Hujan turun tiba - tiba sesaat setelah aku sampai rumah. Sudah sekitar jam tiga, dan aku rasa aku melakukan hal yang benar - benar bodoh dengan meninggalkan begitu saja Riza yang kebingungan. Aku tinggalkan dia dengan wajah tampan kebingungannya. Dia tetap tampan kalau saja bukan karena kebodohanku aku tidak akn begitu saja meninggalkan dia tanpa berbicara apa - apa. Aku menyesal sedikit, tetapi aku tentu saja tetap cemburu dengan wanita yang dekat dengannya. Riza itu milikku, jangan dekati dia. Aku terlalu sayang padanya.
Aku rebahkan badanku pada kasur degan seprai pink, dan bau lavender. Aku suka baunya, menenangkan. Tapi pikiranku selalu ke Riza, antara marah dan bersalah, perasaan yang bercampur baur. Mengharapkan Riza meminta maaf bahkan dia tidak tahu salahnya apa. Biarlah aku yang bodoh ini bergulat dengan kebodohanku beberapa saat.
"Deniaaaa...!!!"
Baru saja aku mencoba melelapkan otakku. Tetapi ada suara yang terdengar dari gerbang yang memang aku kunci. Aku malas, sangat malas aku lebih baik tidur fikirku anggap saja tidak ada orang dirumah.
"Denia!!! Denia!! Aku tau kamu di dalam. Aku enggak akan pulang sebelum kamu bukain pintu."
Suara itu semakin jelas.
"Aku hujan - hujanan sampai kamu keluar!!"
Itu suara Riza, benar itu suaranya. Hujan turun dengan lebat tapi suaranya tidak mungkin aku salah. Riza di depan rumahku, di bawah hujan yang enggan turun pelan - pelan.
Aku berhambur cepat dari kasurku, berlari kearah depan, hilang sudah rasa marah, hanya tinggal rasa bersalah.
Riza di depan gerbang yang terkunci dia tersenyum padaku dalam keadaan basah kuyup. Matanya hampir tidak bisa terbuka karena di tetesi oleh hujan yang dengan refleksnya matanya akan selalu berkedip. Riza masih dengan baju yang tadi dia pakai di Sekolahnya. Tanpa apa - apa kecuali dengan sebucket bunga besar di tangannya.
Aku berlari dengan membawa kunci dan payung hitam ke arahnya.
"Tidur ya yang?" Kata pertamanya saat aku meraih gembok dan meraih kuncinya, dia dengan senyuman dan suara sedikit manja.
"Hampir." Jawabku. "Kamu kenapa dateng hujan - hujan nanti kamu sakit."
"Kamu yang kenapa?" Kata Riza setelah gerbang aku buka dan aku payungi dia, sekarang mukaku jadi sangat dekat dengan Riza.
"Maaf.."
"Aku yang minta maaf, hatiku lebih sakit daripada sakit yang mungkin nanti karena kehujanan. Hatiku sakit kalau aku nyakitin kamu." Riza menyodorkan bunga di tangannya. "Buat kamu walaupun enggak seindah senyuman kamu."
Aku hampir meneteskan air mata. Dia bahkan tidak tahu salahnya apa. Tap, dia tidak marah atau menyalahkan aku. Dia,, Aku bingung mau berkata apa untuk menjelaskan keadaan Riza saat itu. Aku meraih bunga ditangannya kemudian Riza mencium keningku. Apalagi yang aku butuhkan selain dia. Dunia ini sudah sempurna.
"Udah marahnya? Udah maafin?" Katanya lagi sambil mengelus kepalaku.
Aku mengangguk sambil melihat wajahnya yang tertetesi air yang jatuh dari rambutnya yang basah.
"Senyum dooong."
Aku melemparkan senyum termanis yang bisa kuberikan untuk dia. Baiklah sekarang semua kekesalan ku sudah pergi entah kemana, mungkin ikut mengalir seperti air di jalan yang masuk ke selokan.
"Aku balik yaa..."
"Hujaaan.." Jawabku sedikit merengek karena aku masih rindu dia. Iyaa, semakin rindu. Walaupun dia tepat ada di depan mataku.
"Aku ditungguin guru beres - beres pensi yaang. Entar aku kesini lagi yaa.. Kangenin aku yaaa."
Dia langsung naik ke atas motornya di saat hujan masih enggan untuk berhenti berjatuhan. Aku melihat punggung tegap dan bidangnya dengan rasa kerinduan dan aku tidak mau mengecewakan dia. Aku tidak mau. Kalau aku bisa.
****
Kampus yang dulu membosankan menjadi lebih menyenangkan sekarang. Kampusnya tetap sama hanya perasaanku yang berbeda. Semalam Riza datang hanya sebentar, tidak sampai setengah jam. Tapi aku rasa bukan maslaah kuantitas tapi kualitasnya. Melihatnya saja cukup membuatku tenang.
"Deniaaa.." Seseorang memanggilku di kantin yang sedang ramai. Aku sedang duduk dengan 2 temanku di kantin. Aku menoleh dan melihat Yudhis.
Yudhistira Anggawan mantan ketua BEM yang saat itu menjabat saat aku baru masuk kuliah. Dulu aku sangat mengagumi dia. Dia ganteng, keren, cool, pintar, ramah dan cocok sekali menjadi idola. Aku suka dia sebelum pacaran dengan Devan, tetapi waktu itu aku masih culun dan Yudhis pacaran dengan Ratu Fakultas ku. Yang paling cantik menurut kaum dengan jenis kelamin laki - laki di kampusku. Karena sebab itulah dia yang sebenarnya mahasiswa fakultas kedokteran suka mampir ke fakultas ekonomi.
"Iyaa, bang?" Aku membalik arah dudukku, untuk menghormati dia yang salah satu senior yang berpengaruh di kampusku.
"Gue mau ngomong bentar."
Mau tidak mau aku ikut dia karena memang tidak bisa menolak dan mungkin memang dia punya urusan penting yang harus dengan bantuanku.
"Kenapa kak?" Tanyaku.
"Kamu punya acara nanti sore?" Dia berbicara dengan serius. Aku memikirkan apakah ada rencana atau tidak, karena sepertinya hal ini penting.
"Enggak ada sih ka."
"Nanti ikut aku ya, tunggu aja di parkiran nanti sama aku."
"Penting banget?" Tanyaku lagi.
"Iyaaaa, begitulah pokoknya tunggu di parkiran.
"Iyaaaa."
Dia pun berlalu dan pergi bersama teman - teman dokternya. Sebenarnya dia sudah Koas, seharusnya dia lebih banyak berkeliaran di Rumah Sakit daripada di Kampus, mungkin memang ada urusan penting.
Aku menunggu di parkiran sesuai permintaan Yudhis. Sebenarnya aku malas. Tapi ya sudahlah senior katanya selalu benar.
Mobil Toyota Yaris berwarna hitam berhenti di depanku. Kacanya terbuka, dan di dalamnya Yudhis sudah ada di kursi kemudi.
"Masuk Denia." Katanya.
"Ada apa kak? Di luar sini aja."
"Urusannya bukan di sini Denia. Masuk."
"Memangnya apa kak?"
"Yaudah masuk aja dulu."
Aku masuk pelan - pelan, Aku pegang HP ku kalau - kalau ada apa - apa aku akan langsung menelpon Riza.
Yudhis menyalakan mobilnya, dan memacunya keluar dari kampus. Kenapa aku bisa keluar dengan orang lain saat Riza hanya tahu aku sedang kuliah. Apa aku harus bilang aku pergi dengan seorang pria? Tapi aku takut dia marah. Walaupun dia tidak pernah marah, tapi aku tidak mau.
Mobilnya berhenti di depan Kafe yang ramai. Tidak jauh dari kampus, Tempat anak - anak gaul kampusku sering nongkrong.
"Sudah sampai Denia. Turun." Katanya.
Aku kesal sekali, kesal sekali. Hilang sudah tiba - tiba semua kekagumanku yang dulu. Aku bukan siapa - siapa dan dia menyuruhku macam - macam. Oke baiklah aku akan pulang sendiri nanti. Saat ini aku hanya sendiri dan dikelilingi teman - temannya. Melawan bukan pilihan yang tepat saat ini.
Aku turun dan mengikuti dia ke meja yang mungkin dipenuhi dengan sekitar 10 orang teman - temannya.
"Siapa Yud?" Kata teman satunya.
"Gebetan baru?" Ledek yang satunya.
"Bukan.... mungkin sih."
"Jangan kasih lolos broo." Kata temannya sambil melihatku lagi.
"Berat, udah ada cowoknya dia." Kata Yudhis dan aku langsung diam, bingung seribu bahasa darimana dia tahu? Kenapa aku kesini? Riza kamu dimana? Aku mau kamu sekarang.

YOU ARE READING
10 YEARS
Romance"Umur kamu 32 tahun. Benar kataku dulu, kita akan menikah saat umurmu 32 tahun." kata Riza. Aku hanya menangis saat itu. Saat dia melamarku. Saat aku sudah menghabiskan beberapa tahun dalam siksaan batin yang dalam. Dia datang lagi, sesuai rama...