Third Chapter : The Attack

18 4 0
                                    

Hari pertama mereka untuk belajar akhirnya tiba, Brian dan Diana sering menghabiskan waktu bersama, setelah jogging itu. Velinda dan Albert sering mengikuti keduanya, untuk mengenal asrama lain, katanya. Selain mengenal asrama lain, Albert sering meminta Velinda menjadi tutornya dalam mata pelajaran yang ia tidak suka, dan tidak mengerti. Walau mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama, Zack sering nimbrung diantara mereka, membuat Velinda merasa kurang nyaman.

Gadis itu merasakan arti tertentu dari tatapan Zack, seperti sebuah rahasia tergelap. Tak ingin memikirkannya dengan lebih jauh, Velinda sering kali menghabiskan waktunya di perpustakaan, memakan waktu bersama Brian yang sudah seperti arwah penunggu di tempat itu.

"Pagi Diana," sapa Brian, saat duduk di kursi samping Diana. Gadis itu mengangguk, dan tersenyum ramah, membuat kedua temannya yang duduk di seberang mereka menatap satu sama lain. Apa mereka merupakan pasangan?

"Heh, cuma Diana doang yang di sapa." Brian mengangkat tatapannya ke Albert, yang melanjutkan ucapannya. "Aku kagak? Jahat banget sih, BS."

Brian menghela napasnya dan memutar bola matanya, membuat Albert terkekeh dalam hati.

"Biarin aja, sih, Al, mereka kan lagi..."

"Lagi apa?" tanya Diana dengan polosnya, menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Velinda menutup mulutnya, menyamarkan tawanya dengan batuk. Albert menyeringai ke arah Velinda, karena jarang-jarang Linda melakukan atau memikirkan hal yang sama dengannya.

"Sudah, sudah, cepat habiskan sarapan kita. Apa jadwal pertamamu, Diana?" tanya Albert, membuat Diana membuka telapak tangannya. Gadis itu menuliskan jadwalnya di telapak tangan tanpa takut akan terhapus. Untuk sementara, katanya.

"Fisika, bersama Madame Foxtrot." Brian tersenyum ketika mendapati bahwa jadwal mereka sama.

%%%

"Pagi kelas, nama saya Madame Liliana Foxrot," ucap wanita itu, rambutnya pirang dan matanya biru. "Saya adalah guru Fisika kalian, sekaligus penjaga perpustakaan membanggakan kita, aku harap kita bisa berkenalan dengan baik."

"Pertama, karena ini adalah hari pertama kita, saya ingin kenal kalian. Jadi, kita akan berkenalan dengan satu persatu. Sebutkan nama lengkap, panggilan, dan asal kalian, paham?" tanyanya, membuat sebagian kelas menjawabnya dengan kata-kata 'siap!'

Perkenalan dimulai dari belakang, dan Madame Foxtrot menyapa mereka sebelum lanjut ke teman mereka yang ada di samping. Diana menatap ke arah belakang ketika menyadari suara siapa yang menjadi giliran.

"Nama saya Queenie Kings, dipanggil Queen dan Queenie, dan saya dari Washington." Queenie berdiri, dan mengenalkan dirinya. Baru Madame Foxtrot menjawab ucapannya, seorang anak laki-laki dari asrama Angin yang dikenali sebagai Nicholas Narcisse, memotong.

"Nama Queenie tapi kok jadi Kings, cewek atau cowok sih?"

Hampir sekelas tertawa, namun Brian dan Diana menatap satu sama lain bingung. Apakah yang lucu dari perkataan Nick? Baru Nick akan mengatakan apa-apa lagi, suara lain menghentikannya.

"Diamlah, Narcisse, atau aku sendiri yang akan membuatmu diam," ancam Zack Marden, membuat Nicholas menurut. Ia kenal benar siapa Zack, selain ayahnya merupakan bos orang tua Nick, Zack terkenal sebagai orang yang menepati sumpah, janji, dan ancamannya. Ia tidak bisa membuat perkara selama di depan Zack, itu yang pasti.

"Salam kenal, Queenie, senang bertemu denganmu." Madame Foxtrot terus melanjutkan perkenalannya, sampai dimeja Diana dan Brian.

"Nama saya Diana Devon, dari California, Madame," ucap Diana tersenyum, membuat sang guru mengusap kepala gadis itu sebelum mengalihkan tatapannya ke arah Brian.

"Madame, anda mengenal saya, saya setiap hari mampir ke perpustakaan," ujar Brian, membuat Madame Foxtrot memutar bola matanya.

"Tidak peduli, Mister, semua orang berlaku. Perkenalan diri."

Brian menghela napasnya sebelum berdiri.

"Madame, nama saya Brian Schmidt, dan saya berasal dari Norwegia."

"Mudah kan, Brian?" tanya Madame Foxtrot, membuat pemuda itu menatap sang guru dengan datar.

"Baiklah, semua, mari kita-"

Perkataan Madame Foxtrot, terpotong ketika sebuah bunyi peringatan yang kencang menggetarkan sekolah dari seluruh sisi bangunan. Wajah gurunya itu, awalnya terlihat tenang ketika menghitung banyak bunyi dari bel itu. Ketika banyak bel mencapai sepuluh, dan sebuah teriakan kencang dari luar terdengar, wajah tenang itu berubah menjadi pias dan panik dalam seketika.

"Semuanya, kalian turun! Kumpul di lapangan!" Atas perintah dadakan itu, semua siswa dan siswi berlarian. Entah apa yang terjadi, tidak banyak yang tahu, Diana yang tak bisa melakukan apa-apa kecuali berlari, mengikuti Brian menuju lapangan.

"Apa yang terjadi?" tanya Brian pada salah seorang siswa di dekatnya, dari pakaiannya, siswa itu dari asrama tanah. Bukannya menjawab, siswa itu memandang ke arah bangunan seakan memperhatikan sesuatu. Brian mengguncang pundak siswa itu, yang justru terdiam. Diana yang merasakan sebuah kejanggalan, menatap ke arah yang sama, mendapati dua orang tengah melayang dan melawan seseorang bertudung dengan pedang di lantai dua. Brian yang merasakan keanehan Diana dan siswa asrama tanah itu menatap ke arah bangunan yang sama dengan keduanya, mendapati ruang kosong.

Diana memperhatikan ketiganya dengan aneh. Dua orang yang tengah melayang itu, seakan menginjak sesuatu di udara, dan terdesak, sementara orang yang bertudung itu meluncurkan serangan dengan pedang yang sering beralih fungsi sebagai perisai. Kedua orang tadi terlihat tidak nyata, pakaiannya putih, dan kulitnya biru, namun matanya merah menyala. Sementara yang bertudung, wajahnya tak terlihat sama sekali, yang dapat diketahui hanyalah ia fleksibel, cepat bergerak, and very much real.

Sampai saat dua orang tadi benar-benar terdesak, dan menghilang, meninggalkan orang bertudung tadi, dan benak penuh kebingungan milik Diana.

"Wow..." bisiknya terkesima, ia tidak sadar bahwa beberapa siswa asrama Tanah memandanginya kaget. Langsung saja salah satu dari mereka berlari, untuk melaporkannya kepada kepala asrama.

###

"Aku benar-benar melihatnya, bagaimana bisa kau tidak bisa?" tanya Diana pada Brian yang menghela napasnya. Albert dan Velinda hanya menatap satu sama lain, keduanya tidak berada di lapangan bagian sana saat disuruh keluar, mereka berlari ke arah aula.

"Diana, aku benar-benar tidak melihatnya, bagaimana bisa kau melihatnya sementara aku tidak?" Velinda yang menatap keduanya, berkedip. Sepertinya ia punya beberapa dugaan tentang ini.

"Ada sesuatu di pikiranmu, Velinda?" tanya Brian, membuat Velinda menatapnya. Sepertinya ia menyadari panggilan itu.

"I-iya, aku ada beberapa pikiran," jawabnya, membuat ketiganya menatapnya bingung. Velinda pun merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah buku. Judulnya adalah Death Creatures, dengan penulis dengan inisial RLC.

"Hei, aku pernah lihat kode penulis ini," bisik Brian, membuat Velinda mengangkat alisnya dan menatap Brian. "Apa? Kau sendiri tahu aku jarang memperhatikan seorang penulis kecuali itu membuatku sedikit takut."

"Apa? Aku tidak pernah menduga bisa melihat Mr. Schmidt ketakutan," celetuk Albert, membuat Diana menggeleng tidak percaya akan perkataan temannya itu.

"Sudah, sebaiknya, kita mulai mencari tahu tentang siapa mereka. Mungkin ini tidak seharusnya, tapi aku penasaran."

Brian mengangguk, mengiyakan perkataan Velinda. Mereka pun melangkah ke perpustakaan, meninggalkan Albert yang memilih untuk tinggal. Bagaimanapun, ia tidak menyukai yang namanya perpustakaan.

Heihooooooo

Kembali lagi dengan Snow!

Ini updetan part awal, masih tahap perkenalan. Ini akan punya alur yang puanjang, jadi siap-siap popcorn.

Cyaaaaaa

~Snow

PEACE!

First Published : 25/05/17

The Immortality CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang