Sembilan nyawa

140 44 61
                                    

Sembilan Nyawa

Pernah kah kau berpikir kawan, betapa hidup ini sungguh jauh dari kata seimbang. Aku yakin, kata-kata itu selalu jadi petuah Si Malang yang tak tertanggungkan lagi perjuangannya. Untuk para pejuang yang selalu percaya dirinya punya sembilan nyawa. Itulah yang alam ajarkan padaku. Semangat sembilan nyawa. Yang akan ku ajarkan padamu juga. Betapa semua dari kita harus punya kekuatan yang lebih dari sekedar luar biasa.

Sepikul lengan sebisa badan penuh ku tanggung segenap perjuangan, sejak nafas pertama kali aku hembuskan. Hingga sekarang rasa nafas yang makin terasa berbeda di tiap-tiap hembusan. Ya, hidup itu memang harusnya tak seimbang. Semua harus tampak sedikit pincang agar bisa kau bedakan mana yang sempurna dan mana yang punya cacat cela.

Tapi percayalah, ada satu titik balik yang akan membuat kalian menoleh ke belakang sambil tersenyum seraya berkata "terima kasih Tuhan". Terima kasih sudah mematahkanku agar aku menjadi kuat. Terima kasih sudah menjatuhkanku agar aku jadi lebih hebat.
                                                                ***
Kala itu aku sedang melawan ombak sejengkal lebih dekat di depan mataku. Angin yang satu per satu bersambut meriuhkan gendang telinga. Sekali dua kali ombak hampir menenggelamkan haluan perahuku. Aku tak tau alasan apa yang mampu membuat perahu lapuk ini tetap terapung. Aku berani bertaruh, Archimedes sang penemu hukum gaya apung pun sulit menjawab keajaiban tersebut.

Aku berdiri dengan kaki setegak dan seteguh kuda-kuda Si Badang. Mataku bersimbah dengan banyak air laut. Tak sedikit memedihkan mata, tak sedikit membuat perih semua goresan luka. Sesekali kilat menyambar sahut menyahut bergantian dengan suara guruh gemuruh. Malam itu, rasanya tak mungkin untuk bisa pulang dengan selamat. Tak ada satu pun perahu lain terlihat di sekelilingku, yang tampak saat sekali pandang ketika kilat menyambar hanya beberapa pulau jauh.

Jaring yang sudah terentangkan panjang di laut kini bergulung bercampur aduk melilit. Aku punya dua pilihan. Memotong jaring itu lalu membiarkannya hanyut dan hilang atau memaksa menariknya di tengah badai amukan gelombang angin barat dan setelahnya berharap tak dihanyutkan lebih jauh lagi.
Namun setelah beberapa gelombang yang setiap datang selalu mencoba menenggelamkan buritan perahu aku merasa kedua pilihan tersebut tak ada bedanya. Tak ada yang menjamin aku bisa pulang selamat.

Jaring ku ikatkan pada perahu. Membiarkannya hanyut di bawa arus gelombang ke arah barat. Aku tak lagi mampu membaca arah. Cahaya kilat pun tak memberikanku pandangan yang cukup jelas ke mana arah pulang. Atau sebenarnya aku mungkin akan belajar arti kata pulang sesungguhnya.

Aku kuyup. Air hujan dan air laut bercampur dengan air mataku yang tampak samar tiap tetesannya. Remah-remah aku merengek kemudian. Melekukkan lutut sambil berbaring miring. Andai saja waktu itu tak ada angin bercampur suara hujan dan gelombang. Suara tangisanku akan terdengar lirih. Waktu itu hanya ada satu kalimat di kepalaku. "Aku ingin pulang ."

Dalam semua pandangan gelap. Saat aku  merasa tak ada lagi alasan untuk berharap. Sesaat kemudian aku  melihat, seorang wanita berbaju kurung melayu berselendangkan kain satin motif bunga duduk bersandar di dermaga. Wajahnya sudah tampak kerutan. Tersenyum simpul pada laut lepas depan kedua pipinya yang tampak cekung. Ia seseorang yang selalu menantiku pulang melaut. Yang selalu saja senyum ramah penuh kasih aku disambut. Itu Ibuku.
"Mak, aku mau pulang ."
Kalimat itu, hanya kalimat itu yang terus bermain di telingaku. Aku ingin lagi dan lagi melihat Ibuku berdiri di ujung dermaga menungguku pulang membawa hasil tangkapan yang tak seberapa.

Hujan turun makin deras. Air dengan cepat memenuhi dalam perahu. Aku kembali bangun. Terduduk melipat lutut dengan air mengenang di kaki.
Lalu pada ketika aku hampir tak berharap lagi. Ku biarkan saja air terus menerus masuk. Tiba-tiba terdengar suara petir melengking menggetarkan seluruh lautan. Kakiku makin bergetar, kemudian sadar. Aku masih hidup!!!. Lalu mengapa ku biarkan saja laut menenggelamkan perahu.

Air ku timba sedikit demi sedikit. Entah mengapa aku kembali menyusun kalimat lain di kepala.

"Aku ingin hidup ." Aku ingin bertemu ibuku.
Jaring ku potong. Ku biarkan hanyut. Terserah ke mana ia pergi. Yang ku tau, aku ingin pulang. Ibu sudah menungguku. Begitu tali jaring putus perahu semakin terombang-ambing menyamping. Air lait makin berlimpah masuk ke perahu. Aku menegakkan tiang layar kemudian merentangkannya lebar-lebar. Sejurus itu juga perahu bergerak melawan arah barat. Setelahnya aku memegang sebuah dayung dan ku letakkan daunnya ke belakang untuk ku jadikan kemudi. Lalu sebelah tanganku memegang timba. Begitu sampai akhirnya kembali sebuah kilat menyambar dan memberikan cahaya dalam mataku untuk melihat arah pulau. Jelas, sangat jelas sekali.
Rasanya jarak pulau tampak sangat dekat. Angin membuat layarku berkembang lebar. Dan waktu itulah angin kembali membuatku hampir mati. Layarku terkoyak di terjang angin. Lalu tiangnya patah ke samping. Perahuku setengah karam. Kembali lagi air harus ku timba. Kali ini lebih banyak dari sebelumnya. Aku menoleh ke arah pulau yang perlahan kembali tampak menjauh. Perahuku hanyut lagi.

Tak ada lagi layar. Kini aku harus mendayung perahu melawan arus dan angin. Sekali dayung angin dan ombak serentak menampar wajahku. Berkali-kali aku di terjang mundur. Tapj kembali ku lawan lebih keras. Berkelahi dengan laut yang sepertinya tak ingin aku kembali.
"Laut, tolong aku!!. Aku ingin bertemu ibu. "Air mata, rasanya tak perlu ku hitung lagi. Laut ini lebih tau, berapa banyak air mataku bercampur dengannya. Namun tetap saja ia enggan bersahabat. Tak apa, ambillah air mataku seberapa banyak kau mau. Aku tak peduli. Aku hanya ingin pulang. Hanya itu. Aku rindu ibuku.

Dayung demi dayung. Dermaga kayu kian tampak dekat. Angin masih bertiup kencang. Sesekali terdengar bersiul rendah. Gelombang yang tadi membukit kini sedikit ramah. Hujan renyai berjatuhan pelan. Aku kedinginan. Dan Ibu, anakmu pulang.
                                                          ***
Dermaga kosong. Semua sedang berselimut menghangatkan diri di rumah masing-masing. Aku masih basah. Tak langsung pulang menuju rumah. Aku ingin bertemu Ibuku.

Tanpa alas kaki. Aku melangkah lemah di jalan tanah kuning setapak. Hatiku meluapkan rasa rindu luar biasa. Aku menangis lagi dan lagi. Aku ingin melepaskan pelukan pada Ibu. Aku ingin mendekapnya dan mendengar ia berbisik di telingaku. Aku ingin mencium tangannya lalu bercerita panjang tentang hidupku.
Air mataku dan senyum bergerak serentak saat ku lihat sebuah tumpukan tanah kuning dengan dua nisan kayu berkain putih. Aku bersimpuh tunduk di makam Ibuku. Ku pegang nisan kayu bersampul kain putih usang. Lalu ku cium dan ku basahkan dengan air mataku.

Ibu.
Dalam kerlip bintang-bintang.
Dalam jingga warna petang.
Aku merindukan seseorang menantiku pulang.
Ibu.
Rebahlah.
Buang semua lelah.
Ku antarkan kau ke tempat paling indah.

SUKMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang