6. Move On!

908 23 1
                                    

Suara - suara kicauan burung kudengar sayup di telingaku. Sebaret - baret  cahaya mentari menyelusup masuk tanpa izin lewat fentilasi berkayu horizontal yang tertutup dengan plastik bening. Persiapan yang dibuat saat rencana Ibu untuk melengkapi kamarku dengan Mesin yang mengeluarkan hawa sejuk yang bisa di atur denga sebuah remot. Cahaya yang mendarat tepat di mataku membuat tidurku sedikit terganggu. Baru saja rasanya mataku terpejam dengan fikiran yang masuk ke alam bawah sadar. Sepertinya hanya baru sepersekian detik. Kelopak mataku berkerlip pelan, dengan jemari yang berusaha mencari sebuah benda yang tak bisa jauh dari genggaman manusia - manusia jaman sekarang. Benda yang merupakan penemuan terhebat yang membuat jam dinding kehilangan fungsi dan hanya sebagai pajangan.

Jam 6.30 pagi, tapi matahari tak mau menunggu sejenak untuk melepaskan eksistensinya di pagi hari. Aku diam masih diam, aku sudah 2 hari tidak punya keberanian untuk membuka pesan - pesan yang masuk dari telepon genggamku. Sudah dua hari juga aku memberi alasan sedang tidak ada kuliah setiap ibuku dengan cerewet bertanya kenapa. Kenapa tidak kuliah? Kenapa belum mandi? Kenapa enggak sarapan?

Hari ini aku sepakati dengan diriku sendiri sebagai hari terakhirku berkutat dengan kebodohan semu soal seorang lelaki bernama Devan. Sudah cukup kurasa, sedangkan Devan sudah bahagia. Kenapa hanya aku yang bertarung dengan perasaan kehilangan yang tidak Devan rasakan. Aku merebahkan lagi kepalaku di bantal yang sudah aku semprotkan dengan cairan aroma terapi berbau lavender yang mirip dengan aroma obat anti nyamuk bertekstur cream. Nyaman sekali baunya untukku walaupun adikku yang masih kecil tapi sok dewasa itu tidak menyukainya. Aku cek HP ku setelah dua atau tiga hari aku tidak lagi melayani pelanggan sepatu onlineku. Bagi seorang penjual online respon yang tidak cepat sama saja berarti perjalanan cepat menuju fase gulung tikar. Memang aku suka fashion suka sekali tapi cita - cita ku tidak sebatas menjadi pengembang bisnis fashion orang lain, aku punya mimpi sendiri sebagai seorang fashion desainer yang dengan kemampuan kuliahku sekarang dengan jurusan manajemen pemasaran akan menjadi pelengkap yang cocok dengan cita - citaku. Mungkin untuk masalah fashion aku akan mengambil kursus desain atau jahit. Mungkin nanti saat hatiku sudah lebih punya waktu selain memikirkan hal - hal tidak penting seperti beberapa minggu menyedihkan ini. Sudah cukup!!

Aku menemukan chat dari Riza entah urutan beberapa pesan diantara banyaknya pesan yang mendesak masuk walupun tidak diperdulikan.

DeniaP : Hi Riza.. :)

Kukirim pesan singkat itu sebagai balasan dari banyak pesan yang terakhir dia kirim hari minggu pagi. Pesan - pesannya yang berisi kerisauan atas ketidak jelasan sikapku yang tiba - tiba pergi dengan panik di malam minggu. Mungkin banyak pertanyaan beseliweran di fikiran belianya. Hal yang mestinya tidak menjadi tugasnya. Aku kira dia akan melontarkan begitu banyak pertanyaan saat membalas pesanku nanti. Pertanyaan yang kemudian akan malas aku jawab. Tetapi saat pesannya kembali masuk.

Riza Valdo : Wooiii.. Pulang sekolah temenin ke mall yuk?

Ternyata dia menjawab dengan hal yang jauh dari fikiranku. Fikiran yang menggenapi drama - dramaku. Hahaha. Aku tertawa dalam hati. Ini sangat berbeda saat aku memulai sesuatu yang istilahnya 'pedekate'. Saat kau telat membalas pesan dari seorang yang disebut 'gebetan' maka itu sama artinya dengan 'slow respon' bagi penjual online. Ini anak sekolah niat pedekate atau apa sih, batinku begitu saat itu. Tapi ke mall membeli es krim, makan makanan manis, main di mesin yang hidup setelah dimasukkan koin terdengar mengasyikkan. Aku memang butuh bersenang - senang, sangat butuh.

DeniaP : Oke.. Jemput enggak?

Riza Valdo : Mau dijemput?

DeniaP : Enggak..

Riza Valdo : Yeee.. mbak bikin seneng sesaat

DeniaP : Hahhaha,, ketemu disana ya, Jam brp?

10 YEARSWhere stories live. Discover now