Bubu

51 17 10
                                    

12 Februari 2012
Provinsi Kepulauan Riau

Kalau saja ku katakan, mungkin anak nelayan yang bisa mencium bau laut dengan jelas. Yang entah dari mana aromanya. Seperti bau bakau, bercampur lumpur, dan kontaminasi udara angin laut. Segar. Berjejer di pinggiran bibir pantai rumah penduduk ciri khas nelayan melayu. Dengan pondasi kayu bakau setebal tiang listrik menancap mantap membangun rumah panggung berderet memanjang dengan ciri khas atap rumbia dan beberapa kayu dari pohon pinang yang dijadikan pelantar-pelantar dimasing-masing rumah penduduk.

Anak kecil bermain di tepi pantai dengan kaki hitam penuh lumpur. Sandal jepit hanya digunakan saat lebaran seingatku. Pakaian seharian mereka hanya baju kaos lusuh dengan celana yang rata-rata punya bekas jahitan di beberapa bagian terutama selangkang. Beberapa anak lain sibuk membuat perahu kecil dari kayu pulai.

Burung elang beberapa terlihat mendarat di pantai menambah gerak pandanganku pada sebuah sampan kayu kecil. Sampan lapuk dengan cat warna kuning mengembangkan layar yang dijalin berbahan plastic putih. Ada seorang laki-laki tua yang duduk di dalam sampan. Tanganya sibuk menimba air yang menggenang dalam sampan. Laki-laki  yang sudah tak kekar lagi itu namanya Sempi. Berkulit hitam berkat bahang sinar matahari.

Ia baru saja mengangkat bubu ketam yang di tenggelamkan di dasar laut teranas. Kawan, ini bubu. Alat tangkap yang di tenggelamkan ke laut. Butuh tenaga besar mengangkatnya dan tak jarang nelayan harus menyelam mengangkat bubu yang tersangkut. Dan tak jarang juga yang gagal timbul kembali hidup-hidup saat menyelam. Nanti akanku ceritakan alasannya.

Sampan kuning itu merapat ke dermaga. Setelah menambatkan perahu. Nelayan tua itu naikke atas dermaga kayu dengan tangga batang nibung. Dia ku panggil Bah Sempi.

“Banyak dapat Bah”.

“Seginilah ada Ghani. Bubu bah banyak koyak, ketam pasir pun tak bisa masuk”. Bah menunjukkan 2 ekor ketam bangkang yang masih hidup.

“Alhamdulillah Bah”. Lalu kami duduk bersila di atas dermaga itu sambil berbagi pemandangan senja jingga. “Ujang sehat Bah?”. Ujang adalah sahabatku sejak kecil. Ia sedang menuntutilmu sebagai santri di pesantren dekat Kabupaten.

Bah Sempi tak menanggapi pertanyaanku. Ia malah menunduk dan sekali-kali memandang ke arah 2 ekor ketam tangkapannya. “Ghani, Ujang mau berhenti sekolah. Besok lusa dia sampai”.
Aku tercekad. Termenung sejenak melihat wajah datar laki-laki itu. Aku tak mampu mencerna dengan baik kata-katanya. Aku sangat berharap sungguh dia hanya bercanda.
Senja sore itu tak ku temukan jawaban mengapa Ujang mau pulang. Bah Sempi hanya diam. tak berkata barang sepatah pun. Yang tinggal hanya aku yang harus menunggu jawaban langsung dari anaknya.
                       
                             ***

Kepulangam Ujang adalah sehari sebelum keberangkatanku ke Pekanbaru. Aku akan menambah pendidikanku ke perguruan tinggi. Ya, akhirnya aku bisa kuliah. Anak nelayan pulau terpencil akan jadi sarjana.

Subuh, di tepian pantai luar biasa dingin. Aku berjalan kaku menuju masjid yang hanya berjarak beberapa ratus meter darj rumah. Kau tak akan pernah tau kawan. Bagaimana keadaan dan ketenangan desa sekecil ini. Keheningan inilah yang pelan-pelan hilang dari dunia.

Aku melangkah memasuki masjid lalu pandanganku mengunci satu punggung yang selalu ku ingat cara ia duduk. Itu Ujang, ia berbertasyahud saf depan tapi kali ini dari penampilannya sudah sangat berubah ia mengenakan jubah putih dengan serban dikepalanya mungkin begitulah yang akan terjadi padaku jika aku ikut masuk pesantren.

Selama di dalam masjid. Aku memandang Ujang sebagi orang lain. Dia bukan seperti sahabatku dulu. Sesudah sholat pun ia tak membalas pandanganku. Ia berkedip dua kali tanpa senyum lalu pulang begitu saja.
Aku benar-benar merasa seperti batu.

Ujang hanya keluar rumah diwaktu sholat. Sisanya Ia mengurung diri di rumah. Bahkan Bah Sempi pun sulit berbagi cerita sepatah dua kata padaku.

Alih-alih aku berniat menjemputnya pada sholat subuh kali ini. Ya, sesudah sholat subuh begitu fajar mulai bersinar. Aku harus berangkat.

Dari jauh sudah terlihat sorot lampu lanting di bawah rumah Ujang dengan bayang laki-laki besar yang ku tebak itu Bah Sempi. Dan langsung ku hampiri saja karena memang ada jalan ke belakang rumah selain pintu lewat pintu depan.

"Assalamualaikum Bah".
"Waalaikumsalam Ghani. Bah baru mau berangkat mengangkat bubu".Bah Sempi melepas tali sampan kemudian memegang sepasang dayung.

Jang, kai siap-siaplah ke masjid".
"Biarlah Ujang ikut Bapak ke laut".
"Jangan Nak, Berangkatlah. Ghani sudah jauh-jauh datang. Nanti pagi Bapak sampailah di rumah". Bah Sempi benar-benar ke lait sendiri. Ia tak mau menatap wajah Ujang terlalu lama. Aku tau alasan apa sebenarnya Ujang putus sekolah. 2 ekor ketam tempo hari sudah menceritakan banyak hal padaku.

Kami menuju masjid tanpa kata pembicaraan. Hanya suara ssendal yang menggesek tanah dan angina yang perlahan meniup pohon kelapa di tepi-tepi pantai. Hening bercampur canggung.

Satu kampung sudah paham bagaimana kami tumbuh bersama dan bagaimana kami mengaku bersaudara. Ini sudah diluar kemampuanku. Mengobati rasa kecewa seseorang sangat sulit. Kadang ia hanya bisa disembuhkan dengan rasa kecewa itu sendiri.

Aku sangat berharap ada sepatah kata darinya sebelum aku berangkat. Namun sayang, sebuah senyum pun tak ditunjukkan padaku. Kami pulang dan berpisah begitu saja tanpa kata. Siapakah yang sebenarnya jadi batu diantara kita?. Ini bukan salahku Ujang.

Aku bersandar di pelantar rumah. Mencium aroma laut sepuasnya. Memandang pantai dan warna fajar yang baru akan muncul.

Dan waktu itulah, lagi dan lagi aku harus melihat rasa yabg lebih besar dari kecewa.

Suara teriakan laki-laki bergetar di ujung pantai. Aku kenal sungguh suara itu. Suara Ujang. Ya, tak salah lagi.

"Ghani, Bah Sempi meninggal!!". Bapak memanggilku dari depan. Berteriak keras memanggil seluruh kampung.

Aku berlari tanpa alas kaki. Sudah biasa bagiku berkejar di atas dermaga ini. Banyak sudah masyarakat berkumpul di Ujung dermaga.

Aku luluh, rasanya mau lumpuh. Mataku terbelalak tanpa kedip. Biru, wajah Bah Sempi membiru dan sisanya pucat semua. Ujang memelul erat tubuh laki-laki itu.

Teriakan Ujang akan selalu bermain di kepala semua warga. Dan belakangan aku tau, Bah Sempi harus menyelam mengangkat bubu yang tersangkut. Malangnya ia tak timbul lagi setelah itu. Nelayan menemukan sampannnya terapung dengan air menggenang. Tak ada kemungkinan lain lagi ketika sampan kosong di laut. Selalu ada berita buruk setelah itu.

Aku hanya mampu melihat dan melihat, bahkan semua kata-kataku telah di bantah,mungkin benar keajaiban tak memihak pada sahabatku tapi tak ada lasan untuk kau pergi menjauhiku. Ini bukan salahku.

Aku hanya melihatnya dari jauh sahabat yang sudah jatuh bangun bersamaku kini jatuh sendiri dan tak mampu ku buatnya bangit andai bisa ku beri Sembilan nyawa juga padanya, bahkan pada Bah Sempi.

SUKMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang