.

Menuju lantai teratas sendiri.

Dhika berjalan pelan. Menuju gerimis yang mulai turun. Aku masih di tepi ruangan pembatas tangga dengan rooftop.

Merindukan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang