Untuk Ibuku Maimunnah

33 12 3
                                    

"Al fatihah, untukmu Maimunnah"

Setahun sudah aku pergi. Tanpa pamit secara langsung padamu. Tanpa kabar sekalimat pun ku kirimkan untukmu. Padahal aku tau, kau salah satu orang yang selalu mengirimkan doa padaku. Meski aku juga sangat tau, kau sangat mengerti alasan kepergianku.

Pada tanggal kepulanganku. Dengan segenap rindu dan sejuta perasaan bersalah bersarang di dada.

Hatiku terenyuh, luluh, sedih, juga rindu. Saat melihat cekung dan kerut wajahmu bertambah. Dengan matamu yang tertutup, suara nafas satu persatu berderit. Nasafmu sesak. Juga suaraku menahan serak.

Kau terbaring lemah, dengan beberapa selang infus menyakiti tangan dan lehermu, meski aku tau hatimu lebih sakit dari itu.

Aku mengusap kepalamu yang selalu tampak basah sebab tetesan keringat. 
Lalu matamu terbuka perlahan. 
Kau diam. 
Menatapku dalam. 
Itu bukan pandangan rindu, bukan pula tatapan marahmu.
Itu caramu melihat saat kau tak lagi mengenaliku.
Aku sangat mengerti, penyakit itu beberapa saat membuatmu lupa akan wajahku.

"Ini Ilyas". Kalimat pendek dua kata itu harus ku ucap dengan beberapa nafas putus-putus. Sambil ku tahan segenap pasukan  air mata yang sudah siap merobohkan benteng dikedua kelopak.

Air matamu menetes kemudian. Nafasmu tertarik lebih kuat, lebih keras pula suara nafas sesakmu terdengar. Lalu kau memegang kedua pipiku. Memeriksa betapa berubahnya aku. 
Kau mencoba mengucapkan beberapa kata. Namun tak bisa ku dengar sedikit pun. Tak ada kata-katamu yang ku paham.

Hingga tengah malam. Aku berjaga di sebelah ranjang besi tempat kau berbaring lemah. Sambil ku pijit tangan dan kakimu. Lalu kau terjaga lagi.
Tanganmu mencoba memegang kepalaku. Lalu menariknya lembut menempatkan di sebelah bahumu. 
Aku menangis !!!.
Kau membelai lembut rambutku. Memanjakanku dalam pelukanmu. Kau katakan bahwa aku anak yang baik. Namun sungguh aku merasa seseorang yang paling buruk. 

Dulu, sewaktu kepalaku kau belai. Kau akan membersihkan telingaku lalu aku akan tertidur pulas setelahnya. Namun kini, aku terus menangis di sandaran bahu lemahmu. 
Waktu itu, aku sadar. Sebuah rasa yang tak akan pernah bisa ku ukir lewat kata. Sedih, rindu, bersalah, sakit, bersatu dalam hatiku. Sesak sekali.

Ada rindu di tiap spasi pada bait tulisanku. Ada air mata yabg menetes di tiap kata. Harusnya sejak dulu  kau ajarkan padaku memanggilmu IBU.

Aku tak bisa mengingat kalimat terakhir yang kau ucapkan padaku. Namun ku harap itu adalah pembicaraan yang baik darimu untukku.

Aku punya banyak waktu untuk merindukanmu. Tapi aku tak punya kesempatan lagi mendengar suaramu. Pada tulisan ini. Ku ingin semua tau dan mengerti.
Kau Ibuku.
Kau selalu jadi Ibuku.

Tenanglah, tak ada jarak yang terlalu jauh untuk aku merindukanmu.
Tak ada waktu yang cukup lama untuk aku melupakanmu.

Terima kasih, memberiku kesempatan menjadi anakmu. 


SUKMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang