Prologue.

86 9 0
                                    

Diana gugup, sembari melangkah pelan ke pinggir peron itu, dan memandang sekitarnya. Ini adalah pertama kalinya ia akan masuk asrama, dan ia akan masuk ke salah satu sekolah asrama terbaik di dunia. Nama sekolah itu adalah Elements International Boarding School, berada di South Klevarge, tepatnya pulau Kleyern. Dan menuju sekolah itulah, kereta ini berangkat.

Sebuah tangan menyentuh pinggangnya, membuat gadis berambut coklat itu berbalik, mendapati saudari kecilnya, Lily. Di belakang gadis itu, orang tuanya melangkah arahnya, menatapnya dengan tatapan sedih dan haru. Sudah susah payah untuk ia dan keluarganya mendaftarkannya ke EIBS, mungkin manfaatnya kelak akan setimpal.

"Kak, nanti kalau pulang, bawa oleh-oleh, ya! Jangan buat aku merindukanmu dengan sia-sia!" gerutu Lily, membuat Ibunya, Mrs. Devon terkekeh pelan memandang putri kecilnya.

"No promises," senyum pelan Diana, menatap adiknya itu. Entah bagaimana, walau sulit mendaftar, sepertinya tidak sedikit siswa dan siswi Boarding High School di sini, ia bisa melihat banyak tidak terlihat sebegitu berbeda dengannya. Awal semester akan dimulai dalam dua hari, Diana belum bisa membayangkan bagaimana pengalaman barunya kelak!

"Jangan gugup sayang." Diana mendongkak memandangi ayahnya, Mr. Frank Devon, tersenyum ke arahnya. "Di EIBS tidak seburuk itu, jika kau melakukan kesalahan, hukuman mereka biasanya mendidik, tidak usah khawatir."

"Justru karna itu aku berharap tidak melakukan kesalahan," bisiknya lirih, membuat Ayahnya menggeleng pelan. Ia mengingat pengalamannya dulu masuk ke EIBS, saat itu ia Elementary board, masih di umur enam tahun. Satu-satunya kesalahan yang benar-benar dilakukannya di EIBS adalah melupakan hobinya di sekolah, dan melakukan hal lain untuk sumber kehidupan. Bukan salah sekolahnya, tapi salah dirinya sendiri.

"Jangan khawatir, EIBS itu akan membantumu mencari jati dirimu, kau tidak perlu takut."

Diana pun melangkah pelan, memandang sekitarnya dan melewati kompartemen-kompartemen yang sudah berisi. Sembari menggenggam tas kecilnya, Diana akhirnya berhenti di sebuah kompartemen yang berisi seorang pemuda seumur dengannya. Karena ia tidak punya pilihan lain, ia memutuskan untuk bergabung dengan pemuda yang tengah membaca buku itu.

"A-apa boleh, aku duduk di sampingmu? K-kompartemen lain sudah ada isinya, dan k-kebanyakan d-dari mereka sudah s-saling k-kenal," ucap gadis itu dengan menggigit bibir bawahnya. Pemuda itu menggunakan sebuah kaca mata, namun tidak menutupi mata biru safirnya, dan kulit putihnya.

"Oh, silahkan." Pemuda itu menggeser tempat duduknya, memberikan ruang untuk gadis itu duduk di sampingnya. Dengan canggung, Diana itu meletakkan tas tentengnya di bawah tempat duduk. Setelah menyamankan diri di samping pria itu, Diana menatap ke sekitarnya. Kereta bahkan belum berjalan. Karena tidak terbiasa akan keheningan, Diana berpaling ke teman yang akan menghabiskan perjalanan bersamanya.

"Hai, n-namaku Diana, Diana Devon," ucapnya, mengulurkan tangannya. Pria di depannya memperhatikan Diana sesaat sebelum mengangkat alisnya, ketika memastikan bahwa dia tenang, pemuda itu menjabat tangan Diana.

"Brian, Brian Schmidt," ujarnya, dijawab dengan anggukan Diana. Gadis itu memandangi Brian dengan senyum lembutnya, dan berusaha melihat isi buku Brian.

"B-buku apa itu?" tanyanya, dijawab dengan tatapan bingung Brian. Barangkali karena jarang ia menemukan seseorang tertarik dengan bacaannya.

"Ini? Oh, ini adalah buku yang diberikan oleh pemandu panti, ia bilang aku akan memerlukannya agar tidak tersesat. Ini buku tentang EIBS, jadi aku tidak perlu berpikir dua kali untuk membawanya." Sejenak gadis itu mengangguk paham, dan diam, sebelum akhirnya ia bertanya lagi.

"Apa saja yang... kau dapat dari sana?"

"Beberapa info umum penting, seperti, nama guru, denah ruangan, dan daftar eskul. Apa kau tidak mau baca?" tanya Brian, membuat Diana menggerakkan pundak.

"Aku tidak mempunyai bukunya.... mungkin aku akan mendapatkannya nanti," ucap Diana. Belum mereka berbicara lagi, seorang perempuan membuka pintu kompartemen. Rambutnya hitam dan wajahnya hitam, ia menggunakan sebuah kacamata dan rambutnya diuraikan sampai pundaknya.

"Boleh aku bergabung? Seharusnya aku bersama anak panti yang lain, namun mereka penuh."

Keduanya mengangguk sejenak, dijawab oleh senyuman perempuan itu. Ia duduk di seberang keduanya. Gadis itu kini merapikan tasnya dan menatap jamnya.

"Kita akan berangkat dalam dua puluh menit, can't wait," ucapnya pelan sebelum memasukkan lagi jam tersebut. Diana dan Brian menatap satu sama lain, gadis ini aneh. Gadis itu akhirnya mengalihkan perhatiannya dari tasnya ke arah Brian dan Diana.

"Hai, aku rasa kita belum berkenalan. Namaku Velinda, Velinda Robinson dari panti D'Amour, Paris," ucapnya, mengulurkan tangannya ke arah keduanya.

"Brian Schmidt, dari panti Jordens Lys, di Tolga," ujar Brian, membuat keduanya menoleh ke arahnya dengan bersamaan.

"Di mana?"

"Tolga, Forollhogna, Norwegia. Daerah kami tidak terkenal, kebanyakan ladang tandus dan tempat terbelakang, tapi panti kami memiliki banyak supportive dan aku berhasil menjadi salah satu yang didaftarkan ke sini," ucapnya menjelaskan, membawa senyum paham ke keduanya.

"Bagaimana denganmu, Diana? Kau dari mana?" tanya Brian kepada Diana yang menatap keduanya.

"O-oh... well, a-aku berasal dari Amerika, w-walau aku tinggal d-di California, ayah sering pergi k-ke New York, pusat b-bisnis mereka ada di s-sana," jawab Diana, membuat keduanya mengangguk, walau tidak sebegitunya mengerti maksud gadis itu.

"Bukankah kau putra Uncle Frank yang ayah ceritakan?" Ketiganya berbalik, mendapati seorang pemuda dengan pakaian orang berada memandangi mereka. Diana mengangkat alisnya, siapa ini?

"Hai, namaku Albert Keynes, ayah mengatakan bahwa putri dari Uncle Frank akan masuk juga. Aku bisa mengenalimu dalam sekali tatapan bahwa kau putrinya," ucap pemuda itu, menjabat tangan Diana, Brian, dan Velinda.

"Lalu...?" tanya Velinda, kurang mengerti lagi. Sepertinya ia akan sulit mengerti dua teenager ini, Diana dan Albert.

"Well, dalam kata lain ayah mengatakan bahwa ingin aku menjagamu dari jauh." Lalu Albert mendekati telinga Diana, membuat dua orang di depannya menatapnya aneh, sementara Diana menjauh. "Sepertinya ia ingin aku mengawasi putri dari brother-in-law-nya dengan baik."

"Jadi kalian dapat beasiswa?" tanya Diana berusaha mengalihkan perhatian dari kesuraman ala Albert, dijawab dengan anggukan Brian dan Velinda. Keduanya memang terlihat sangat pintar, Diana tidak kaget akan itu.

"Kalau begitu, mari berharap guru tidak memisahkan siswa siswi beasiswa dan siswa siswi berada, agar kita tidak beda asrama," ucap Diana penuh harap.

"Tidak untuk menghancurkan impianmu, DD, tapi menurutku, sistem asramanya tidak akan seperti yang kau inginkan," ujar Albert sembari memainkan bola basket dari tasnya, sembari menyamankan diri. Sementara itu, Velinda yang duduk di sampingnya berkacak pinggang kesal.

"Albert Keynes."

"Iya, VR?"

"Sopan sedikit kek, sama perempuan. Lagian, itu seragam benerin dong, kerahnya di lipat, kaus kakinya di tarik, dan dasinya di pasang. Kita sudah mau berangkat!" serunya membuat Albert menatapnya datar, sebelum melakukan apa yang Velinda minta. Bahkan gadis itu tak perlu berpikir dan bertanya-tanya dari siapa pemuda ini mengetahui namanya.

"Nenek lampir," bisiknya kesal, membuat Velinda memukuli pundaknya dengan geram.

Aku gugup ngupdetnya... ini cerita Fantasy pertama yang aku updet, semoga para pembaca suka.

Cyaaaa
~Snow
PEACE!

6th May 2017. First published.
2nd Desember 2018. Last published.

(Selesai ditulis ke Wattpad. 12 April 2018 (tengah2 persiapan UN))

The Immortality CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang