Bagian 7

56 4 2
                                    

"Lo ngapain si?"

Tak ada jawaban.

"Gue gak minta lo jemput gue!"

Sudahlah,Laura pasrah. Selama diperjalanan,lagi-lagi hening yang menyelimuti mereka. Sampai di loby,pria itu masih diam dan kemudian membukakan pintu untuk Laura dan menggandeng tangannya. Dan Laura,hanya diam saja. Rasanya,memberontakpun tak akan membuat pria ini melepaskan genggamannya dari tangan Laura.

Arvin membuka pintu apart nya dan menarik tangan Laura masuk. Kemudian mereka duduk di depan ruang tv.

"Aku minta maaf." Kata Arvin yang posisinya sekarang mengahadap Laura.

"Iya." jawab Laura. Pandangannya tak sedikitpun menghadap ke arah Arvin.

"Aku bener-bener minta maaf Ra. Aku gak maksud bentak kamu serius."

Arvin tulus. Arvin benar-benar berusaha hanya untuk mendapatkan maaf dari Laura. Tapi?jika Arvin mengetahui apa yang dulu Laura kerjakan,apakah ia masih akan tetap meminta maaf seperti ini jika berbuat salah?sepertinya tidak akan. Laura masih diam. Ia juga wanita. Yang punya perasaan. Yang ingin di sayang,di cinta,di beri perhatian dengan setulus mungkin oleh pria. Ia tak ingin dispelekan pria,ia ingin seperti wanita kebanyakan di dunia ini,yang di hargai dan di puja bukan karena fisiknya saja. Dan masih banyak lagi keinginannya. Matanya sudah memanas dan ingin menangis. Mengapa Laura jadi cengeng bila sedang berhadapan dengan Arvin?dan sekali ia berkedip saja,matanya akan mengeluarakan air mata.

"Kamu nangis?Ra,yaampun." Arvin membawa Laura ke dekapannya. Dan Laura,ia menumpahkan semua air matanya ke dada bidang pria yang bernama Arvin itu.

Mengapa Laura sangat mudah menangis?mengapa Laura begitu lemah hanya karena Arvin meminta maaf kepadanya?Atau mungkin,Arvin memang benar-benar tulus sehingga membuat hati Laura tersentuh.

"Kamu sekarang gak sendiri,ceritain apa yang ingin kamu ceritain. Tapi,kalo menurut kamu itu emang gak pantes orang lain tau,coba deh curhatnya Sama Allah. Aku yakin,kamu bakal tenang dan rahasia kamu,pasti akan di jaga rapat-rapat sama Allah."

Arvin benar. Ia hanya perlu bergantung pada Tuhan.

"Gue mau pulang." hanya tiga kata itu yang terlontar dari bibir Laura.

"Oke,aku antar kamu pulang ya. Sebentar,aku ambil ponsel kamu."

Arvin kemudian melepaskan pelukannya dan diam dulu untuk beberapa saat di hadapan Laura. Ia menghapus sisa-sisa airmata yang ada di pipi Laura. Lalu,ia pergi ke kamar dan mengambil ponsel Laura yang saat itu tertinggal.

Tak lama,Arvin sudah kembali dan mengulurkan tangannya kepada Laura untuk membantunya berdiri. Dengan penuh keyakinan,Laura menerima uluran tangan itu.

"Nih,ponsel kamu." Kata Arvin memberi ponsel milik Laura.

"Makasih." balas Laura.

Kemudian Laura bangkit dari duduknya,lalu berajalan mendahului Arvin menuju keluar Apart pria tampan itu. Sepanjang perjalanan menuju parkiran,mereka sama-sama diam. Laura maupun Arvin sama-sama bingung,tak tau harus membicarakan apa. Dan sampai di mobil,Laura juga masih diam. Dan Arvin rasa,ia juga tak punya hak apapun untuk memulai pembicaraan. Tapi,kalau terus berdiam seperti ini,Arvin tak akan tahu di mana rumah Laura,Astaga.

"Ra,aku gatau loh rumah kamu di mana." Kata Arvin.

"Jalan lurus aja,nanti di depan ada persimpangan tiga,kita ambil kanan." Setelah mengatakan itu,Laura kembali diam tak membuka suara.

Dan sekarang,Arvin dan Laura sudah sampai tepat di depan kostan Laura. Sebenarnya,ia tadi ingin mampir sebentar ke Panti Asuhan Iriana tapi ia pikir ini sudah larut malam. Jadi,Laura memutuskan untuk langsung pulang saja ke sini. Mungkin,esok pagi ia baru akan kembali ke sana.

Sekeping CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang