Prologue Season 2

22 2 0
                                    

Di saat Golden Week berakhir, makin hari, hawa di luar makin terasa panas saja.

Begitu pula di saat para murid dengan banyak waktu luangnya membuat heboh hal ini, itu justru membuat hari ini menjadi terasa lebih panas dari yang mereka butuhkan.

Mungkin aku ini orang yang bisa bersikap keren dan sok kuat, tapi aku juga orang yang lemah jika menghadapi hawa panas.
Maka,dalam pencarianku mencari setitik kesejukan, aku memutar arah ke samudra yang belum terjamah.

Suhu normal tubuh manusia itu sekitar 36°C. Mengacu pada angka itu, jika dibuat berkumpul dengan orang-orang malah lebih seperti berada di tungku pembakaran ketimbang di tengah musim panas.
Bahkan orang sepertiku ini juga tak mampu bertahan dalam suhu panas yang punya kelembaban tinggi begini.

Hal yang sama juga berlaku bagi kucing.
Mereka akan mengasingkan diri ketika hawa di luar terasa panas.
Di luar hasrat kecilku untuk melawan hawa panas ini, sebenarnya aku juga ingin pergi ke sebuah tempat yang tak berpenghuni.
Yah, ini bukan seolah aku sudah tak merasa nyaman di kelas ataupun tak merasa cocok akan semuanya — sama sekali bukan begitu.
Ini adalah tindakan naluriah — atau jika mau blakblakan, teman-teman sekelasku yang tak berbuat begini bisa dibilang sudah gagal sebagai makhluk hidup.
Mereka berkumpul bersama kawanannya karena mereka lemah.
Hanya makhluk lemah saja yang tanpa sadar membentuk kelompok.
Para herbivora hidup berkelompok agar mereka bisa mengorbankan salah satu kawanannya jika sedang diserang oleh karnivora.
Dan itu tak ada bedanya dengan teman-teman sekelasku.
Dengan tampang tak berdosa, mereka asyik mengunyah rumput di saat kawanannya sedang dimangsa.Begitulah.
Hewan kuat takkan berkumpul bersama kawanannya.
Kita pun sudah tak asing lagi mendengar istilah serigala penyendiri, 'kan?

Kucing itu menggemaskan dan serigala itu keren.
Dengan kata lain, penyendiri itu menggemaskan juga keren.

Bersama dengan pikiran-pikiran tak penting yang melayang-layang di kepalaku ini, aku lanjut berjalan.
Tujuanku adalah anak tangga menuju atap.
Rutenya sudah dipenuhi oleh meja-meja yang berserakan, jadi cuma satu orang saja yang bisa muat melewatinya.

Andai ini hari biasa, pintu atap pasti sudah terkunci rapat.
Namun hari ini gemboknya telah terbuka dan bergelantungan di sana.
Kurasa ada orang-orang dari kelas lain yang sudah lebih dulu ke atap untuk menyombongkan sekaligus melecehkan diri mereka sendiri — tahu sendirilah, jika sedang membicarakan soal asap,orang-orang bodoh dan hubungannya dengan ketinggian.

Dorongan pertama yang kurasakan di saat seperti ini adalah menumpuk tiga meja dan dua kursi untuk menghalangi jalan mereka.
Seperti biasa, kemampuanku dalam mengambil tindakan memang mengesankan.

Laki banget. Kyaa! Bercinta denganku, dong.

Kemudian aku tersadar kalau di balik pintu ini terasa begitu sunyi.
Aneh.
Sejauh yang kutahu, para remaja bodoh, baik anak lelaki maupun perempuan benci dengan keheningan.
Hal sama juga berlaku bagi hewan yang takut dengan api.
Mereka menganggap keheningan sama dengan hal yang membosankan, jadi agar bisa meyakinkan diri mereka jika mereka bukanlah orang-orang yang membosankan, mereka mengobrol, mengoceh dan melantur sesukanya.
Di sisi lain, ketika mereka membicarakanku, mereka justru tenggelam dalam kebosanan dan membawa diriku dalam keheningan.
Aku bertanya-tanya sebenarnya apa maksud di balik keheningan itu

....

Tidak, bukan seperti itu — lebihbaik diam saja.

Dilihat dari keheningan ini, tampak seakan tak ada satu punriajuuyang berada di atap.
Apa mungkin memang tak ada siapa-siapa di sana?
Jika sedang sendirian, kita bisa jadi bersemangat — itulah arti dari menjadi seorang penyendiri.
Seperti itulah diriku.
Bukan berarti kita menjadi orang yang malu-malu terhadap orang sekitar atau semacamnya — itu hanyalah kepedulian terhadap sesama atau desakan untuk tak menghalangi mereka saja.

Kubongkar barikade yang baru saja kubangun tadi dan meletakkan tanganku pada pintu.
Ini ketegangan yang sama kurasakan ketika pertama kali memasuki kedai mi di stasiun sewaktu jalan-jalan dulu.
Jantungku pun berdebar-debar sewaktu meninggalkan Kota dan pergi menelusuri toko buku di Balai Kota untuk membeli majalah dewasa.

Begitulah. Karena aku seorang penyendiri, maka aku bisa mendapatkan pengalaman selangka ini.

Pemandangan langit biru yang luas dan cakrawala yang tanpa batas sudah menunggu dari balik pintu.
Atap gedung sekolah ini sudah berubah menjadi atap rumah pribadi di depanku.

Para orang kaya menginginkan mempunyai jet pribadi juga pantai pribadi dan sebagainya.
Para penyendiri yang mempunyai waktu pribadi bagi diri mereka sendiri pun adalah pemenang dalam kehidupan.
Dan itu berarti, para penyendiri sebenarnya juga punya status tersendiri.

—Berakhir Prolog 2—

Monolog Bab selanjutnya :

Hamdani dan yang lainnya sudah tidak OSIS lagi
Otomatis Risa sudah bukan ketua lagi sama halnya dengab Lily.

Tapi Mereka masih berada di klub relawan.

Lalu bagaimanakah kisahnya bersama Dian?

Dan mulailah kehidupan baru Bagi Kami.....

L2:Loner and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang