First Chapter : New Place

36 6 0
                                    

Langkah Diana perlahan tapi pasti, menuju ke arah asrama Es, asrama tempatnya tinggal. Ia baru selesai membaca pembagian asrama, dan betapa ia menyadari bahwa perkiraannya salah. Asrama Api dikhususkan untuk siswa dan siswi beasiswa, Asrama Angin teruntuk untuk siswa dan siswi biasa, Asrama Tanah untuk siswa dan siswi misterius namun berprestasi, dan Asrama Es untuk siswa dan siswi berada.

Ia mendengar bahwa ia akan sekamar dengan seorang gadis bernama Queenie Kings, asalnya dari Washington. Tidak sebegitu jauh dengan California, kan? Betapa Diana tidak sabar untuk bertemu dengan gadis itu!

Tok! Tok! Tok!

Karena sang pintu tak kunjung terbuka, Diana masuk, mendapati seorang gadis tengah menggambar dengan sketchbook bersampul pemandangan. Ia baru akan mendekati gadis itu untuk menatap apa isi gambar Queenie dan menjawab rasa bertanya-tanya di benaknya, ia dihentikan.

"Bukankah jahat untuk mengintip sebuah karya seni sebelum karya itu bahkan belum selesai?" Diana terdiam, sementara ia menggigit bibirnya di bagian bawah. Tak ingin mengatakan apa-apa lagi, Queenie berdiri, dan meletakkan sketchbooknya. Gadis itu melangkah ke luar, dan meraih bola basket di tangannya, meninggalkan Diana sendirian di ruangan itu.

'Meanie..' batinnya lirih, sembari melangkah ke arah kasurnya sendiri.

;:;

Lain halnya dengan Diana yang baru mengenal teman sekamarnya, Albert, justru kini tengah bersenang-senang bersama teman sekamarnya. Musik rock simple dimainkan dengan kencang, tidak memperdulikan orang yang akan melewati kamar mereka. Nama teman sekamar Albert adalah Zack Marden, putra dari pengusaha teman kerja ayahnya, mereka sering bertemu ketika ada acara bisnis, sejak sudah menjadi tradisi anak laki-laki tertua dibawa ke acara bisnis.

"Jadi... ikut enggak?" tanya Zack, sembari melempar bola basket milik Albert yang berada di daerahnya. Pemuda itu menangkapnya dengan malas dan menyimpannya ke bawah meja, dengan tasnya sebagai tambal. Seharusnya ia membawa tas untuk basketnya, sayang ia tadi memilih untuk mendesaknya dengan tas yang lain, agar sang ayah tidak tahu.

"Ikut apaan?" Albert mengangkat alisnya, ia tidak ingat Zack mengatakan sesuatu tentang pendaftaran ikut atau tidak.

"Ngeband. Aku tadi di kereta bertemu dengan beberapa anak, mereka punya selera rock yang bagus, dan kudengar dari salah satunya, bahwa di ruang musik bangunan tengah, memiliki alat musik yang lengkap. Aku ingin menggunakannya, mau?"

"Hm..." Pemuda itu menumpukan dagunya di tangan, menatap pemuda itu dengan bimbang. "Lihat jadwal baruku aja entar, kamu kan tau sendiri aku gak bisa ngatur jadwal jika gak ada me-timenya, jadi aku mau lihat jadwalku di EIBS dulu, baru aku jawab."

Zack mengeluarkan bunyi tawa yang di tahan. Ia mengerti benar apa maksud Albert, ia ingat di pertemuan bisnis tahunan, tahun pertama ayahnya berhasil mengajaknya ikut. Mr. Keynes menyapa ia dan ayahnya dengan ramah, namun Albert menyapanya dengan pakaian badut. Konon katanya, Albert diminta untuk menyamar menjadi badut hanya untuk memberikan kejutan pada seorang gadis yang konon katanya ia sukai, hanya saja, bukannya penerimaan yang didapat, sebuah tamparan menyengat membuatnya menyebalkan malam itu.

"Ya sudah, aku pergi dulu." Zack berdiri, membuat Albert menatapnya bingung.

"Ke mana?"

"Berjalan-jalan di sekitar bangunan, dalam dua hari kita akan berkegiatan sepenuh hati, siapa yang akan memberikan kita waktu berkeliling?"

Albert mengangguk, membuat Zack melangkah keluar dengan topinya. Daripada memilih untuk membuang waktu, Albert meletakkan kepalanya di atas kasur, sembari berpikir apa yang akan terjadi di masa depannya. Lagipula, orang tuanya menaruh terlalu banyak keyakinan di pundaknya, setelah ia diterima di EIBS. Ia tidak bisa membayangkan wajah kecewa ayahnya dan wajah bangga ibunya ketika ia tidak mendapatkan nilai tertinggi, melainkan nilai pas-pasan.

The Immortality CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang